Januari dan Mimpi Wong Cilik

Oleh: Dr. Wadji, M.Pd.

Jan 18, 2024 - 11:41
Januari dan Mimpi Wong Cilik

Hari ini kita berada pada pekan ketiga bulan Januari 2024. Seperti hari-hari kemarin kota Malang masih diguyur hujan. Begitu pula dengan daerah-daerah lain di tanah air. Dalam kirata basa (dikira-dikira tapi nyata), atau diothak-athik mathuk, Januari dimaknai sebagai “hujan sehari-hari.” Sebagian orang senang bila hujan turun, sebagiannya lagi malah sedih. Bagi penjual es cendol khususnya, jelas hujan adalah simbol malapetaka. Namun sebagian besar petani selalu menunggu datangnya musim hujan. Mereka yang tinggal di hunian yang rawan banjir, hujan adalah salah satu bentuk ancaman nyata.

 

Secara umum hujan memang simbol kesedihan, kenangan, romantika, dan juga kemesraan. Hujan lekat dengan bulan Januari. Sejumlah lagu tercipta karena terinspirasi pada bulan Januari. Ada Januari yang Biru yang pernah dipopulerkan oleh Andi Meriem Mattalata, Memori Januari oleh Iis Sugianto, Januari di Kota Dili oleh Rita Effendy dan Januari oleh Glenn Fredly. Masing-masing orang memiliki kenangan pada bulan Januari, entah itu terpatri di ingatan atau hanya sekadar melintas sejenak dalam hidupnya, dan tak berarti apa-apa. Mendengarkan lagu-lagu itu bisa menggugah lagi memori lama yang telah terpendam.

 

Rabu, 17 Januari 2024 Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai sidang etik tentang dugaan pungli yang melibatkan pegawai di lingkungan rumah tanahan KPK. Ini adalah tontonan menarik di awal tahun di samping debat capres dan cawapres yang menyedot perhatian publik.

 

Sejumlah peristiwa di bulan Januari 2024 yang kita saksikan di televisi memang sangat jauh dari aroma kemesraan. Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengamankan Bupati Labuhanbatu, Sumatera Utara. Tentunya ia tidak sendiri, yang ditangkap merupakan rombongan jamaah terduga korupsi. Kemesraan penyuap dan yang disuap seketika ambyar dengan kehadiran orang ketiga, KPK.

 

Meskipun bukan hal yang istimewa, namun ini adalah bagian dari memori Januari 2024. Dikatakan bukan merupakan hal istimewa, karena kepala daerah melakukan tindak korupsi merupakan hal yang biasa di negeri ini. Begitu pula suap-menyuap di kalangan penegak hukum adalah hal yang lumrah. Jadi ketika masyarakat menyaksikan berita tangkap tangan itu, nyaris tak ada yang berkata, “Wah!” Tampaknya hal itu bukan pemandangan yang menakjubkan. Tontonan semacam itu sudah menjadi santapan berpuluh tahun. Adegan selanjutnya dengan aktor lain juga sedang antri untuk segera tayang. Tinggal tunggu waktu, dan tunggu kepala daerah mana dan oknum mana lagi yang akan kena OTT. Semua ada saatnya. Mungkin saat ini mereka masih merasa aman. Mungkin mereka masih menikmati kemesraan dengan sesama maling, tapi sepandai-pandai tupai meloncat akan jatuh juga. Siapa yang menimbun bangkai, akan tercium juga.

 

Lagi-lagi yang ditangkap adalah kepala daerah. Lagi-lagi yang ditangkap adalah penegak hukum. Padahal profesi itu adalah ujung tombok dalam laju pembangunan nasional. Sejak otonomi daerah dicanangkan pasca Orde Baru tumbang, kepala daerah memegang peranan yang sangat penting. Sebagai wong cilik seperti saya, sebenarnya sangat sadar ketika Pilkada sedang digelar. Biaya yang dikeluarkan para calon tidaklah sedikit. Lalu dari mana mereka akan dapat pengembalian dana yang telah dibelanjakan untuk money politic itu? Jawabannya, semua pasti sudah paham. Mereka berani mengeluarkan biaya besar, pasti ada yang sedang diincar.

 

Sekali lagi dalam pandangan wong cilik seperti saya, mencari keadilan di negeri ini, kalau tak bisa dikatakan terlalu berlebihan, adalah seperti menunggu matahari terbit dari Barat. Mereka yang memiliki kekuasaan dan modal besar yang bisa mengatur penegak hukum. Yang benar jadi salah, yang salah dicarikan dalil untuk dibenarkan. Adegan tangkap tangan begitu menjadi berita yang sangat heboh, namun saat vonis yang dijatuhkan kepada para koruptor sangat menyakiti hati nurani rakyat.

 

Ini masih tentang Januari. Saya mungkin perlu menceritakan sedikit pengalaman saya pribadi. Ya, pengalaman sebagai wong cilik, yang kebetulan juga terjadi di bulan Januari. Meskipun seringkali tidak saya ingini, namun terpaksa saya harus membuka lembaran lama. Jujur saja, sebenarnya saya memiliki keinginan kuat untuk mengubur semua pengalaman kelam yang menimpa diri saya. Namun apa daya, semakin ingin saya lupakan, justru pernik-pernik peristiwa itu malah muncul satu per satu. Semua bagai hantu, kehadirannya tak pernah ditunggu. Bisa jadi karena saya terpengaruh dengan sejumlah lagu yang saya sebut di awal tulisan ini.

