Guru sebagai Sampah atau Tempat Sampah?

Hari Rabu pagi itu saya bertekad bulat untuk menjadi lebih sabar ketika mengajar bahasa Inggris di kelas siang. Beberapa kali sebelumnya, kesabaran saya hampir hilang karena beberapa mahasiswa tidak juga memahami materi

Oct 29, 2023 - 17:55
Guru sebagai Sampah atau Tempat Sampah?

Oleh: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd.

Hari Rabu pagi itu saya bertekad bulat untuk menjadi lebih sabar ketika mengajar bahasa Inggris di kelas siang. Beberapa kali sebelumnya, kesabaran saya hampir hilang karena beberapa mahasiswa tidak juga memahami materi. Mereka tidak berusaha untuk mempelajari materi sebelum dan sesudah kelas. 

Ternyata bukan hanya saya saja yang jengkel. Seorang mahasiswi berkata kepada temannya, “Jangan senyum aja kamu, belajar yang serius.” Rupanya dia jengkel karena melihat teman yang dibantunya tidak mau mengingat penjelasan yang sudah diberikannya. 

Saya tunjukkan kesabaran saya dengan memberi penjelasan tambahan. Saya ingatkan diri saya berkali-kali bahwa tugas saya adalah untuk membantu mereka. Saya mau menjadi alat Tuhan untuk mencerdaskan mereka. Penjelasan saya akhiri dengan pemberian motivasi agar mereka belajar bahasa Inggris dengan lebih serius. 

Tiba-tiba seorang mahasiswi menangis. Tentu saja saya kaget. Kami semua kaget. Akhirnya, saya ajak dia ngobrol di kantor saya.

Mahasiswi tersebut mengatakan bahwa dia kesulitan memahami bahasa Inggris karena dia mempunyai pengalaman pahit. Waktu di SMA guru bahasa Inggrisnya pernah melecehkan dia. Dia begitu ketakutan. Ternyata ketakutan tersebut menghalangi otaknya untuk menerima materi bahasa Inggris. 

Saya biarkan dia menceritakan ketakutannya. Dengan berurai airmata lagi, dia keluarkan kemarahan dan kebenciannya kepada guru tersebut. Saya dengarkan dan tampung semua ketakutan, kemarahan dan kebenciannya. Saya menjadi tempat sampahnya pagi itu. Sebagai penutup, saya ajak dia berdoa untuk meminta kepandaian dari Tuhan. 

Mahasiswi saya lainnya mengatakan “Sejak kecil saya tidak pernah mendapatkan guru bahasa Inggris yang baik dan jujur. Secara pribadi saya benci dengan pelajaran Bahasa Inggris apalagi bila gurunya laki-laki.” Setelah mendengar ceritanya, saya dapat memahami kebenciannya. 

Guru SD-nya, seorang laki-laki, mencium bibir seorang murid laki-laki ganteng di depan matanya. Bukan hanya itu, guru tersebut juga memainkan alat kelamin murid tersebut. Semuanya dilakukan guru tersebut di dalam kelas. Murid laki-laki tersebut bersedia menjadi pemuas nafsu gurunya karena dia ingin mendapatkan nilai yang bagus. Ternyata perlakuan tidak senonoh tersebut dialami juga oleh beberapa murid ganteng lainnya. 

Guru SMP dan SMA-nya biasa mengatakan “Jika ingin dapat nilai bagus, kamu harus ikut les”. Ketika murid-murid ikut les, guru-guru tersebut tidak mengajari mereka. Mereka hanya memberikan kunci jawaban ulangan bahasa Inggris di kelas. 

Sementara itu, seorang mahasiswi tanpa ditanya mengatakan, “Guru bahasa Inggris saya mengajarnya beda dengan Ms. Yuli. Dia tidak menjelaskan materi dengan baik. Saya seperti belajar mandiri. Saya dulu takut bertanya karena guru saya suka mengatakan “Gitu aja kamu ndak ngerti. Kamu kemana aja?” 

Gurunya terlalu terpaku di buku cetak saja. Metodenya tidak bervariasi. Ketika murid tidak memahami materi, guru tersebut mempermalukan mereka. Selain mengucapkan kalimat-kalimat negatif di atas, kata ‘stupid’ juga biasa dilontarkan. Guru tersebut juga tidak segan memukul wajah atau jari murid. 

Mahasiswi saya menambahkan “Guru saya salah mengucapkan beberapa kata. Kata ‘read’ (V1) dan ‘red’ dibaca sama.  Kata ‘yellow’ dibaca ‘jello’. Ketiga kata ini ‘present (hadir)’, ‘prison’, present (mempresentasikan) dibaca sama. Kan artinya beda.” 

Saya tidak heran mendengar kesalahan tersebut.  Saya pernah mendengar sendiri seorang guru bahasa Inggris di Surabaya melakukan kesalahan yang sama. Tentu saja ketika guru mengajarkan hal yang salah, murid akan mengikuti dengan melakukan kesalahan yang sama. Saya semakin mengerti mengapa banyak mahasiswa juga melakukan kesalahan yang sama. Mereka mendapat contoh pengucapan yang salah dari guru mereka. 

Guru tersebut sebenarnya tidak mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai. Namun mereka tidak berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka. Sebaliknya, mereka menganggap murid mereka yang bodoh. Tanpa sadar para guru tersebut telah menimbun sampah di memori murid-murid mereka.

Saya sediakan diri saya menjadi tempat sampah bagi para mahasiswa saya. Saya tidak hanya mendengarkan cerita mereka namun saya juga berusaha menjadi guru yang baik bagi mereka. Setelah semua sampah mereka keluarkan, memori mereka perlu diisi dengan hal-hal baru yang merupakan kebalikan dari sampah tersebut. Kemudian, saya berikan semua sampah itu kepada Tuhan. Saya sadar bahwa saya tidak akan dapat menampung semua sampah tersebut sendirian.  

Saya juga tidak segan untuk meminta maaf kepada mereka atas perbuatan guru-guru mereka. Saya mengajak mereka berdiskusi untuk menemukan akar masalah perbuatan para guru tersebut. Diskusi berlanjut sampai kepada tindakan positif yang seharusnya dilakukan para guru tersebut untuk memintarkan anak didiknya. 

Saya memberikan beberapa contoh bagaimana Tuhan Yesus, Sang Guru Agung, berinteraksi dengan para murid-Nya. Diskusi semacam ini sangat diperlukan agar mereka dapat menjadi guru-guru Kristen yang berkualitas. Setelah diskusi tersebut, saya melihat para mahasiswa lebih termotivasi untuk belajar bahasa Inggris. 

Marilah kita, para guru, menjadi tempat sampah dan bukan sampah bagi murid kita. Tantangan di depan bagi anak didik kita semakin berat. Janganlah kita memberi beban yang tidak perlu kepada anak didik kita. 

Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. adalah dosen tetap Prodi PGSD Universitas Kristen Petra, dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Editor: Wadji