Nyadran, Upacara Merti Desa Sarat Pesan

Oleh: Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum

Aug 14, 2023 - 16:31
Nyadran, Upacara Merti Desa Sarat Pesan

Desa mawa cara, negara mawa tata” adalah peribahasa yang layak disematkan pada upacara Nyadranmerti desa di Banjarsari Madiun. Kata Nyadranberasal dari bahasa Sanskerta, sraddha, yang memiliki makna ‘keyakinan’. Nyadran adalah ungkapan rasa syukur yang dilakukan masyarakat secara kolektif dengan mengunjungi makam atau kuburan leluhur yang ada di suatu kelurahan atau desa. Adapun tujuan dari Nyadran antara lain untuk mendoakan para arwah leluhur, mengingatkan diri akan kematian, menjaga kerukunanwarga, dan menggerakkan perekonomian warga.  

Nyadran juga dikenal  dengan nama Ruwahan atau unggahan. Hal ini dikarenakan kegiatan Nyadran biasanya dilakukan pada bulan Ruwah atau memasuki bulan Ramadhan. Ada juga masyarakat Jawa yang mengadakan tradisi Nyadran pada saat memasuki bulan Sura atau bahkan dalam bulan Sura.

Lain halnya dengan masyarakat desa Banjarsari Kabupaten Madiun, Nyadran merupakan upacara bersih desa yang dilaksanakan menjelang peringatan tujuh belasan (HUT Republik Indonesia) yang jatuh pada hari Jumat Legi. Masyarakat Madiun khususnya warga Banjarsari meyakini bahwa hari Jumat Legi merupakan hari yang baik, hari yang penuh berkah dan kebahagiaan atau keberuntungan (legi). Upacara Nyadran merti desa ini dipusatkan di punden Bajang, dari pagi hingga sore hari.

Sebelum hari H pelaksanaan bersih desa, warga Banjarsari bersama-sama membersihkan makam para leluhurnya masing-masing, terutama makam leluhur atau tokoh desa Banjarsari. Pagi harinya, sebelum sholat Jumat, masyarakat berkumpul dengan membawa ubarampe ke punden Bajang guna melaksanakan doa bersama. Warga desa, para perangkat desa, Kepala Desa, hingga perwakilan Forkompincam turut hadir dalam acara ini.

Setiap warga desa yang ikut Nyadran biasanya membawa ubarampe yang berupa ayam panggang, buceng atau tumpeng, asem-asem, serundeng dan makanan lainnya. Beberapa jenis sayur ditaruh dalam takir, wadah yang terbuat dari daun pisang dan dibentuk segi empat. Ayam panggang, buceng, serundeng, asem-asem dan makanan pelengkap lainnya ditata sedemikian rupa dalam suatu wadah yang disebut dengan ancak.

Makna uba-rampe dalam Nyadran Merti Desa

Menurut Tulus Setiyadi, pemuka adat Banjarsari, tujuan dari Nyadran atau memetri desa atau bersih desa adalah merawat desa agar warga desa terbebas dari marabahaya terutama dari pagebluk (penyakit pandemis). Hal ini disimbolkan dengan cara bersih makam khususnya makam yang dikeramatkan dengan ubarampe pada saat upacara Nyadran dilaksanakan.

Tulus, selanjutnya, menjelaskan bahwa masing-masing ubarampe dalam Nyadran memiliki makna filosofis yang beragam. Misalnya ayam panggang artinya pangabekti maring Hyang, yakni rasa berbakti atau pasrah pada Tuhan Yang Maha Esa.  Buceng bermakna kalbu kang kenceng, tekad yang kuat. Sedangkan tumpeng bermakna tumuju dalan kang lempeng yaitu menuju jalan yang lurus, jalan yang diridhoi Allah (sirathal mustaqim).

Asem-asem atau disebut juga dengan kamal yang memiliki makna kasampurnan jroning ngamal, kesempurnaan dalam beramal atau berbuat kebaikan. Serundeng merupakan perwujudan dari dari bibit kawit asale manungsa, asal mula terjadinya manusia, yaitu proses bertemunya sel sperma dangan sel telur dalam rahim seorang ibu. Makanan-makanan ini ditaruh dalam wadah yang dinamakan dengan takir, maksudnya tumata ing pikir, yaitu dalam bertindak hendaknya kita selalu dipikirkan dahulu baik buruknya atau untung ruginya dari perbuatan kita.