 

Semua peristiwa di masa lalu itu sebenarnya laksana mimpi. Dalam kehidupan kita ada mimpi indah, tetapi ada pula mimpi buruk. Mimpi indah bila diceritakan kembali justru merupakan kesedihan. Mimpi memiliki pacar baru misalnya. Ketika terbangun justru menyesal, mengapa kok sekadar mimpi. Andai terjadi di dunia nyata, alangkah indahnya. Ada pula mimpi menemukan uang sekarung. Setelah bangun tidur yang punya mimpi mungkin saja membolak-balik bantalnya, atau bahkan mencari uang itu di kolong tempat tidurnya. Sekali lagi, andai itu terjadi di dunia nyata, betapa indahnya.

 

Beda lagi halnya dengan orang yang mengalami mimpi buruk. Mimpi dikejar harimau misalnya, saking kaget dan takutnya akhirnya terbangun. “Ah, untung hanya mimpi,” begitu setelah sadar. Mereka bersyukur bahwa ternyata tidak terjadi di dunia nyata. Setelah mimpi berlalu, ada yang disyukuri dan ada yang disesali. Salah satu mimpi yang tak pernah disesali mungkin adalah “mimpi basah.”

 

Yang ini bukan mimpi. Tanggal 27 Januari empat tahun lalu, Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Malang yang diketuai oleh Sri Hariani, S.H., M.H. memutus saya dengan pidana penjara 3 bulan, denda 10 juta rupiah, subsider 1 bulan kurungan. Putusan ini jauh lebih ringan dibanding dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Hanis Aristya Hermawan, S.H. Dalam surat tuntutannya JPU menuntut saya dengan dua tahun penjara, denda 10 juta rupiah, subsider tiga bulan kurungan. Sumpah, ini bukan mimpi.

 

Baik JPU maupun saya melakukan upaya hukum lanjutan: Banding!. JPU merasa bahwa hukuman yang diberikan kepada saya terlalu ringan. Sementara saya merasa bahwa apa yang saya alami adalah murni kriminalisasi. Berharap bebas, atau setidaknya hukuman berkurang, namun yang saya alami justru sebaliknya. Pengadilan Tinggi (PT) Surabaya yang diketuai oleh Rasmito, S.H. menaikkan hukuman terhadap saya menjadi lima bulan penjara.

 

Meskipun bukan mimpi, namun seperti mimpi rasanya. Selama saya menghadapi kasus, banyak teman-teman yang menjauh dan menghindar dari saya. Dulu yang sering muncul ke rumah, atau setidaknya tanya kabar via telefon, tiba-tiba menghilang. Saya merasa di dunia ini hidup sendiri, dijauhi dari pergaulan, dan mendapatkan diskriminasi di tempat kerja. Hanya istri dan anak-anak saya yang selalu menguatkan hati saya. Saya memiliki tanggung jawab atas kelangsungan hidup mereka. Saya juga memiliki tanggung jawab moral untuk tetap menanamkan idealisme terhadap mereka. Menghadapi penjahat, tak boleh kalah!

 

Korupsi adalah kejahatan, suap-menyuap adalah kejahatan. Sebagai wong cilik saya hanya berjuang dan berharap agar hukum benar-benar ditegakkan. Banyak wong cilik yang tak berdaya menghadapi banyak perilaku kejahatan yang ada di depan matanya, juga menimpanya. Mereka hanya bisa bermimpi.

 

Banyak orang memberi saran agar saya menerima vonis itu. Waktu tiga atau lima bulan, kata orang-orang itu, adalah waktu yang pendek. Bagi saya satu hari saja akan saya tolak vonis itu. Saya tahu, dan banyak orang tahu, saya adalah korban kriminalisasi. Saya adalah korban konflik berkepanjangan yang terjadi di tempat kerja saya.

 

Dalam memori kasasi yang saya kirimkan ke Mahkamah Agung, saya menyatakan bahwa putusan pengadilan tingkat pertama dan tingkat kedua bertentangan dengan fakta persidangan. Tanggal 3 Maret 2021, Mahkamah Agung menyatakan bahwa saya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana melanggar pasal 27 ayat 3 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. MA juga sependapat dengan memori kasasi saya bahwa pengadilan tingkat pertama dan kedua telah salah dalam menerapkan hukum.

 

Kasus saya bermula pada 24 Januari 2018, tepat 4 tahun yang lalu. Ketika itu saya memosting foto dua teman saya yang berkepala gundul di grup WhatsApp Kardos Unikama (Karyawan dan Dosen Universitas Kanjuruhan Malang). Di bawah foto itu saya beri tulisan “Ketua dan Sekjen PGRI (Persatuan Gundul Republik Indonesia). Dua orang teman itu sama sekali tidak keberatan fotonya diposting di grup WA, namun, sebagaimana terungkap dalam fakta persidangan, Kepala BAU Unikama atas perintah salah satu pengurus badan penyelenggara kampus itu mengantarkan screenshoot postingan saya ke pengurus PGRI Jawa Timur.

 

Dalam kesaksiannya di PN Malang, para pengurus PGRI itu menyatakan bahwa mereka hanya menindaklanjuti apa yang diinginkan oleh oknom badan penyelenggara untuk melaporkan saya ke Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Timur. Mereka juga menyatakan bahwa seandainya di kampus tempat saya bekerja tidak ada konflik, maka pelaporan itu tidak pernah akan terjadi. Itu nyata, dan sekali lagi bukan mimpi. (****) 

 

Penulis adalah Redaktur Ahli Nusadaily.com, dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, dan Ketua Umum Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).