Sebagai Dosen, Bagaimana Menyikapi Kritik Pedas dari Mahasiswa?

Oleh: Prof. Patrisius Istiarto Djiwandono

Mar 5, 2024 - 08:52
Sebagai Dosen, Bagaimana Menyikapi Kritik Pedas  dari Mahasiswa?

Setiap akhir semester, para dosen umumnya menerima hasil evaluasi perkuliahannya dari mahasiswa. Hasil evaluasi ini bisa bagus dan membanggakan, bisa juga jelek dan membuat baper (terbawa perasaan). Jangan beranggapan bahwa pengalaman mengajar sekian puluh tahun senantiasa menjamin hasil evaluasi yang bagus. Karena zaman terus berkembang, gaya mengajar yang dulu dianggap nyaman bisa dilihat sebagai membosankan oleh generasi Z yang sekarang sedang menempuh kuliah.

Setiap dosen pasti pernah menerima hasil evaluasi perkuliahan yang rendah. Bila ditambah dengan komentar tajam (karena umumnya mahasiswa tidak perlu mencantumkan nama), baper tadi bisa mulai mengigit. Semakin dibaca komentarnya, semakin sakit. Tentu saja seorang dosen tidak bisa menjadi menye lalu ngambek karena nilai yang rendah ini. Tips berikut akan membantu mengatasi perasaan yang tidak nyaman tersebut dan bahkan menjadikannya pemacu prestasi.

 

Akui Perasaan Sakit Itu

Dalam ilmu psikologi, ini namanya memvalidasi perasaan apa pun itu yang dirasakan. Ketika menerima komentar tajam bahkan kasar, seorang dosen harus mengakui rasa sakit hatinya. Sikap mengakuinya, mengatakan dalam hati “sekarang aku sedang merasakan sakit hati karena komentar ini” relatif lebih sehat daripada menyangkal secara semu “aku baik-baik saja walaupun sedang dikritik.” Pengakuan atas emosi itu entah bagaimana bisa memampukan dirinya untuk melangkah lebih jauh ke arah pemulihan mentalnya.

 

Jadikan Kritik sebagai Pupuk

Sikap awal yang harus dipegang kokoh adalah kemauan untuk menjadikan kritik sebagai pupuk. Pupuk memang berbau dan tidak sedap dilihat. Namun, di balik itu adalah kemampuannya menumbuhkembangkan tanaman. Demikian juga, bila kita mampu mengabaikan nada tajam bahkan kasar dari sebuah komentar dan mengambil intisarinya saja, kita akan mengarah kepada perbaikan. Misalnya, komentar “saya sudah kehilangan respek terhadap Bapak/Ibu sejak kemarahan yang meledak-ledak itu” minimal bisa membuat seorang dosen memeriksa kembali (introspeksi) caranya meluapkan kemarahan di kelas.

 

Sudah wajar jika seorang manusia mempunyai mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang membuatnya cenderung membela dirinya sendiri dalam situasi konflik. Dalam menghadapi kritik tajam, seorang dosen sebaiknya tidak memegang erat-erat mekanisme pertahanan ini karena sikap itu akan menutup jalan ke arah perbaikan diri. Sikap kaku ini membuat dosen tetap bersikeras bahwa mahasiswa, semata-mata karena mereka lebih muda dan minim pengalaman hidup, pasti salah. Sikap yang lebih lentur mungkin akan berawal dari mekanisme mempertahankan diri. Namun, tetap membuka ruang untuk mau berubah, atau setidaknya mau memeriksa diri sendiri.

 

Segelintir yang Pedas Tidak  Menafikan yang Baik

Seorang dosen harus menyadari bahwa satu atau segelintir komentar yang pedas tidak berarti bahwa semua muridnya tidak menyukainya. Pasti ada sebagian yang masih merasa respek dan bahkan mengagumi figurnya sebagai dosen. Masalahnya, mereka ini diam saja, sementara satu dua yang mungkin kecewa dengan nilai ujiannya bisa lebih vokal mengungkapkan kekesalannya lewat kritik pedas. Seorang dosen yang sedang memulihkan perasaannya bisa mengingat kembali perilaku para muridnya yang patuh, respek, dan menyukainya.

 

Bijak Menyaring Pendapat

Kendati sejauh ini yang dikemukakan adalah sikap luwes dan mau mengubah diri, seorang dosen harus tahu dan sadar bahwa tidak semua komentar mahasiswa bisa dituruti. Sang dosen harus yakin bahwa ada beberapa ciri dan nilai profesional yang tetap harus dipertahankan sekalipun mahasiswa kurang menyukainya. Seorang dosen yang sudah bagus mengajar dengan terstruktur, tetapi minim lelucon tidak harus serta merta mengubah dirinya menjadi pelawak di depan kelas. Bila dipaksakan, justru akan terjadi lelucon yang menyedihkan karena hal itu memang bukan ciri asli pembawaannya. Lebih baik dosen tersebut tetap mempertahankan kelebihannya, yaitu mengajar dengan terstruktur dan jelas sehingga mahasiswa merasa mendapatkan ilmu dengan efektif.

 

Merasionalisasi Pikiran untuk Memperbaiki Perasaan

Sebagai makhluk berperasaan, dosen yang mengakui perasaan sakit atau rendah karena kritik pedas adalah manusiawi. Langkah selanjutnya adalah beranjak dari perasaan menuju pikiran rasional. Dosen tersebut bisa berpikir bahwa tenggelam dalam perasaan rendah terus-menerus tidak akan memperbaiki situasi. Dia harus menggunakan logikanya untuk memperbaiki diri. Dia harus menemukan cara untuk memacu semangatnya pada semester berikutnya. Semangat bisa ditumbuhkan kembali ketika melihat komentar-komentar yang lebih apresiatif. Ia bisa muncul kembali ketika menyadari ada imbalan tertentu untuk segala jerih payahnya dalam mengajar. Bahkan ia bisa muncul begitu saja ketika melihat anak didiknya menjadi lebih pandai dan lebih mampu. (****)

 

Prof. Patrisius Istiarto Djiwandono adalah dosen Prodi Sastra Inggris, Universitas Ma Chung, Malang dan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini sudah disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus PISHI.