Sejarah dan Kiprah Persis, Ormas Islam yang Dikenal Lokomotif Pembaharuan Islam di Indonesia

Mantan Ketua Umum Persis Aceng Zakaria dalam buku biografinya "Ulama Persatuan Islam" (2021) mengatakan latar belakang utama Persis didirikan untuk menjawab persoalan masyarakat Islam kala itu yang dianggap mengalami kemunduran.

Apr 24, 2023 - 15:25
Sejarah dan Kiprah Persis, Ormas Islam yang Dikenal Lokomotif Pembaharuan Islam di Indonesia

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Persis atau kependekan dari Jamiyyah Persatuan Islam merupakan gerakan keagamaan di Indonesia. 

Persis berdiri 12 September 1923 di Bandung Jawa Barat. Lembaga ini didirikan oleh alumni sekolah Darul Ulum Makkah, Mohamad Zamzam dan Muhammad Yunus, seorang pedagang asal Palembang.

Zamzam dan Yunus membangun gerakan ini terinspirasi ketika mengkaji pemikiran Muhammad Abduh, pembaharu pemikiran Islam dari Mesir. Mereka kerap mengkaji tulisan pemikiran Abduh dalam majalah Al-Manar.

Mantan Ketua Umum Persis Aceng Zakaria dalam buku biografinya "Ulama Persatuan Islam" (2021) mengatakan latar belakang utama Persis didirikan untuk menjawab persoalan masyarakat Islam kala itu yang dianggap mengalami kemunduran.

Kala itu, umat Islam dianggap tenggelam dalam sikap taqlid atau menerima segala sesuatu secara taken for granted, terjebak perbuatan bidah (sinkretis), dan khurafat hingga takhayul (mistis). Atau yang biasa disebut sebagai "penyakit TBC".

Karena itu, ulama Persis berusaha melakukan pembaharuan sekaligus pemurnian (purifikasi) ajaran Islam pada masyarakat Islam. Slogan mereka yang terkenal: "Kembali kepada Al-Qur'an dan Al-Sunnah dan membersihkan Islam dari takhayul, khurafat dan bidah yang mengotorinya".

Karenanya, Aceng Zakaria berpendapat Persis bisa dikatakan sebagai salah satu organisasi lokomotif pembaharuan Islam di Indonesia. Mainstream gerakan Persis fokus pada masalah pemikiran Keislaman Reformistik.

Peran Persis sebagai pembaharu Islam bisa dilihat dari sudut pertarungan pemikiran keagamaan. Di titik ini ditemukan arti penting Persis dalam perjalanan sejarah bangsa, khususnya umat Islam Indonesia. Sisi lain juga membuat Persis dikenal sekaligus kontroversial.

Setahun setelah berdiri, Persis mengalami puncak dakwahnya setelah Ahmad Hasan bergabung. Ia adalah pemuda kelahiran Singapura keturunan Tamil-Jawa yang bersemangat dalam berdakwah dan memiliki pengetahuan agama yang luas. Lewat Persis, Hasan tampil sebagai tokoh kritis dan menjadi lokomotif gerakan pemikiran Persis.

Ia dikenal oleh banyak orang sebagai sarjana besar dan ahli hukum yang tak kenal lelah tentang perlunya pembaharuan (tajdid) dan reformasi (islah).

Melalui karya monumentalnya, 'Soal-Jawab Masalah Agama', Ahmad Hasan menghadirkan sejumlah kritik keras terhadap pemahaman dan praktek keagamaan kaum tradisionalis Islam. Praktek keagamaan seperti kunut, melafalkan niat salat (usalli), dan talkin yang dipandangnya tidak berdasar pada ajaran asli Islam (bid'ah) dan sumber ajaran yang menjadi basis legitimasi praktek-praktek keagamaan demikian dianggap tidak otoritatif.

