Sketsa Pemuda di Suatu Senja

Oleh: Lusia Kristiasih Dwi P., S.S., M.A.

Oct 11, 2023 - 02:53
Sketsa Pemuda di Suatu Senja

Layaknya film High Noon, kamera mata penulis menangkap berbagai adegan dalam satu frame setting, di rumah kala Maghrib hanya 30 menit. Mari, penulis ajak mengikuti sketsanya.

1.      Adzan Maghrib berkumandang lantang dari toa langgar. Tiba-tiba ada suara memotong hening jeda adzan. Sementara itu, saya baru selesai mengepel lantai. Seorang pemuda menguluk salam. Katanya, “Mau pasang modem?”

Walah, apa nggak paham ini waktunya beribadah?, gumamku. Maghrib-maghrib kok maksa bertamu. Saya bersungut-sungut. Namun, toh, saya menyilakan mas-mas itu melaksanakan kerjaannya. Saya tidak bisa menolak sebab 4 jam lalu ia bilang mau nyiapkan kabel dulu, tanpa memberi waktu kunjung berikutnya. Maghrib yang berisik cedhak-cedhok palu memukul paku di dinding. Terasa benar, kurang elok. Mengganggu!!!

 

2.      Sudah berjalan kira-kira 30 menit, layar YouTube memutar otomatis dari satu channel ke channel berikutnya dari HP yang saya letakkan di tengah ruangan menemani bersih-bersih rumah sedari tadi. Maklum, kemarau ini menerbangkan banyak debu. Setelah mengepel dan menyilakan mas-mas pasang modem, saya bergeser ke dapur.

HP saya ambil, entah tayangan apa yang sedang terputar. Cuci piring, cuci beras, cuci bayam, dan cuci brokoli. Siap dengan menjerang air dan mengupas bawang untuk bikin sambal terasi, dari ruang tamu ada teriakan, “Bunda, ada tamu!”. What T** F**. “Ini masih Maghrib, sapa lagi iniiiii?”, saya bersungut-sungut kembali. Dengan tergopoh-gopoh, seraya masih memegang pisau dan sebutir bawang separuh terkupas, saya bergegas ke teras. Gemas!!!

Saya melihat seorang pemuda dengan potongan rambut undercut sudah ndheprok di lantai teras. “Ada apa, mas?”. “Anu, saya jualan ini. Ini tester-nya, silakan cicipi bu, nggak papa. Tinggal dikit. Satu harganya 5000, kalau beli 5 bungkus 20 ribu aja. …. “, ujarnya. Saya menghela napas panjang untuk meredam semua dongkol yang mau keluar dari tadi. “Ooooh … OK, bentar”. Saya balik ke dalam hendak mengambil uang, tapi saya lupa taruh di mana. Mondar-mandir sambil mengingat, mondar-mandir melewati orang kerja pasang modem. Huh!!! … O, iya, di saku celana.

“Oke Mas, ini… 20 ribu, ya. Saya ambil ini, ini, dan ini..” “Terima kasih sudah dibantu …. Terima kasih sudah dibantu …. “, ucapnya. Kalimat itu diulanginya beberapa kali sambil mohon diri membawa kresek bergaris hitam putih yang sudah habis isinya. Ketika saya memandangi punggungnya pamit berlalu, ada rasa baru yang muncul. “Bagaimana jika yang jualan door to door ini anak saya?”, saya mbatin. Arrgghhhh… dia sedang berjuang, semoga sukses, Mas. Saya bergegas ke dapur, rupanya air sudah mendidih, siap ngrebus sayuran.

 

3.      Tayangan podcast dari sebuah channel masih menghadirkan seorang perempuan muda yang menuntut pengakuan atas ayah biologis anaknya. Entah apa isi tanya jawab di awal acara, saya tidak menyimaknya dengan baik. Merebus sayuran dan menggoreng bahan sambal terasi saya kerjakan sekaligus.

Telinga saya menangkap arah pembicaraan bintang tamu. Katanya ia melakukan hubungan intim saat masih berpacaran, sehingga lahirlah seorang anak ketika hubungan mereka bubar. Tantangan tes DNA sudah dilalui dan membuktikan secara medis anak itu bukan anak mantan pacarnya. Urusan menjadi rumit saat si ibu single parent ini kurang yakin. Kali ini, ia mengajak tes DNA kedua kali seperti yang disanggupi mantan pacarnya beberapa tahun lalu. Terjadi keributan di media sosial. Singkatnya, itulah isi podcast.

 

4.      Di ruang tamu, sementara itu, anak saya, yang juga menjelang dewasa, masih sibuk dengan HP dan laptopnya. Ia sedang koordinasi dengan timnya di tengah keriuhan yang saya temui. Ya, dua hari lalu ada email dari ketua panitia Asia Pasific Cooperative Youth Summit dari India. Ia dan timnya diundang menjadi pemateri di Manila setelah memenangi kompetisi di Malaysia sebulan lalu. Diskusinya seru, santai tapi serius untuk menentukan siapa yang berangkat ke manca dan siapa yang maju kompetisi lain di acara berbeda. Benar, itulah ikhtiar mereka mendapatkan branding dan modal kapital. Menjual ide dalam proposal dan presentasi.

 

Ilustrasi empat sketsa kehidupan ini menjadi refleksi hari Sumpah Pemuda 2023, harinya anak bangsa berjiwa muda. Empat pemuda seusia menentukan pilihan cara membesarkan negeri ini. Si Mas pemasang modem bekerja menjadi karyawan perusahaan, bertugas melayani pelanggan; si Mas penjaja kue kering memilih berjalan door to door mendatangi segmen pasarnya; si Mas gaul bergaul bebas hingga bablas menabrak nilai dan norma; dan si Mas Mbarep saya memutuskan berkolaborasi mendirikan usaha.

Segmentasi posisi pemuda sangatlah bervariasi. Apakah ingin mengisinya dengan menjadi orang yang menerima upah, menciptakan upahnya sendiri atau menceburkan diri dalam kerugian atau membentuk ekosistem. Keempatnya menjadi pengalaman hidup bagaimana mengisi geliat negeri ini. Meskipun mereka tampak memperjuangkan kehidupan masing-masing demi masa depan sendiri, mereka sebenarnya sedang memberi warna Indonesia sesuai siklus kehidupannya.

Mereka generasi milenial, lahir di abad milenium, yang terpapar berbagai dinamika dunia, termasuk wabah penyakit mematikan. Siklus hidupnya sedang berada pada masa kritis produktif untuk menyiapkan diri menjadi somebody. Somebody bagi pribadi yang berkorelasi dengan somebody negeri ini kelak. Survival mereka menjadi persiapan survival negeri ini di abad entah apa sebutannya nanti.

Diam-diam, kita, generasi 70’an berada di tempat sedang bersiap menitipkan negeri ini. Saat ini, di usia setengah abad, kita sedang dalam posisi “menggenggam dunia”. Sangatlah bijak mewarisi mereka dengan spirit dan teladan, paling tidak mendampingi mereka dengan segala rasa respek. 

Modem sudah terpasang, kompor telah padam, ruang tamu senyap, suasana lenggang mendadak … Gusti, dalem sowan … sebuah Maghrib yang berbeda …  (***)

 

 

Lusia Kristiasih Dwi P., S.S., M.A., adalah dosen di Universitas PGRI Madiun dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Tulisan ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah dosen di Universitas PGRI Madiun dan  Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).