Emok Duduk Manis, Dikejar Bank Emok Terus Menangis

Siapa namanya?; asalnya dari mana?; apa kerjanya?; kok masih muda ya?, sering kali kalimat tersebut dilontarkan warga bila bertemu dengan pendatang baru. Interogasi klasik semacam itu seakan menjadi lagu wajib yang dipertanyakan kepada warga baru oleh masyarakat setempat.

Sep 17, 2023 - 20:30
Emok Duduk Manis, Dikejar Bank Emok Terus Menangis

Oleh: Sanusi, M.Pd

Siapa namanya?; asalnya dari mana?; apa kerjanya?; kok masih muda ya?, sering kali kalimat tersebut dilontarkan warga bila bertemu dengan pendatang baru. Interogasi klasik semacam itu seakan menjadi lagu wajib yang dipertanyakan kepada warga baru oleh masyarakat setempat.

Risihkah Anda dengan fenomena ini? Menurut hemat penulis justru beruntung kalau masih ada masyarakat yang bertanya demikian. Itu merupakan bentuk komunikasi verbal untuk saling mengenal satu sama lain. Selain itu, pertanyaan-pertanyaan di atas juga sebagai wujud kepedulian masyarakat pada anggota barunya.

Menyitir dari pendapat Linton Ralph, masyarakat merupakan sekelompok manusia yang bekerja sama untuk dapat saling mengorganisasikan dirinya dalam salah satu kesatuan masyarakat. Maka interogasi klasik di atas merupakan pembuka jalan dalam upaya itu. Dengan mengetahui identitas pendatang baru, anggota masyarakat bisa saling mengenal dan menempatkan posisi serta kemampuan satu sama lainnya. Hal itu dilakukan dalam upaya mendukung keberlangsungan kehidupan lingkungannya.

Masyarakat di perkotaan dikenal lebih cuek terhadap pendatang baru dibandingkan dengan masyarakat di  perdesaan. Setiap bertemu dengan orang baru, pertanyaan seperti di atas sering mereka ajukan. Manusia memang makhluk sosial yang tidak mungkin hidup sendirian, karena itu tegur sapa menjadi pembuka untuk interaksi selanjutnya.

Di era modern saat ini di samping tetap menjaga etika, ramah dan selalu bertegur sapa dengan siapapun, kita masih harus memiliki sikap waspada. Jangan sampai keramahan yang dimiliki malah menjerumuskan kita dalam kehancuran. Apakah ada ramah yang membawa kehancuran? Jawabnya, ya ada saja!

Misalnya keramahan ibu-ibu yang dibaca marketingBank Plecit” dalam melancarkan pemasarannya. Ibu-ibu tanpa terasa tergiur pinjaman mudah ditawarkannya. Sambil duduk emok, duduk khas perempuan Sunda, ibu-ibu yang sedang duduk di teras rumah pun dapat pinjaman uang dengan mudah. Bank emok yang merebak di Jawa Barat adalah sebuah  istilah yang menunjukkan kepada proses transaksinya dilakukan sambil lesehan atau duduk emok.

Penulis pada mulanya mengira bila fenomena bank emok atau bank plecit hanya terjadi di dunia maya seperti dalam episode dagelan yang tayang di salah satu channel di Youtube. Perkiraan itu segera berubah setelah pulang kampung beberapa waktu lalu. Penulis menjadi miris ternyata  bank emok benar-benar sebuah realita dan telah memakan banyak korban. Pasalnya ketika penulis ngobrol dengan tetangga, terkuak suatu fakta bahwa si A bercerai dengan si B karena si istri pinjam ke bank emok tanpa sepengetahuan suaminya. Hal itu kemudian memicu pertengkaran di antara mereka sampai berujung perceraian.

Tidak sampai di situ, ada lagi cerita miris dari tetangga sebelah yang dulu anti menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW). Namun saat ini orang tersebut ternyata sudah puluhan tahun bekerja di Taiwan sebagai TKW. Usut punya usut ia dibuat pusing dengan tagihan bank emok yang nilainya mencapai ratusan juta rupiah. Keterpaksaan itulah yang membuatnya ia bekerja di luar negeri.

Tuntutan ekonomi menjadi alasan klasik ibu-ibu terperangkap oleh bank emok, padahal sebenarnya pangkal utamanya karena prinsip hidupnya yang keliru. Prinsip hidup keliru tersebut antara lain:

1.      Gaya hidup yang konsumtif, lebih mengejar keinginan daripada kebutuhan;

2.      Gemerlap kehidupan sosialita yang sok ingin dilihat sukses oleh yang lain, telah menjadi sumbu pendek untuk menyerbu pinjaman mudah;

3.      Kurangnya perhitungan ekonomis mengukur penghasilan dan kemampuan untuk mengembalikan pinjaman telah memaksa meminjam di banyak tempat; dan

4.      Terjadi  gali lobang tutup lobang, meminjam di satu tempat hanya untuk bayar di tempat lain.

 

Kebanyakan tanpa disadarinya bunga pinjaman makin mencekik. Mendapatkan pinjaman di bank emok memang mudah, tetapi ketika dikejar tagihannya sampai ke pintu rumah menjadi sok dan kelabakan. Prosedur pinjaman yang longgar, meminjam tidak perlu ke kantor, tanpa batas jam kerja, dan tersembunyi dari orang lain sebagai alasan ibu-ibu pinjam ke bank emok. Itulah perangkap manis sebelum mengantarnya ke suasana pahit kehidupan.

Lalu bagaimana trik agar kita terhindar dari pinjaman seperti itu? Beberapa trik yang dapat Anda lakukan, antara lain:

1.      Perbaiki prinsip hidup, misal dahulukan kebutuhan tangguhkan keinginan. Contohnya rumah itu kebutuhan tetapi televisi adalah keinginan.

2.      Jadilah diri sendiri dengan segala keadaanya. Terapkan hidup hemat, jangan terjebak sosialita.

3.      Kalaupun terpaksa harus meminjam jangan menguras sampai 30% pendapatan. Carilah pinjaman lunak yang resmi dan perhatikan jangka waktu peminjamannya, semakin cepat semakin sedikit bunganya.

 

Itulah beberapa trik sederhana agar kita terjaga dari pinjaman yang menjerumuskan. Ada sebuah anekdot sederhana dari para penduduk Desa Jambuwer-Kromengan, ketika penulis ngobrol dengan mereka. Katanya, “Kenapa orang dulu umurnya panjang-panjang?”, jawabannya karena mereka makan sederhana bebas pengawet dan lain-lain. Eh tapi bukan itu”, kata mereka. Mereka bilang orang dulu umurnya panjang-panjang karena tidak bisa kredit utang.

“Wah benar juga ya!” Hidup tenang tidak dibebani hutang membuat hidup menjadi damai dan panjang umur. Sebaliknya dikejar-kejar hutang tiap hari bisa memperpendek usia, apalagi kalau bunuh diri gara-gara dikejar bank emok. Nampak jelas umurnya malah dibuat pendek dengan sendirinya. Akhirnya berhati-hatilah kawan terhadap segala jenis rayuan manis. Pepatah bilang, “Sakit gigi dan sakit hati bermula dari yang manis.”

 

Sanusi, M.Pd., adalah dai dan anggota Humanity First Indonesia serta anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia(PISHI).

Tulisan ini telah disunting oleh Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum., adalah dosen di Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).