Abu-Abu itu bukan Warna?

Mendekati pesta demokrasi, Pemilu 2024 bertebaran warna sebagai simbol. Mulai warna primer: merah, kuning, biru, dan diikuti warna-warna sekunder: hijau, ungu, orange, dan warna-warna turunan lainnya.

Nov 20, 2023 - 14:45
Abu-Abu itu bukan Warna?

Oleh: Dr. Aries Purwanto, M.Pd.

Mendekati pesta demokrasi, Pemilu 2024 bertebaran warna sebagai simbol. Mulai warna primer: merah, kuning, biru, dan diikuti warna-warna sekunder: hijau, ungu, orange, dan warna-warna turunan lainnya. Semua memiliki kandungan makna yang variatif, sesuai dengan latar belakang yang memberi makna, dan pengalaman batin penafsirnya. Simbol memiliki multiinterpretatif. Namun, ada makna universal yang secara konvensional harus diakui. Dunia ini memang penuh simbol, baik simbol yang berupa kata-kata, gambar, benda, maupun warna. Ada sejumlah makna yang secara konseptual diwakili oleh simbol, misalnya patung Dewa Ganesha sebagai simbol dalam dunia pendidikan. Bendera Merah-putih sebagai lambang atau simbol keberanian dan kesucian bangsa Indonesia. 

Mengacu teori segitiga makna yang dicetuskan oleh Ogden & Richard, yang menempatkan symbol sejajar dengan reference, dan mengerucut pada concept of  reference. Jadi, simbol yang ditampilkan selalu mewadahi sejumlah konsep atas dasar acuan dalam realitas. Seperti simbol warna “merah” yang dimaknai “darah yang mendidih” sehingga melahirkan konsep makna “berani”, “mengebu-gebu”, dan “penuh semangat”. Sering simbol “merah” dikaitkan dengan kobaran api yang menyala-nyala sehingga muncul “jago merah” (kebakaran). Sejumlah makna disematkan ke dalam simbol merah, yaitu berani, bersemangat, tangguh, tegas, teguh pendirian, pantang menyerah, dan sejumlah makna yang bernuansa “menggelora”. 

Tulisan ini sengaja difokuskan pada warna turunan yang tidak lagi sekunder atau tersier, tetapi abu-abu. Paduan warna yang tidak lagi memiliki eksistensi, karena simbol ini berkembang dalam pikiran penafsir makna menjadi sebuah sikap yang serba tidak jelas. Warna terang, gelap, cerah, atau lembayung, dilebur semua menjadi warna abu-abu. Kelompok aventuris menamakan diri sebagai golongan “plin-plan” dan “mekangkang”. Keberadaan warna abu-abu sering digunakan untuk sikap yang tidak konsisten. Dalam dunia warna, abu-abu bukanlah warna primer, tetapi warna netral yang merupakan kombinasi dari beberapa warna. Warna ini lebih merujuk pada tingkat kecerahan yang posisinya berada di antara hitam dan putih. Artinya, tidak hitam juga tidak putih.

Kalau dijadikan simbol, warna abu-abu ini memiliki kandungan makna: bisa menjadi siapa saja atau tidak menjadi siapa-siapa. Dilihat dari sisi sikap sosial positifnya, sikap abu-abu ini lebih bersifat fleksibel, luwes, dan bisa bergaul dengan golongan mana pun. Di sisi lain, ditafsirkan negatif, ketika berbicara prinsip-prinsip kehidupan. Abu-abu dianggap tidak memiliki keteguhan prinsip, cepat goyah, dan cepat berpindah haluan sesuai “kepentingan” yang menguntungkan. Sikap abu-abu ini terasa kental dalam dunia politik kita. Meskipun berbaju merah, kuning, atau pun hijau (warna primer), ternyata sikapnya abu-abu. Politik abu-abu sangatlah populer, dan melahirkan politikus abu-abu, yakni tidak memegang teguh prinsip kehidupan. Mudah berpindah-pindah, berganti-ganti, dan bermanuver  mengikuti celah-celah yang berpeluang untuk “kemenangan partai”. 

