Menguji Kesaktian 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Industri Tekstil RI dari Gempuran China

"Mari kita semua, termasuk lembaga, bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing," katanya, Selasa (25/6).

Jun 27, 2024 - 07:34
Menguji Kesaktian 2 Senjata Sri Mulyani Lindungi Industri Tekstil RI dari Gempuran China
Ilustrasi Batik Tulis Celaket

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyebut industri tekstil lokal pada 2023-2024 dalam kondisi terburuk dalam sembilan tahun terakhir.

Kompartemen Sumber Daya Manusia API Harrison Silaen mengatakan banyak faktor yang mempengaruhi keterpurukan industri ritel, mulai dari pasar, teknologi hingga regulasi.

Oleh karena itu, ia menilai pemerintah perlu memiliki arah jelas untuk menangani masalah industri tekstil jika menganggap sektor itu penting.

Menurut Harrison, pengusaha lokal kesulitan bersaing dengan masifnya produk impor tekstil yang diizinkan masuk.

"Mari kita semua, termasuk lembaga, bersama-sama menjaganya. Kami sadar sekitar 20 kementerian dan lembaga yang berkaitan dengan industri tekstil, semua memiliki kepentingan masing-masing," katanya, Selasa (25/6).

Kondisi tekstil yang tidak baik-baik saja ini pertama kali disampaikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN) yang menyebut kinerja penjualan mereka lesu belakangan ini.

Presiden KSPN Ristadi menyebut tingkat pesanan yang masuk ke sejumlah pabrik tekstil di Indonesia terus menurun.

Imbas lesunya penjualan itu, mereka harus melakukan efisiensi, salah satunya dengan melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pekerja.

KSPN mencatat sekitar 13.800 buruh tekstil sudah terkena PHK dari Januari 2024 hingga awal Juni 2024 imbas masalah itu. PHK yang terjadi di Jawa Tengah lebih masif.

Ia mencatat banyak pabrik-pabrik yang terdampak, misalnya di grup Sri Rejeki Isman alias (Sritex), raksasa tekstil di Jawa Tengah.

Ia mencontohkan tiga perusahaan di bawah grup Sritex yang mem-PHK sejumlah karyawannya. Ada PT Sinar Pantja Djaja di Semarang, PT Bitratex di Kabupaten Semarang, dan PT Djohartex yang ada di Magelang.

Untuk menyelamatkan industri ini dari gempuran tekstil impor, terutama dari China, pemerintah bakal mengeluarkan Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD).

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan langkah itu dilakukan sebagai respons atas permintaan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita.

"Jadi Permenkeu akan keluar berdasarkan permintaan beliau (Menperin) dan Menteri Perdagangan (Zulkifli Hasan). BMPT dan BMAD seterusnya akan di-follow up berdasarkan permintaan Mendag dan Menperin," kata Sri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (25/6).

Pertanyaannya, cukupkah BMPT dan BMAD menyelamatkan industri tekstil dalam negeri?

Direktur Ekonomi Celios Nailul Huda mengatakan pengenaan BMAD dan BMTP memang penting dilakukan, tetapi tidak cukup untuk memulihkan industri tekstil dalam negeri.

"Industri TPT (tekstil dan produk tekstil) memang perlu dilindungi secara masif dengan peraturan yang ketat mengenai impor TPT (dan barang lainnya), baik melalui BMAD ataupun BMTP," ujarnya.

Apalagi, kebijakan anti-dumping (BMAD) tidak bisa langsung diterapkan begitu saja. Harus ada fakta yang menyertai bahwa negara importir, misalnya China, melakukan tindakan dumping.

Dumping adalah kebijakan menjual produk ekspor dengan harga lebih murah untuk menguasai pasar negara tujuan.

"Tapi kalau BMAD harus ada pembuktian bahwa China melakukan praktik dumping ke barangnya," imbuhnya.

Menurutnya, harus ada langkah lain yang ditempuh pemerintah, misalnya mencari negara lain untuk menjadi pangsa ekspor baru.

"Maka untuk bisa mengembalikan industri TPT kita perlu perluasan pasar ekspor produk TPT. Jangan bergantung pada satu atau dua negara saja," kata dia.

Nailul melihat ada dua penyebab industri tekstil lokal 'sakit'. Pertama, kalah saing dari sisi harga karena produk TPT asal China lebih murah.

"Belum lagi ditambah produk dari Thailand yang juga udah mulai masuk ke pasar-pasar tradisional. Ini mengulang sejarah runtuhnya batik Indonesia di tahun 1990-an gara-gara batik print dari China. Produk TPT kita bisa terkapar karena produk impor ini," jelasnya.

Kedua, pasar tekstil terbesar Indonesia, Amerika Serikat, tengah mengalami penurunan permintaan dalam beberapa tahun terakhir sehingga permintaan juga menurun.

"Kondisi ini diperparah oleh produk TPT China juga masuk ke negara tujuan ekspor kita. Ini yang akhirnya produksi menurun dan terjadi PHK dalam jumlah yang besar. Dampaknya bisa meluas ke ekonomi makro dan daya beli masyarakat yang pasti tertekan. Kemiskinan bisa mengancam," terangnya.

Senada, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF Andry Satrio Nugroho mengatakan industri tekstil mendapat tekanan baik di hulu maupun hilir.

Di sektor hulu, banyak bahan baku yang berasal dari impor. Hal itu terjadi karena industri penghasil bahan baku industri tekstil yang tidak cukup kuat. Misalnya, benang filamen yang dihasilkan industri petrokimia.

Di sektor hilir, barang jadi seperti pakaian, khususnya dari China, membanjiri pasar Tanah Air dengan menawarkan harga lebih murah.

Jika ini dibiarkan berlarut-larut, maka akan menekan tenaga kerja industri tekstil. Apalagi industri tekstil merupakan industri padat karya.

Andry mengatakan yang bisa dilakukan adalah pemberlakuan larangan dan pembatasan atau lartas di mana ada barang yang dilarang atau dibatasi pemasukan atau pengeluarannya ke dalam maupun dari daerah pabean. Seluruh pemangku kepentingan harus serius menangani masalah tersebut.

Khususnya untuk Kementerian Perdagangan dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), ia mengatakan harus betul-betul mengawasi produk impor di marketplace yang harganya sering tidak masuk akal. Sehingga masuk akal jika ada yang berujar bahwa ada yang bermain dibalik runtuhnya tekstil RI(han)