Menelisik Asal-usul Penyematan Gelar Haji-Hajjah Bagi Masyarakat di Indonesia

Apabila dilihat dari perspektif budaya, tercipta juga narasi dan kisah-kisah menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji lalu terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Apalagi banyak tokoh-tokoh besar masyarakat bergelar haji.

Jun 24, 2024 - 09:13
Menelisik Asal-usul Penyematan Gelar Haji-Hajjah Bagi Masyarakat di Indonesia

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Pemberian gelar haji dan hajjah telah menjadi tradisi turun-temurun bagi masyarakat Indonesia. Gelar haji ini diberikan sebagai penghormatan kepada mereka yang menunaikan ibadah haji.

Di Indonesia, gelar haji atau hajjah lazim diberikan kepada mereka yang telah melaksanakan ibadah haji.

Antropolog UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi menuturkan bahwa gelar haji dianggap sangat penting dan membanggakan, bahkan mencerminkan status sosial tertentu bagi sebagian masyarakat Indonesia.

Apalagi perjalanan ibadah haji jauh dan panjang, memerlukan biaya yang mahal, persyaratan yang tidak mudah, membuat haji menjadi sebuah perjalanan ibadah yang sangat penting dan tidak semua orang bisa lakukan.

"Untuk itulah gelar haji dianggap layak dan terus disematkan bagi mereka yang berhasil melakukannya," tutur Dadi, dikutip dari laman resmi Kemenag RI.

Apabila dilihat dari perspektif budaya, tercipta juga narasi dan kisah-kisah menarik, heroik, dan mengharukan selama berhaji lalu terus berkembang menjadi cerita popular, sehingga semakin banyak orang tertarik naik haji. Apalagi banyak tokoh-tokoh besar masyarakat bergelar haji.

"Hal-hal inilah saya kira yang membuat ibadah haji semakin penting dan gelar haji di Indonesia punya nilai dan status sosial yang tinggi," sambungnya.

Dadi juga menyebut, tradisi pemberian gelar haji bagi mereka yang sudah berhaji tidak hanya ada di Indonesia. Tradisi ini juga ditemukan pada Islam Melayu bagian lain seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, hingga Thailand Selatan.

"Tradisi di Mesir Utara bahkan bukan hanya memberi gelar haji, tapi juga melukis rumahnya dengan gambar Ka'bah dan moda transportasi yang digunakan ke Makkah," jelasnya.

Guru Besar Filologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Oman Fathurahman menambahkan tradisi menyematkan gelar haji di depan nama tidak boleh sampai merusak keikhlasan berhaji,

"Salah satu ciri haji mabrur adalah menjadi orang yang ikhlas dan muhsin (berbuat baik) sepanjang masa, selalu menebar kedamaian, baik ketika maupun usai menunaikan ibadah haji," pungkasnya.

Pemberian Gelar Haji Pertama Kali di Indonesia

Menukil buku Haji: Ibadah yang mengubah Sejarah Nusantara karya Kyota Hamzah, tradisi pemberian gelar haji pertama kali diterapkan pada 1916.

Bermula pada zaman kolonial Belanda, orang yang haji dianggap tinggi derajatnya, termasuk pedagang, ulama, atau pejabat yang pernah berhaji disebut lebih mudah didengar masyarakat.

Hal ini menjadi kekhawatiran belanda akan adanya pemberontakan yang dipelopori oleh gerakan kelompok Islam tersebut sehingga pemerintah kolonial mulai mengawasi pergerakan mereka yang sudah haji sekiranya berlainan pendapat dengan mereka.

Pada 1859, pemerintah Hindia Belanda kemudian membuat aturan khusus untuk jemaah haji di Nusantara. Peraturan itu berisi penandaan khusus bagi mereka yang sudah haji.

Mereka yang datang dari ibadah haji wajib memakai baju khusus berupa jubah, serban dan peci warna putih. Selain itu, mereka mendapat gelar "haji" yang disematkan pada namanya agar petugas Hindia Belanda mudah mengenali mereka yang telah menunaikan menunaikan haji.

Peraturan tersebut mempermudah pemerintah Hindia Belanda dalam mengawasi gerak-gerik mereka bila melakukan hal-hal yang mengancam.

Masyarakat sekitar juga harus melaporkan siapa saja yang akan berangkat maupun pulang dari menunaikan ibadah haji di Makkah.(han)