Pilpres 2024: Dirty Game atau Clean Game?

Usai sudah fase pencoblosan pilpres, namun masih tersisa konflik yang semakin memanas. Bahkan cenderung membuka konflik yang terbuka antara pendukung paslon tertentu dengan pemerintah karena diduga adanya kecurangan (dirty intervention).

Mar 20, 2024 - 03:17
Pilpres 2024: Dirty Game atau Clean Game?

Oleh: Munawar Ahmad 

Politics it is not a dirty game. It is people who have dirty mind and playing dirty and evil in a game.” -  De Philosopher DJ Kyos

Usai sudah fase pencoblosan pilpres, namun masih tersisa konflik yang semakin memanas. Bahkan cenderung membuka konflik yang terbuka antara pendukung paslon tertentu dengan pemerintah karena diduga adanya kecurangan (dirty intervention). Dugaan tersebut semakin didorong untuk menjadi evidence atas adanya sebuah praduga bersalah, yang sangat efektif dalam menggiring emosi kolektif untuk melakukan perlawanan baik konstitusi, politik maupun masal.

Beberapa hal yang dijadikan bukti adanya dirty vote, antara lain data yang dirilis oleh lembaga survei cepat untuk penghitungan cepat (quick count) sebelum KPU merilis hasil formal dan definitif. Di mana semua lembaga survey menampilkan data rata-rata perolehan suara untuk paslon nomor1 di 24 %, nomor 2 di 57%, dan nomor 3 di 19%.

Meskipun QC ini bukan hasil definitif, namun mampu membuat gentar bagi paslon yang mendapat suara rendah. Khususnya paslon yang didukung oleh partai terkuat saat ini, yakni paslon nomor 3. yang kemudian mencuatkan sekaligus membenarkan adanya dirty vote itu terjadi pada Pilpres 2024 ini.

Film Dirty Vote yang dirilis 4 hari menjelang Pilpres, mampu menghentak kesadaran masyarakat atas dibukanya ke publik berbagai tindak kecurangan pemilu tahun 2019. Film terebut mampu menyedot perhatian masyarakat Indonesia untuk waspada akan terjadi kecurangan yang sama terulang pada pilpres 2024.

Film berjenis dokumenter-politik ini tampaknya didedikasikan untuk pembelajaran politik, sekaligus upaya pencerdasan masyarakat dalam demokrasi serta sistem pemilu di Indonesia. Karena itulah film bernada sinistik atas kinerja KPU langsung mendapat respon keras dari pihak yang merasa tertuduh. Tiga sosok intelektual penting yang terlibat dalam film berdura 2 jam tersebut, yakni Bivitri Susanti (pakar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia), Feri Ansari pakar hukum Universitas Andalas dan Zainal Arifin Mochtar, dosen hukum tata negara FH UGM. Dengan kepakarannya mereka memberi ulasan terhadap bekerjanya apa yang disebut dirty vote tersebut.

Dengan tanda-tanda kemenangan suara untuk paslon nomor 2, yang diduga didukung oleh pemerintah, khususnya presiden, dijadikan korespondensial bagi dugaan adanya dirty vote untuk perolehan suara paslon nomor 2. Apalagi di media sosial mulai berserakan postingan dari masyaakat terkait kejanggalan yang kemudian memperkuat dugaan dirty vote.

Terkait dengan hal tersebut, saya menemukan tulisan Adam Serwer  yang berjudul 10 Dirty Ways to Swing an Election, Politicians and Their Henchmen Have Lots of Ways of Messing with Voters, membahas 10 kecurangan pilpres di USA.  

(1) Vote caging ini terjadi pada pemilu tahun 1981, di mana semua partai mengirimkan surat/email dengan memberi catatan jika surat/emal tidak terkirim untuk segera member respon. Respon inilah yang menjadi jebakan dan dianggap sebagai bentuk vote.

(2) Menyebarkan selebaran (flyers) yang berisi informasi yang deseptif, sehingga terjadi bias informasi terhadap lawan politik, dengan nada yang sentimen terhadap ras, suku. Ini terjadi pada tahun 2004.

(3) Mengirimkan pesan dengan mesin penyebar pesan, robocall, terjadi pada tahun 2010, di mana informasi saling disinformasi disebarkan guna mengelabui pemilih.

(4) Kejahatan mencabut hak pemilih, terjadi pada pemilu 2010, bagi ras tertentu dicabut hak dipilih dan memilih .