Politik abu-abu lebih mementingkan “keselamatan diri” daripada mempertahankan prinsip-prinsip yang dianutnya. Kesetiaan menjadi tidak penting, loyalitas hanya sebatas ungkapan basi, dan sikap seperti itulah yang mengubah posisinya menjadi “abu-abu”. Dalam psikologis, ada sikap ragu-ragu, ketidakpastian, dan kegundahan. Hal itu tercermin dalam sikap dan perilaku yang tidak konsisten, hanya mengikuti arah angin bertiup yang dirasa memberikan “keuntungan”. Psikolog warna, Eva Heller memberikan pembedaan antara abu-abu dengan warna perak (silver). Abu-abu adalah warna rambut untuk usia tua. Ada penolakan dan ketakutan sosial yang berakar pada gagasan penuaan. Usia tua menginspirasi abu-abu sehingga ada kontradiksitif dalam diri antara kekuatan harapan dan kekuatan realitas. Dilema inilah yang melahirkan “abu-abu”.

Meloncat sedikit ke masyarakat Indonesia yang sudah terdaftar sebagai pemilih tetap (DPT) dalam Pemilu 2024. Kebanyakan mereka adalah abu-abu, karena hanya mengikuti hembusan angin yang meninabobokkan. Tidak ada yang konsisten dan memegang teguh satu warna hingga titik darah penghabisan. Contoh kecil yang terjadi di masyarakat pemilih, ketika “diajak” untuk memilih salah satu warna. Apakah itu merah, kuning, biru, hijau dan lain-lainnya, mereka berkata “oke”, “yes”, “sepakat”, “siap” dan sejumlah kata yang mengisyaratkan acc (according). Hal itu dilakukan kepada siapa saja yang mengajak, dari berbagai warna. Lalu, apa warna mereka? Di sinilah sikap “abu-abu”  dilahirkan. Ketika warna kuning menyiapkan dana “transpor” menuju TPS (tempat pemungutan suara) sebesar Rp50.000,00, maka semangat kuningnya muncul. Tiba-tiba warna merah menyiapkan “transpor” Rp75.000,00, maka warna kuning luntur dan berubah menjadi warna merah. Pada menit berikutnya datang warna hijau dengan “transpor” Rp100.000,00, maka lunturlah warna merah, sontak berubah menjadi warna hijau. Tidak berhenti di situ, datanglah warna biru dengan “transpor” sebesar Rp150.000,00 dengan cepat warna berubah biru. Apakah konsisten dan setia pada warna biru, ternyata tidak. Ada “abu-abu” yang membuat luntur semua warna dengan menjanjikan  “netralitas” serta melepas “beban dosa” yang menindihnya. Dengan berdalih netral, berada di mana saja sekaligus tidak di mana-mana, merasa lebih “aman” dan terselamatkan. Abu-abu ini bernilai lebih dari 1 juta.

Sampailah pada sebuah simpulan sementara bahwa abu-abu yang tidak memiliki konsistensi: status, komitmen, loyalitas, dan pendirian. Simbol ini untuk mewadahi sikap seseorang atau kelompok orang yang “avortunis”. Mau disebut “hitam” tidak mau, “putih” juga tidak mau. Dikeluarkan dari “hitam”, tidak mau, dikeluarkan dari “putih” juga tidak mau. Hal inilah yang mendorong penulis untuk merumuskan judul bahwa abu-abu itu bukan warna. Eksistensinya bisa di luar atau pun di dalam semua warna. Netralitas atau ketidakpastian itulah yang membuatnya tidak memiliki eksistensi. 

Di akhir tulisan ini, tidak ada evaluasi: apakah abu-abu itu “baik” atau “buruk”, “benar” atau “salah”, “terhormat” atau “tidak terhormat”, “mulia” atau “hina”. Terlepas dari beban penilaian dikotomis tersebut, kehadiran abu-abu selalu ada dan “itu bukan warna”. Entah apa namanya….

 

Dr. Aries Purwanto, M.Pd. adalah dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Al Khoziny Sidoarjo, anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), dan Direktur Gurune Jagad Indonesia (GJI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.