Arbitrerisme Simbol ‘Kerbau’ dalam Pendidikan

Oleh: Dr. Drs. Aries Purwanto, M.Pd

Aug 5, 2023 - 23:36
Arbitrerisme Simbol ‘Kerbau’ dalam Pendidikan

Salah satu ciri bahasa adalah bersifat arbitrer (mana-suka), sehingga banyak kata, symbol bahasa, yang tidak bisa dijelaskan hubungannya dengan bendanya. Dalam sistem tanda, ada makna yang terkandung symbol-simbol yang ditampilkan. Simbol hadir untuk mewakili sejumlah konsep, peristiwa, dan sarat kandungan makna. Dunia pendidikan kita sering memunculkan symbol: Bulu berujung pena, Dewa Ganesha, Burung Hantu, Dewa Khrisna, Bunga Terate, api, sayap, dan sebagainya. Sudah banyak penelitian tentang symbol-simbol tersebut.

 

 

 

Selama simbol-simbol tersebut mampu mewadahi konsep dan proses serta target pencapaian dalam dunia pendidikan, maka tidak perlu diperdebatkan. Jangan sampai terjadi lagi “ribut” menyoal simbol Surabaya yang terdiri atas Binatang Laut Sura (Ikan Hiu) dan Baya (Buaya), yang dianggap tidak relevan dengan asal-usul Surabaya. Kebermaknaan suatu simbol diimplementasikan dalam proses yang total dalam berbagai demensi kehidupan.

 

 

 

Ada fenomena menarik yang  terlihat di depan sekolah dasar Kabupaten Madiun. Patung kerbau sebagai simbolnya. Di depan sekolah terlihat ada patung anak laki-laki membaca buku sambil naik kerbau. Hal yang menonjol adalah symbol kerbau dan anak laki-laki yang sedang belajar di atas punggung kerbau. Di bawahnya tertulis “Learning by Doing”, Belajar sambil bekerja. Kenapa harus kerbau yang dinaiki anak laki-laki? Simbol apakah kerbau dan anak laki-laki. Sekilas kita lihat keberadaan symbol yang terkesan arbitrer ini.

 

 

Kalau mengungkap symbol-simbol, kita jadi ingat teori symbol yang digagas oleh Richard (1876) yang kemudian dikembangkan oleh  Ogdan (1918) dengan segitiga semantis (Simbol-realita-dan makna). Upacara-upacara simbolis selalu dilakukan untuk acara-acara sakral dan ceremonial. Mulai dari kehamilan seorang wanita Jawa (ada neloni, tiga bulan kandungan; ada mitoni, tujuh bulan kandungan); ketika kelahiran tiba ada acara tedhak siti, anak mulai turun tanah, sampai pada  kematian, ada acara 7 hari, 40 hari. 100 hari, 1 tahun, 1000 hari. Semua dilakukan secara simbolis. Penyerahan tanda penghargaan bersifat simbolis, penandatanganan beberapa prasasti bersifat simbolis. Bahkan pada Jaman Kerajaan Singhasari, karena putra mahkota masih kecil, yang duduk di atas singgasana kerajaan hanyalah “topi mahkota” sebagai simbolnya.

 

 

 

Di Indonesia banyak simbol yang mampu mewadahi sejumlah konsep dan peristiwa bersejarah, termasuk symbol “anak laki-laki menaiki kerbau” yang ditempatkan di depan sekolah dasar. Itu bukan hanya “gagah-gagahan” atau sekedar “biar terkenal” atau “untuk memudahkan mencari dan mengenali”, tetapi ada filosofi dan kebermaknaan di balik symbol tersebut.Tradisi di pedesaan yang agraris (bertani, bercocok tanam), anak laki-laki harus membantu pekerjaan orang tuanya di sawah atau kebun. Hal ini tidak berlaku bagi anak perempuan, karena tugas di sawah dianggap berat dan hanya dapat dilakukan oleh laki-laki. Di samping itu, anak lali-laki kelak akan bertanggung jawab menafkahi keluarganya, makanya harus giat bekerja. Sedangkan perempuan lebih bersifat lembut, diberi tugas memasak serta menyiapkan keperluan suami dan anak-anak.

 

 

 

Oleh sebab itulah di atas kerbau “bertengger” seorang anak laki-laki sambil membaca buku. Ini memberikan makna bahwa, ilmu pengetahun harus diperoleh sebanyak-banyaknya di sekolah. Berbagai ilmu pengetahun diharapkan dapat diserap ketika belajar bersama guru di ruang kelas, tetapi tidak terbatas di kelas saja. Pelajaran harus diulang-ulang, dibaca kembali, menjadi pengetahuan, yang dimengerti, dipahami, dianalisis, disintesis, dan dihayati dalam kehidupan sehari-hari.

