“Plagiat… ?! Bye!!!”

Sepenggal kalimat itu sudah berlaku sejak saya menginjakkan kaki di sebuah kampus. Bahkan sebelum segala aturan plagiarism digaungkan dan sebelum munculnya trend istilah tersebut di dunia akademik. Dalam bahasa keseharian, plagiat berarti menyontek. Jika dalam bahasa yang lebih kasar lagi bermakna mencuri, maling.

Mar 1, 2023 - 23:39
“Plagiat… ?! Bye!!!”
Ilustrasi (Foto: Shutterstock)

Penulis: Lusia Kristiasih Dwi Purnomosasi )*

 

Sepenggal kalimat itu sudah berlaku sejak saya menginjakkan kaki di sebuah kampus. Bahkan sebelum segala aturan plagiarism digaungkan dan sebelum munculnya trend istilah tersebut di dunia akademik. Dalam bahasa keseharian, plagiat berarti menyontek. Jika dalam bahasa yang lebih kasar lagi bermakna mencuri, maling.

Dulu, teman sekelas semasa SD sering kena setrap (hukuman) karena ketangkap basah nyontek. Atau terkena sanksi sosial diolok-olok dan dirasani tukang nyontek. Kenakalan-kenakalan yang bikin kesal para guru, tapi tidak bagi si penyontek. Keseruan menaklukkan tantangan: menyelesaikan masalah menjawab soal dan menguji nyali ketahuan guru. Malunya minta ampun, bahkan masih terasa saat reuni merewind segala kebadungan itu. Biasanya nyengir kuda.

Sekarang, pencurian ide dalam dunia akademik dilabeli haram. Artinya sanksinya fatal. Plagiat, istilah canggihnya. Aktivitas memplagiasi ini merendahkan harkat dan martabat. Merusak sistem yang berlaku karena ini kecurangan berat.

Plagiat … ?! Bye!!! Bukan nilai normative dalam kata-kata saja bagi saya, melainkan praksis keseharian di kelas saya. No cheating, itu rule of the game nomor 1. Tidak hanya bagi mahasiswa, tetapi bagi saya juga. Berani berkata berani berbuat. Siapa yang tahu plagiasi terjadi sebab plagiasi dilakukan secara diam dan tersembunyi. Namanya saja kriminalitas. Karena itu, nilai hidup ini mau tidak mau harus ditanamkan dengan intens baik dengan verbal maupun teladan.

Plagiat … ?! Bye!!! Sengaja saya pilih untuk dijadikan topik artikel kali ini. Sekali lagi saya terlanda kegalauan. Judul ini terkesan kejam tak punya hati. Ya, saya adalah makhluk kejam itu. Tanpa kompromi. Jangan menyentuh border berbahaya itu dengan saya. Tanpa melihat status, saya putus kepercayaan dan hormat saya. Meskipun mahasiswa punya jabatan mentereng di organisasinya, berprestasi, atau kenal baik dengan saya, nilai nol tidak segan saya hadiahkan. Alasannya: plagiat itu fatal dan merusak.

Hari itu, huru hara terjadi sehari kemudian, biasanya ada yang kasak kusuk karena tidak punya nyali klarifikasi. Ada yang pasang foto lembar kerja bernilai 90 tercoret tinta merah berubah menjadi angka 0. Ada yang saling menyalahkan memasang raut innocent. Ada yang berargumen ngeyel kerjaan sendiri. Ada yang polos tidak paham plagiarism.

Sudahlah! Apapun yang terjadi, di hadapan saya adalah karya yang sama, tulisan yang identik pada satu dua paragraf atau bahkan total, tidak jarang letak kesalahan juga sama. Saya tidak peduli dengan hiruk pikuk itu.

Darah saya sudah mendidih dan hati saya beku oleh kecewa luar biasa. Saya selalu marah besar. Bagaimana mungkin “pertemuan dan pertemanan” selama satu semester dikhinati dengan karya “sampah”. Tidak pahamkah mahasiswa dengan rambu norma dilarang menyontek? Tidak pahamkah mahasiswa aturan main mengutip? Tidak pahamkah??? Tidak mungkin! Mereka sudah semester atas.

