Pelajaran dari Penyiar

Sore itu saya menyelusuri Jalan Raya Jemursari. Perlu waktu 45 menit lagi untuk sampai di rumah. Jalan yang saya lewati hampir setiap hari itu terasa panjang sekali karena tubuh dan pikiran letih setelah mengajar. Telunjuk jari saya mencari frekuensi radio untuk menghilangkan kejenuhan dan berhenti di angka frekuensi radio baru, sebut saja Radio ‘X’. Tiba-tiba kesegaran memenuhi pikiran dan badan.

Pelajaran dari Penyiar

 

Oleh: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd.

Sore itu saya menyelusuri Jalan Raya Jemursari. Perlu waktu 45 menit lagi untuk sampai di rumah.  Jalan yang saya lewati hampir setiap hari itu terasa panjang sekali karena tubuh dan pikiran letih setelah mengajar. Telunjuk jari saya mencari frekuensi radio untuk menghilangkan kejenuhan dan berhenti di angka frekuensi radio baru, sebut saja Radio ‘X’. Tiba-tiba kesegaran memenuhi pikiran dan badan.

Sepanjang perjalanan, saya asyik mendengarkan dan tidak mengganti frekuensi. Penyiar ini menemani saya sampai di rumah dengan bahagia. Mengapa? Karena banyak pelajaran yang saya dapatkan dari penyiar radio ini.

Hari pertama mendengarkan Radio ‘X’ diikuti oleh hari-hari berikutnya. Ada empat penyiar yang menemani saya. Semakin banyak yang saya pelajari.   

Sebagai pendidik, tidak ada salahnya saya belajar dari penyiar Radio ‘X’ ini. Ternyata ada kesamaan antara pendidik dan penyiar.  Keduanya dituntut untuk mempunyai keterampilan berkomunikasi yang baik. Pendidik dengan keterampilan berkomunikasi yang baik membuat anak didik aktif di kelas. Penyiar dengan keterampilan berkomunikasi yang baik dapat memotivasi pendengar untuk memberikan info lalin.

Menurut saya, gaya berkomunikasi penyiar begitu menarik. Mereka dapat membuat pendengar aktif berinteraksi. Lebih menarik lagi, kedua belah dapat bercanda sementara informasi yang penting dapat tersampaikan dengan baik.

Penyiar menggunakan empat bahasa, yaitu bahasa Indonesia, bahasa Jawa, bahasa Suroboyoan, dan bahasa Inggris. Pendengar pun melakukan hal yang sama. Pencampuran keempat bahasa ini  membuat komunikasi berjalan dengan lancar dan santai. Nyata di sini bahwa penyiar ingin mengakomodisasi minat pendengar dalam menggunakan bahasa.

Beberapa contoh penggunaan bahasa-bahasa tersebut. “See you there. Have a good day”, kata seorang penyiar ketika berpamitan. Di lain waktu, seorang pendengar mengatakan, “Happy weekend semuanya.” Ada penyiar yang senang menyapa pendengar dengan kata ‘bestie’. Kedua penyiar lainnya mengatakan ‘Ojok ngirim maneh, aku arep mulih.’ dan ‘ESPATINDO pripun?’

Pendidik memang tidak bisa sebebas penyiar dalam menggunakan bahasa. Namun, ada pelajaran yang dapat kita ambil. Komunikasi dapat berjalan dengan lebih lancar jika menggunakan bahasa yang nyaman bagi anak didik. Intinya, pendidik perlu menyesuaikan diri dengan anak didik jika ingin mendekati hati mereka.   

Penyiar memberikan topik obrolan di luar lalin. Agar menarik, topik disesuaikan dengan keadaan.  Ketika waktunya makan siang, ada dua penyiar bertugas. Penyiar pertama menginfokan kalau penyiar kedua berbisnis makanan gurami bakar. Interaksi menjadi ramai dan menarik karena bukan hanya info lalin yang diberikan.

Ada pendengar yang memesan gurami dan ada yang cuma iseng bercanda. Pertanyaan candaan, seperti: “Guramine wes akil baligh? Guramine opo duwe keluarga? Gurami bakare ditiup ato dikipasi?”

Candaan-candaan seperti itu direspon oleh penyiar dengan candaan juga. Pertanyaan pendengar “Guraminya ukuran berapa?”dijawab penyiar ‘2 meter’. Suasana menjadi semakin menarik. Tentu saja hal ini menghibur pendengar yang mengalami kemacetan dan keletihan. 

Pembicaraan tentang makanan terus berlanjut karena ada yang mengatakan jangan asem cocok dimakan dengan pindang. Pendengar lainnya menambahkan bahwa tempe goreng dan sambal terasi lebih cocok. Perbedaan pendapat seperti ini membuat pembicaraan siang itu tidak membosankan.

Penyiar lainnya yang bertugas di sore hari mengatakan kalau giginya sedang sakit. Dia menanyakan saran pendengar obat apa yang perlu diminumnya. Pendengarpun ramai berebutan merespon. Ada yang serius memberitahu obatnya, tetapi ada yang bercanda.  

Penyiar pun menanggapi setiap saran pendengar. Menariknya, penyiar mengatakan tidak cocok dengan obat yang mahal. Dia tidak malu mengatakan kalau justru cocok dengan obat yang harganya sangat murah. Pernyataan yang merendah ini pun bisa ditimpali dengan candaan lagi oleh pendengar.

Variasi topik seperti ini memang diperlukan agar berita tidak monoton. Di kelas pendidik juga perlu melakukan variasi yang menyenangkan. Tentu saja, variasinya harus disesuaikan dengan minat anak didik.

Topik-topik di luar lalin ini membuat radio ramai. Pendengar tetap ingin berpartisipasi, meskipun tidak ada info lalin yang perlu dilaporkan. Respon yang diberikan pendengar dan penyiar tentu saja menyegarkan pendengar ketika berkendara.

Hal menari kainnya, penyiar-penyiar ini suka tertawa lepas. Mereka terdengar begitu menikmati pekerjaannya. Ada seorang pendengar yang bertanya kepada seorang penyiar alasan dia terlihat bahagia terus. Penyiar ini menegaskan bahwa dia juga mempunyai masalah kemudian dia menambahkan ‘Hidup itu adalah kebahagiaan’. Jawaban ini singkat, tetapi mengandung makna yang dalam.

Penyiar ini terdengar bahagia ketika bekerja, meskipun mungkin dia mempunyai masalah. Pekerjaan menuntutnya untuk terdengar ceria. Dengan demikian, para pendengar dapat ikut bahagia sehingga mereka dapat berkendara dengan tenang dan selamat sampai tujuan.

Pendidik pun mempunyai tuntutan yang sama. Kesedihan tidak perlu diperlihatkan. Jika pendidik terlihat bahagia, anak didikpun akan bahagia sehingga proses belajar mengajar tidak menjadi siksaan.

Ternyata materi yang serius dapat ditemani dengan candaan. Perjalanan pendengar radio dapat disamakan dengan perjalanan ilmu anak didik kita. Dengan rendah hati, saya mengajak rekan pendidik lainnya untuk membuat perjalanan ilmu anak didik kita menyenangkan. Kiranya Tuhan memberkati niat baik kita.  

 

Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. adalah dosen Prodi PGSD Universitas Kristen Petra dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.