Keluguan Kognitif tentang Hitam dan Putih

Oleh Andri Fransiskus Gultom

Oct 11, 2023 - 02:57
Keluguan Kognitif tentang Hitam dan Putih

Ada hasrat kognitif yang tiba-tiba menghinggapi saya untuk menanggapi tulisan Abdul Muqid di Nusadaily.com (6 Oktober 2023). Pikiran saya mentransmisikan protes yang direspon oleh jari-jemari yang kemudian menari-nari di atas papan ketik komputer pangku, karena merasa tidak puas atas filosofikasi yang tidak logis atas pemahaman pada hitam dan putih.

Filosofikasi tak logis itu, saya ajukan dalam dua pertanyaan problematis: pertama, apa argumen dasar untuk menempatkan "Julid dan Juliet" untuk disejajarkan dengan "Yin dan Yang"? Kedua, di mana garis batas atau demarkasi "Julid dan Juliet" dalam memandang dunia kehidupan (padahal di awal tulisannya, Muqid concern pada kalangan milenial, namun kemudian melampauinya dengan otak-atik gathuk yang mengantarkannya pada keluguan?

Saya akan memproblematisir kedua pertanyaan itu, dalam upaya untuk menunjukkan adanya kesesatan epistemik pada tulisan Muqid, yang di dalamnya ada labirin yang justru menyesatkan dan mengusutkan pikirannya sendiri. Selain itu, kemudahan untuk mengait-ngaitkan dua hal bertentangan (yang paradoks) tidak serta merta digampangkan dengan jurus-jurus psikologi taktis maupun religius magis.

 

Untuk itu, para pembaca sekalian, mari kita mulai berfilsafat!

Problem pertama yang muncul dari tulisan Muqid, bahwa ia tanpa raison d'etre, membiarkan pikirannya lepas dan menjauh dari logika. Apakah pikiran dan logika sama atau berbeda? Bila dikatakan sama, itu hanya merujuk pada lokusnya saja, pikiran dan logika secara anatomi fisiologis bahwa keduanya berada di kepala. Namun, kedua tentu tak sama, karena: pertama, manusia diandaikan secara universal memiliki pikiran, tetapi tidak melatih pikirannya dengan alur koherensi yang benar, disiplin, dan tertib. Implikasinya,  kekacauan-kekacauan yang muncul dari dalam pikiran, disebabkan karena syaraf-syaraf bergerak non-plastis karena tidak dilatih dengan beragam tantangan, termasuk ekperimen pikiran pada yang imanen, yang transenden, dan yang menjangkar secara empiris pada kenyataan. Kedua, pikiran logis bila dicampur dengan kreasi imajinatif, bisa meneropong kenyataan dengan horizon yang lebih luas dengan evidensi fisika dan asumsi metafisika.

 

Keluguan Kognitif

Muqid memulai demikian,

(1)                   "Sebagaimana filosofi hidup asal Tiongkok, Yin dan Yang, Kalangan Mileneal juga memiliki filosofi hidup yaitu Julid dan Juliet.”

dilanjutkan dengan,

(2)                   “Seperti halnya Yin dan Yang, kedua diksi “Julid dan Juliet” merupakan pasangan diksi yang berlawanan makna."

Muqid dengan dua pernyataannya di atas, tidak memberikan argumen dasar yang kuat untuk menyejajarkan Yin dan Yang dengan Julid dan Juliet. Ia hanya dengan kilatan ide tanpa preposisi logis, langsung menyisipkan dan memutuskan bahwa adanya kemiripan diantara keduanya, dengan menyatakan

"kedua hal yang bertentangan ini dijalankan secara seimbang justru saling menyempurnakan dan membuat hidup menjadi lebih indah."

Pikirannya berupaya memberi nama pada kenyataan: “seimbang bin sempurna, binti lebih indah”. Kecermatan dalam melakukan jukstaposisi antara Yin dan Yang dan Julid dan Yuliet adalah suatu keluguan. Keluguan itu, oleh karena Muqid tidak mengelaborasi secara mendetail bahwa dalam Yin dan Yang terdapat yaitu (1) Qi dan mewujud dalam (2) Taijitu. Yang pertama merupakan sumber energi vital menemukan struktur dasar dari gerak keberadaan semesta. Yang kedua, wujud simbolik tàijí yang bergerak dalam alur hidup yang bersitegangan satu dengan lainnya. Wilayah hitam, dalam tàijí, ada titik putih, dan area putih disinggahi titik hitam. Ringkasnya, ada penerimaaan pada realitas hidup, baik itu hitam ataupun putih. Di sinilah letak épistémè (struktur pemahaman) dari Yin dan Yang.

Namun, keluguan kognitif Muqid dalam menyambung-hubungkan Yin dan Yang dengan Julid dan Juliet, justru tidak eksplisit dijelaskan, a bene placito. Ia malah menjebak dirinya pada otak-atik gathuk untuk membiarkan Julid dan Juliet dalam ketidakseukuran (incommensurability). Ketidakseukuran itu: (1) Julid dan Juliet bukanlah suatu filosofi (bentuk pandangan hidup yang logis) yang bisa disamakan dengan Yin dan Yang. Yang disebut terakhir memiliki struktur dasar berupa Qi dan Taijitu, sedangkan Julid dan Juliet adalah cocokologinya. (2) Alur pikiran Muqid persis tidak menjelaskan adanya koherensi logis untuk menalar (melihat dengan "mata kepala") bahwa dalam diri Juliet terdapat sifat julid. Pada titik ini, ada chaotic good pada pikiran Muqid.