Saya marah karena mereka merendahkan diri sendiri. Itu bukan nilai ajaran saya di kelas. Saya marah karena mahasiswa bersikap tidak menghargai dan tidak hormat pada orang lain. Itu bukan nilai ajaran saya di kelas. Saya marah karena mahasiswa akan menyogok saya dengan kesedihan hidupnya jika tidak lulus mata kuliah. Itu bukan nilai ajaran di kelas saya. Saya sudah ill feel dengan semua kerepotan yang akan saya hadapi. Nego-nego yang sebenarnya tidak perlu saya tanggapi, tapi begitulah yang terjadi. Saya marah karena peristiwa itu akan menjadi jurang pemisah hubungan baik mahasiswa-dosen. Saya marah karena mereka bertindak bodoh!!!

Saya menjadi pribadi yang dingin karena hati saya beku. Kepercayaan yang saya punyai dropped sampai titik terendah. Sulit mengembalikan kepercayaan itu. Bukan apa-apa, melainkan keyakinan saya bahwa plagiat dilakukan dengan sengaja. Itu artinya menantang saya. Menantang saya apakah seorang dosen itu membaca dengan serius setiap tulisan karya mahasiswanya. “Halah, paling nggak dibaca!”. Eh, tunggu dulu … Please, stop thinking of that way!

Membaca karya tulis mahasiswa adalah bentuk penghargaan saya atas kerja keras mahasiswa menyikapi tugas. Membaca karya tulis mahasiswa berarti menghormati ide dan energi yang dicurahkan. Sikap ini adalah sikap timbal balik yang diberikan mahasiswa kepada saya.

Setelah mereka meminta maaf, maaf saya berikan, tapi kepercayaan tidak bisa dikembalikan seperti semula. Biasanya begitu. Semua yang terjadi sudah terjadi. Suasana kembali seperti yang seharusnya. Skor akhir minimum dan silakan mengulang. Tidak ada yang berubah. Paling tidak mereka pernah berhadapan dengan nilai kejujuran yang tidak bisa dinego apalagi dibeli.

Sudah pasti konsekuensi yang didapat mahasiswa di akhir semester adalah mengulang. Pemrograman ulang sebuah mata kuliah akan terpantau oleh pemegang wewenang. Fenomena ini akan memberikan dampak pada beberapa pos, yang entah apa saja namanya. Dan, inilah yang kemudian saya hadapi.

Untuk pertama kalinya, saya harus mengalah. Mengalah memberikan kesempatan untuk mereka yang tertangkap curang dengan remidi. Untuk pertama kalinya juga, saya harus mengadakan remidi. Jujur, saya semakin keki. Sudah terbayang saya harus “balik kanan” pada kegiatan yang sudah saya selesaikan, yaitu koreksi ujian. Demi kemudahan sebuah “urusan”, lama saya terdiam memegang ponsel, mau mengumumkan adanya remidi. Dan … demi kemudahan sebuah “urusan”, pengumuman itu terkirim. Bukan atas nama kehendak pribadi tapi pemilik wewenang.

Toleransi semacam ini mengancam ketenangan saya. Saya dalam posisi paling empuk dan enak untuk ditembak demi mencapai kemudahan “urusan”. Plagiarism tidak boleh ditoleransi, mestinya. Nilai pendidikan no cheating harus dibudayakan, mestinya. Lembaga kependidikan harus menghasilkan output individu pendukung kejujuran, mestinya. Dan deretan mestinya-mestinya lagi.

Kepala saya kembali tergeleng untuk kesekian kalinya, bahkan saat menuliskan ini semua. Hembusan nafas berat saat memutar lagi ingatan peristiwa itu seperti … orang tersapu badai dan bertahan di balik papan perlindungan. Di tempat sempit sebesar papan itulah saya bertahan dari kecamuk dialog: siapa yang gila?        

  

)* Penulis adalah anggota PISHI dan dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Universitas PGRI Madiun