Pandangan Hasan ini kemudian mengundang perdebatan dan kritik keras dari kaum Islam tradisionalis. Kalangan tradisionalis ini cenderung mempertahankan pemikiran dan praktek keagamaan yang mapan, yang sudah melembaga dalam kehidupan masyarakat Islam di Indonesia.

Pepen Irpan Fauzan dalam tulisannya 'Persatuan Islam dan Permufakatan Islam' (2016) mengatakan kiprah Ahmad Hasan dalam Jam'iyyah Persis membuat pelbagai "perubahan" besar pada organisasi.

Perubahan pertama, karakter organisasi Persis tampil menjadi "galak". Kedua, kaderisasi. Program inisiasi ideologi reformisme lebih intensif- massif, karena Hasan berhasil mengkader murid-muridnya. Ketiga, daya-pengaruh (influency). Dengan tampilnya Hasan beserta murid-muridnya dengan "ketajaman pena".

Pemikiran tokoh-tokoh Persis, khususnya A Hasan, kala itu berkembang luas berkat dukungan media yang diterbitkannya. Pada 1929-1933, misalnya, Persis menerbitkan majalah Pembela Islam, yang tersebar sampai Singapura, Malaysia, dan Thailand Selatan. Persis juga menerbitkan majalah Al-Fatawa (1931-1935).

Selain A Hasan, tokoh Persis legendaris Persis lainnya adalah KH E Abdurrahman (1912-1983). Abdurrahman adalah murid A Hasan. Perkembangan intensif kaderisasi Jam'iyyah secara khusus dimulai pada era kepemimpinannya tersebut.

Sebagai Ketua Umum Persis periode 1963 1983, E Abdurrahman menginginkan Jam'iyyah puritan ini kembali ke khitah bergerak di dunia pendidikan dan dakwah.

Dalam pidato pembukaan pada Mu'akhat Persis 16 Januari 1981 yang diberi judul "Kita Sekalian Sebagai Pelengkap", ia tak ingin Persis ikut terjun langsung dalam kegiatan politik. Sebab, tugas Persis adalah mempersiapkan "agama" bagi bangsa ini, yaitu dengan berdakwah dan mengajar.

Sepanjang kepemimpinannya, program-program yang riil dikerjakan berkisar pada dua hal: penyelenggaraan tabligh dan mengelola pesantren.

Pada bidang tablig, PP Persis membuka kursus-kursus bagi calon mubalig yang programnya dinamakan "Tamhidul Muballighin" (Persiapan bagi para mubalig).

Kursus Tamhidul Muballighin adalah upaya kaderisasi Jam'iyyah. Alumni-alumni Tamhidul Muballighin ini kemudian diberi tugas untuk menjadi mubaligh di kampungnya masing- masing. Setelah pulang umumnya mereka memang menjadi imam masjid dan menjadi mubalig lokal di daerahnya masing-masing.

Dalam bidang pendidikan, lembaga pendidikan yang diselenggarakan E Abdurrahman yang kemudian mengembangkan pesantren ke pelbagai daerah. Pesantren ini dipadukan dengan sistem pendidikan modern dari Barat namun tetap berorientasi mempelajari ilmu-ilmu keislaman.

Menurut catatan Yon Machmudi di bukunya 'Sejarah dan Profil Ormas Islam di Indonesia' (2013), Persis memiliki lembaga pendidikan dari PAUD hingga universitas lebih dari 200 lembaga pendidikan.

Dalam bidang ekonomi, Persis memberikan perhatian terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat melalui koperasi, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan Pusat Zakat Umat (PZU). Peran besar lainnya yang perlu dicatat adalah inisiatif Persis untuk mengembangkan dakwah melalui tulisan dan penerbitan buku dan majalah.

Persis menisbatkan diri bukan organisasi politik, dalam artian formalistik. Secara formal, Persis adalah organisasi sosial-keagamaan. Walaupun demikian, bukan berarti Persis mengacuhkan sama sekali masalah politik dalam sejarah pendiriannya.