Chaotic good yang dimaksud melakukan hal yang benar, namun metodenya tidak terorganisir, tidak sinkron, dan berantakan (Valentova, 2015; Meyer, 2017). Misalnya: pencarian pada kesucian tidak didasarkan pada cara dan tampilan yang semu: berpakaian putih, ekstase hingga kepala miring, komat-kamit tak karuan karena ketakutan, timbul birahi saat berdoa, menolak uang tapi korupsi, dan sejenisnya dan sebaliknya. Kesucian bukanlah itu, tapi penerimaan secara jujur bahwa ada yang buruk dan yang baik dalam diri. Realistis!

Juliet Capule dalam imajinasi logis William Shakespeare tidak melulu berkarakter protagonis. Karakter Juliet, bila dicermati dalam bingkai imajinasi imanen, justru memahami cinta dalam "sense of having" (rasa untuk memiliki). Ia mencintai Romeo sekaligus untuk memilikinya selamanya (dengan ego) baik dalam kenyataan maupun di luar kenyataan. "Sense of having" menandakan ada pengorbanan, kebutaan, kegilaan, dan kecerobohan pada diri Juliet. Ada bentuk irrational decisions dalam karakter Juliet yang diberi nama “rasa memiliki”.

Dalam artikel “Irrational Decisions In Shakespeare's Romeo And Juliet”, tertulis demikian,

"Juliet mengorbankan keluarganya demi kisah cinta remaja. Gairah membutakan Juliet dari kenyataan, menyebabkan dia mengabaikan komplikasi keluarga mereka. Cinta muda mendorong Juliet untuk mempertaruhkan keluarganya karena kegilaan muda yang dimilikinya terhadap Romeo. Semenjak mereka saling pandang, Romeo dan Juliet terus menerus mengambil keputusan yang ceroboh, seperti memutuskan untuk menikah." (retrived from, https://www.ipl.org/essay/Irrational-Decisions-In-Shakespeares-Romeo-And-Juliet-FKBP5RB42DVT)

Pengobanan, kebutaan, kegilaan, dan kecerobohan, menjadi bagian dari Ke-julid-an dalam diri Juliet. Ada ragam kerumitan (multiplikasi) dalam diri Juliet yang justru menempatkan dirinya ada dalam tegangan antara karakter protagonis dan antagonis. Juliet, dalam arti luas, bisa dipahami adalah bukan Juliet protagonis (sebagaimana dipahami Muqid) dan bukan antagonis (dalam bingkai sense of having). Dalam posisi inilah, ketidakseukuran antara “Yin dan Yang” dengan “Julid dan Juliet” itu berada, karena persis tidak adanya penjelasan yang memadai dari Muqid tentang daya energi (qi) dan simbol (taijitu) sebagai struktur dasar dalam filosofikasi pada Julid dan Juliet.

 

Penerimaan pada kenyataan

Kenyataan yang bila dipahami adalah bentuk penerimaan dalam Yin dan Yang, justru adalah hidup itu sendiri. Penerimaan pada gerak paradoksal adalah wujud cara pandang hidup orang Tiongkok. Poinnya, terima kedua situasi itu sebagai kenyataan!

Namun, mengapa ada strategi terapi ala Welberg yang diusulkan oleh Muqid dalam upaya menyeimbang-imbangkan dari Julidnya Juliet?  Padahal, entah itu protagonis dan antagonis adalah situasi dasar dari hidup itu sendiri yang nyata dan diterima. Keluguan itu semakin menebal, tatkala Muqid justru memilih Juliet sebagai preferensi positif dengan mengesampingkan yang Julid.

Ia menulis, “….ada empat cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi Julid dan menyuburkan Juliet.” Ada preferensi (keberpihakan) Muqid untuk justru memilih yang baik dan menyingkirkan yang kurang baik. Ia terjebak dalam religius magis pikirannya sendiri, dan memilih harmoni dengan menjauhkan chaos. Padahal dalam gerak Yin dan Yang, harmoni dan chaos ada dalam posisi yang seimbang. Artinya, dalam penjelasan mendasar, yang baik tidak akan bisa mencapai kebaikan yang paripurna. Begitu pula, yang jahat tidak bisa mewujud in optima forma. Mengapa? Hal ini disebabkan adanya khôra, yang bagi Platon, dalam buku Timaeus, menjadi “jenis ketiga” (triton genos) pasca idea dan dunia inderawi. Khôra, dalam tafsiran Derrida disebut sebagai “ruang yang sepenuhnya lain” (tout autre) yang tak dipahami, yang justru mengganggu, menegasi, dan resisten pada baik yang baik dan yang jahat untuk mewujudkan kesempurnaannya.

Dalam khôra, Yin dan Yang adalah gerak sirkuler yang menjadi bentuk penerimaan pada multiplisitas dari hidup yang hitam dan putih, dan yang tak pasti. Dari ini, bila ditarik dalam penjelasan penuh kabut dari Muqid tentang Julid dan Juliet, muncul pertanyaan: apa dan dimana batas rasionalitas (demarkasi) dari domain “Julid dan Juliet” versi Muqid bila semuanya bisa dijelaskan (Perang antara Rusia dan Ukraina, Kasus Rempang, ekspor CPO atau minyak kelapa sawit [bukan CPU])? Apakah semua bisa dijelaskan dengan cocokologi “Julid dan Juliet”? Pertanyaan ini perlu ditanyakan Muqid kepada kaum milenial (yang tidak ada datanya). Tetapi, jauh lebih penting, pertanyaan itu perlu ditanyakannya di depan cermin dan dipikirkan sebelum tidur menjelang. (****)

 

Andri Fransiskus Gultom, dosen Filsafat Kewarganegaraan di Universitas PGRI Kanjuruhan Malang