(5). Terjebak ketidaklengkapan ID pemilih karena di USA para pemilih memiliki ID, jika tidak lengkap maka kelompok ini akan diklaim sebagai voter bagi partai tertentu.

(6) Menyapu pemilih (voter purges), ini dipakai dengan menggunakan suara dari mereka yang pada saat waktu pemilihan wafat, tetapi namanya terdaftar sebagai pemilih aktif.

(7) Papan ancaman (the menacing billboard) yakni strategi saling sering antar partai dengan memberi peringatan tetapi bernada ancaman terhadap penipuan pemilih, khususnya di daerah minoritas.

(8). Menyebarkan tim pengintai (poll watchers) di tempat pemungutan, sebagai respon gerakan penipuan pemilih, sehingga diperlukan tim pengintai ke tempat pemungutan suara.

(9) Mengacaukan dengan mencuri waktu pemungutan, dikarenakan pemungutan dilakukan pada hari tidak libur sehingga faktor kesibukan para pemilih menjadi alasan jadwal pemungutan dapat berbeda-beda.

(10) Mempersulit registrasi pemilih, hal ini terjadi pada tahun 2008, di mana pemerintah melakukan tindakan mempersulit registrasi pemilih bagi pemilih yang berpotensi tidak akan memilih kandidatnya. Melakuan pernipuan secara langsung kepada pemilih, berupa tindakan membiarkan potensial voters yang sudah terdaftar untuk diupayakan tidak bisa datang ke TPS , sehingga yang datang adalah mereka yang berpontensi akan memilih kandidat yang dikehendaki.

Selain itu juga di dalam buku Election Meltdown: Dirty Tricks, Distrust, and the Threat to American Democracy,  karya Richard LL Hansen, lebih lanjut dan canggih kecurangan tersebut dilakukan sebagai bentuk menjadi pemenang.

Sebagaimana Shakespeare menulis , “The fault is not within our stars, poor Horatio, John, Mike, Sarah, Patricia and Brittany, it’s in ourselves.” Kecurangan terjadi bukan dilakukan para idola, tetapi dilakukan oleh kita sendiri, kerena pada faktanya kekuasan tidak diberikan, tetapi harus direbut (Power is never given, it must always be taken). Kerena itulah para kandidat yang tidak terlibat dalam perebutan tersebut, atau duduk manis menunggu hasil, akan berakhir cepat dan terhenti karirnya pada tempat pemungutan saja.

Sumber lain menambahkan beberapa intervensi  kecurangan atau upaya pemenangkan pemilu yakni pada fase proses pemilihan serta hasil pemilihan. Pada proses ini yang paling menonjol adalah pada sistem digital voting, meliputi intervensi pada software, pengelola server, penyalahgunaan akses ke sistem, rekayasa hasil penghitungan, pemalsuan pemilih. Semua yang disebut diatas merupakan tindak intervensi sepihak guna menggelombungkan suara. Sekali lagi tanpa intervensi, maka pihak pesaing akan intervensi juga.

Kini, setelah beberapa hari berlalu dari hari pemungutan suara, gelombang kekecewaan semakin meluas, bahkan mulai ada indikasi mobilisasi anarkisme pada level gerakan massa. Gerakan protes tumbuh secara teratur, khususnya berasal dari kalangan kaum terpelajar.

Mereka menyuarakan hal yang senada, telah terjadi dirty vote. Kaum terpelajar yang lain berargumen jika terbukti terjadi dirty vote, mereka menyerkan untuk melaporkan sesuai dengan UU No.7 Tahun 2017, yakni jika ada sengketa dalam hal pelaksanaan pemilu maka melaporkan dengan bukti ke Bawaslu. Sedangkan terkait dengan sengketa hasil, diajukan kepada Mahkamah Konstitusi.

Pemilu merupakan amanat dari UUD 1945 pasal 22E diselenggarakan oleh lembaga independen, yakni KPU, yang kedudukannya sebagai state auxiliary organ, guna menunjang fungsi lembaga negara yang masuk dalam alat kelengkapan negara. Dengan demikian terjadinya dugaan dirty vote dianggap menjadi bagian dari kinerja KPU,  bukan kecurangan presiden. Apakah fakta tersebut semakin menyudutkan piplres 2024 merupakan dirty game?