Keterlibatan Persis dalam politik nasional diwarnai oleh sikap para pemimpin dan tokoh-tokohnya. Dalam kancah politik nasional, kader-kader Persis beberapa kali ikut berkecimpung.

Dadan Wildan Anas dalam bukunya 'Anatomi Gerakan Dakwah Persatuan Islam' (2015) menjelaskan Persis tercatat sebagai anggota istimewa Partai Masyumi bersama Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama pada tahun 1948.

Para anggota Persis kala itu secara pribadi dianjurkan memasuki partai Masyumi. Tokohnya yang terkenal seperti Mohammad Natsir dan Isa Anshari terpilih sebagai pimpinan Masyumi di tingkat Pusat. Saat Masyumi berkesempatan masuk dalam pusaran kekuasaan nasional, M. Natsir bahkan menjabat sebagai Perdana Menteri RI.

Persis kembali bersifat keagamaan dengan aksentuasi pendidikan dan dakwah pada masa kepemimpinan Shiddieq Amien. Shiddieq lebih menitikberatkan pada kemajuan pesantren di lingkungan Persis. Persis masih menjaga jarak dengan kontestasi politik nasional sampai saat ini.

Persis dalam perjalanan sejarah Indonesia juga mengambil sikap untuk menolak total komunisme di Indonesia. Dadan Wildan Anas menjelaskan Persis mengeluarkan Manifesto Politik pada tahun 1957 lalu.

Manifesto politik Persis itu intinya mengatakan teori dan praktek komunis bukan saja bertentangan dengan semua agama, tetapi mengandung permusuhan dan pertentangan dengan akidah yang diajarkan oleh semua agama. Manifesto ini ditandatangani oleh M Isa Anshary sebagai Ketua Umum dan E Abdurrahman sebagai Sekretaris Umum.

Manifesto tersebut merupakan penolakan Persis terhadap konsepsi Sukarno yang ingin memasukkan komunis untuk ikut memegang kendali pemerintahan di Indonesia.

"Mengajak kepada segenap ulama, mujahidin Islam Indonesia agar lebih merapatkan barisan, melakukan jihad, tantangan dan perlawanan total dan frontal terhadap ideologi komunisme, dengan cara yang teratur dan tersusun," bunyi salah satu poin Manifesto Politik Persis Maret 1957.

Tak hanya menolak komunisme, baru-baru ini Persis menunjukkan pemikirannya menolak Perppu Nomor 2 tahun 2017 tentang Ormas. Bahkan, mereka mengajukan gugatan uji materi aturan ini ke Mahkamah Konstitusi pada Juli 2017 lalu.

Wakil Ketua Persis Jeje Zaenudin saat itu mengatakan permohonan uji materi ini tak semata-mata karena organisasinya mendukung ormas maupun kelompok lain yang anti Pancasila, melainkan bentuk perlawanan terhadap sikap sewenang-wenang pemerintah.

Jeje khawatir keberadaan Perppu Ormas akan mengancam eksistensi organisasi yang dipimpinnya. Padahal Persis termasuk salah satu ormas tertua dan berbadan hukum yang telah berdiri sejak tahun 1923.

"Dari dulu Persis konsisten menjaga konstitusi NKRI. Tapi Perppu ini membahayakan konstitusi," kata Jeje kala itu.

Saat ini Persis memiliki basis masa yang kuat di kawasan Jawa Barat karena memang Persis berdiri di daerah ini. Meski demikian, anggota Persis tersebar hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Persis juga memiliki badan otonom antara lain, Persistri (Persatuan Islam Istri), Pemuda Persis, Pemudi Persis, Hima Persis (Himpunan Mahasiswa Persatuan Islam), Himi Persis (Himpunan Mahasiswi Persatuan Islam), dan Ikatan Santri dan Pelajar Persatuan Islam. Persis saat ini dipimpin oleh Jeje Zaenudin untuk masa bakti 2022-2027.(cnn/han)