 

 

 

Kerbau dalam filosofi Jawa bermakna “alat bekerja” yang bisa dikendalikan, dikelola, dimanfaatkan sebagai media, karena sifat-sifat yang melekat padanya. Beberapa sifat kerbau: (1) patuh, penurut, apalagi kalau dicucuk hidung (Jw. dikeluh). Ada pepatah mengatakan “bagai kerbau dicucuk hidung”, artinya sangat penurut/ patuh. (2) kuat, perkasa, mampu bekerja keras selama ber-jam-jam, tahan panas, kulit tebal; (3) teliti dan hati-hati, sehingga muncul pepatah “kerbau tidak akan terperosok pada lubang yang sama”. Dia mampu “niteni” tempat-tempat yang pernah membahayakan dirinya, maka dihindari; (4) gerakannya lembut, pelan tapi pasti; (5) mandiri. Dalam tradisi masyarakat Jawa, bahkan kerbau tidak perlu dikandangkan. Mereka berkelompok di lokasi yang disediakan “juragannya” dan bebas bergerak mencari rumput atau dedauanan untuk dimakan di malam hari.

 

 

 

Dalam jaring-jaring kehidupan, sering digambarkan konsep mutualisme dengan menampilkan kerbau yang dihinggapi burung-burung jalak uren di tengah sawah. Burung-burung jalak mendapat makanan berupa kutu-kutu yang ada di bulu-bulu kerbau, sementara itu kerbau juga merasa diuntungkan badannya (bulunya) bersih dari gangguang kutu-kutu yang bikin gatal. Prinsip mutualisme yang sekarang populer dengan pencarian solusi berimbang (win-win solution) sudah diterapkan oleh kerbau dan burung jalak.Tentu saja masih banyak lagi contoh mutualisme dalam kehidupan, di samping ada komensalisme, parasitisme.

 

 

Dengan demikian, symbol anak belajar sambil menunggang kerbau memberikan implikasi makna bahwa belajar di sekolah itu: (1) harus tekun, rajin, dan diulang-ulang sampai paham; (2) Ulet, sabar, dan tahan banting, tidak kenal lelah, bahkan “tak lapuk oleh hujan dan tak lekang oleh panas”; (3) terbuka, tidak terbatas dalam ruang dan waktu di sekolah saja. Belajar bisa dilakukan sambil membantu orang tua, sambil menggembala, mencari rumput, menanam tanaman-tanaman TOGA (Tanaman Obat Keluarga) dan sebagainya; (4) Harus bersikap teliti dan hati-hati dalam segala hal, sehingga tidak terjebak ke dalam “masalah” yang rumit; (5) mengutamakan “kemerdekaan” berpikir, berkreasi, berimajenasi, sehingga menjadi insan yang kreatif produktif dan pemberani dalam mengemukakan ide/ gagasannya; dan (6) Inovatif, selalu ingin membuat pembaharuan berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dikuasai. Tidak ingin terjebak atau tersesat pada jalan yang kemarin sudah dilalui. Berinovasi untuk membuat/ mencari jalan lain supaya semuanya berjalan lebih lancar, efektif, dan efisien.

 

 

 

Dunia pendidikan kita ini,  titik beratnya adalah “mengolah” (mendidik) sumber daya manusia agar siap menjadi agent of change untuk inovasi-inovasi peradaban dunia. Mendidik itu dengan “hati”, penuh kasih-sayang, asah, asih, asuh. Simultansi dalam sebuah sistem merupakan “keharusan”, karena memiliki peran masing-masing yang sangat penting. Hal ini seharusnya mengikuti hukum “kebersamaan”, artinya keberadaan guru diikuti dengan keberadaan murid, dan segenap media penunjangnya. Tempatkan simbol pada posisi yang “layak”, sehingga benar-benar memiliki daya representasi yang optimal dalam pendidikan. (****)

____________________________

Dr. Drs. Aries Purwanto, M.Pd adalah dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Al Khoziny Sidoarjo, sekretatris Perkumpulan Ilmuwan Sosial dan Humaniora Indonesia (PISHI). Disunting oleh Dr. Mu`minin,M.A. Dosen STKIP PGRI Jombang, Pengurus PISHI.