Pertama, Tentu harus dibedakan mana politik dalam definisi ilmu/kondisi, dan mana politik dalam konteks behavioral peronganan/kelompok. Politik sejatinya adalah ilmu yang berupaya menjalaskan dinamika masyarakat berdasarkan disparitas kekuasaan masing-masing, strategi bahkan juga membangun visi kebersamaan dalam kebernilaian.

Kita tidak dapat melepaskan diri dari politik, karena politik adalah salah satu prinsip dasar relasi sosial, baik pada level mikro, messo, hingga makro. Aristoteles menyatakan jika manusia adalah animal politicum, hewan perindu kebaikan hidup untuk bersama (human actions to determine a good life for all).

Kedua, politik merupakan kemampuan untuk memanfaatkan potensi manusia guna mengelola sosialnya menggunakan terknologi terkemuka, yang didalamya terkandung unsur kegelapan. Dengan demikian, politik juga mengandung tujuan mengelola aspek-aspek sosial menjadi baik atau buruk, tergantung dari orientasi penguasa yang berkuasa, atau agensi lain yang mampu menyeimbangkannya.

Ketiga, Dengan demikian, sebuah anggapan keliru jika politik itu kotor, padahal faktanya tidak demikian. Meskipun juga tidak dapat dipungkiri jika di dalam praksis politik bercampur strategi kebaikan dan keburukan yang tidak dapat dipisahkan.  

Pada akhinrya kita tidak bisa juga bisa menghindari jika pemilihan presiden akan sangat kental dengan dirty strategy , sebagai konsekuensi perjudian masa depan dari semua kompetitor. Apalagi bekerjanya demokrasi di Indonesia ini dibayang-bayangi oligarki, maka sudah semakin tidak dapat dihindari jika intervensi kaum oligarkhi dalam proses demokrasi.

Dalam sejarahnya, demokrasi di Indonesia ternyata bukan sistem tunggal dalam pemerintahan, tetapi demokrasi dibayang-bayangi kuasa oligakhi. Ketegangan, saling tikam, saling salip dan menjatuhkan reputasi tidak bisa dihindari. Fakta ini menjadi penyeimbang dan kontrol kuasa sesama kaum oligarki, ibarat dua kutub kuat (strong-party-monopoly) bekerja.

Jadi, dugaan dirty vote pada Pilpres 2024 lebih dominan sebagai kegaduhan kaum oligarki atau investor-investor yang kecewa saja bukan suara rakyat yang sebenarnya. Kegaduhan ini semakin menjelaskan prinsip oligarki-ekuilibrium terjadi, sebagaimana dijelaskan oleh John Nash dalam teori ekuilibrium-nya menyatakan jika semua agensi arbitrary memberi ruang kondusif untuk para oligark menerapkan strategi-strategi untuk menang termasuk dirty game.

Seiring dengan hal tersebut, semua oligarki juga bersiap-siaga untuk saling menyerang sekaligus menyeimbangkan diri. Akibatnya akan terjadi titik stabil dalam perpolitikan.  Solusi optimal hasil kesetimbangan ini yakni terjadi kekuatan baru bersama secara kolektif para elite oligark.

Dengan demikian, harus disadari jika pilpres 2024 merupakan field pertempuran oligarki dalam sistem demokrasi, maka tak mengherakan juga berbagai intervensi terhadap hasil penghitungan pun terjadi. Hal tersebut terjadi bukan karena politik yang kotor akan tetapi para aktor yang terlibat memiliki strategi pemenangan yang sama-sama kotor.

Adapun kekotoran strategi dan upaya pemenangan, tidak mengganggu legalitas dan kredibilitas pelaksana maupun proses pemilu, sehingga hasil yang diumumkan oleh KPU tetap tidak ternodai status hukumnya di mata undang-undang yang berlaku. Karena itulah pilpres 2024 bukan dirty game atau clean game, akan tetapi suitable games, ruang kondusif untuk saling menyeimbangan antar oligark dan oligark-rakyatnya.

Dengan demikian keberhaslan pilpres 2024 tidak sekadar mengumumkan hasil siapa yang menang, akan tetapi juga sebagai ekuilibriumisasi tri-poly, memecah partai-monopoli, sekaligus menyusun kutub baru sebagai penyeimbang dan menempatkan rakyat sebagai penjaga tujuan dari demokrasi itu sendiri, yakni menjaga agar pemerintah tidak tirani.

 

Dr. Munawar Ahmad, S.S., M.Si. adalah dosen Universitas Islam Negeri Yoryakarta.

Editor: Wadji