Makanan seperti serundeng, asem-asem, dan lainnya ditempatkan masing-masing dalam takir. Takir-takir tempat sayuran, buceng atau tumpeng, ayam panggang dan panganan lainnya ditempatkan di ancak, talam yang terbuat dari anyaman bambu, daun dan lidi nyiur serta daun pisang yang berbentuk bujursangkar (segi empat). Ancaksebagai simbol dari 4 sumber kehidupan di dunia, yaitu tanah, air, udara dan api. Kecuali itu, ancak juga dapat bermakna 4 alam, yakni alam kandungan, alam dunia, alam kubur, dan alam kelanggengan.

Uba rampe yang dibawa oleh setiap warga kemudian dikumpulkan di tengah-tengah warga yang ikut acara Nyadrandengan cara duduk melingkar. Setelah uba rampe terkumpul semua, kemudian pak Modin (pemuka agama)  memimpin doa yang pada intinya meminta perlindungan, petunjuk, pertolong Tuhan Yang Maha Esa agar terhindar dari bencana dan mara bahaya serta mendapatkan hasil panen yang melimpah nantinya. Kemudian ubarampe yang sudah dibacakan doa, dibagi-bagi pada para warga yang hadir untuk dibawa pulang ke rumahnya masing-masing atau dimakan bersama-sama di tempat pelaksanaan Nyadran.

Setelah sholat Jumat, warga berkumpul kembali di daerah punden Bajang guna menyaksikan seni tayub. Adapun kata tayub merupakan perpaduan dari kata ditata dimen guyub, yaitu semua warga diberi tatanan agar hidup mereka menjadi guyub rukun. Tayub merupakan presentasi dari Dewi Sri (ledhek) dan masyarakat atau petani. Tarian Tayub ini dimulai dengan penyerahan sampur dari penari kepada ketua adat untuk diberikan pada tokoh masyarakat, misal Kepala Desa atau Kepala Dusun ataupun tokoh lain yang hadir.

 

Pesan dalam Nyadran Merti Desa

Nyadran dalam memetri desa yang dilaksanakan oleh warga Banjarsari Madiun memiliki pesan yang sangat berharga dan multifungsi. Hal ini dikarenakan banyak pihak atau piranti yang terkait dalam pelaksanaan upacara Nyadran. Para pihak atau piranti tersebut di antaranya kelompok kesenian Tayub, penari Tayub, pengrajin atau penjual ayam panggang, penjual mainan, pemilik sound system, punden dan lainnya.

          Bila ditilik dari azaz kebermanfaatannya, Nyadran memiliki pesan atau manfaat yang luar biasa banyak ragamnya. Pesan pertama adalah pelestarian alam. Dengan adanya upacara Nyadran yang dilakukan di punden, tempat pohon besar nan rimbun, secara langsung atau pun tidak langsung mengedukasi kita untuk arif dan bijaksana dalam memperlakukan alam, dalam melestarikan alam agar tetap bertahan sampai ke anak-cucu kita nanti.

          Pesan kedua adalah rasa hormat pada orang tua atau leluhur. Upacara Nyadran merti desa identik dengan bersih makam para leluhur atau “penguasa” desa setempat. Kegiatan ini merupakan wujud rasa hormat pada orang tua, bahkan yang sudah meninggal sekalipun. Selain itu juga sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih warga desa kepada para pendahulunya.

Pesan ketiga adalah rasa kebersamaan atau kerukunan. Nyadran merti desa dilaksanakan di punden yang dihadiri oleh warga sekitar. Sehari sebelum pelaksanaan upacara Nyadran, warga bersama-sama bersih desa dengan cara bersih makam para leluhur sebagai esensi dari Nyadran. Pada saat pelaksanaan Nyadran, warga berdoa bersama, makan, bersama dan menari Tayub bersama sebagai ungkapan rasa suka cita dan rasa syukur.

          Pesan keempat adalah pelestarian seni budaya. Hadirnya kesenian tari Tayub di puncak acara Nyadran merti desa, secara tidak langsung ikut melestarikan seni budaya Tayub. Dengan adanya acara tayuban, sebutan tari tayub, di upacara Nyadran, warga yang semula tidak mengenal seni Tayub akan menjadi tahu dan mengerti baik gerak tarinya maupun maknanya. Di samping itu, dalam kesenian ini juga disuguhkan seperangkat perlengkapan campursari sebagai pengiring tari Tayub.

Pesan kelima adalah nilai ekonomis yang tinggi. Kegiatan upacara Nyadran merti desa yang dengan segala macam uba-rampenya, baik langsung maupun tidak langsung ikut menggerakkan roda perekonomian. Pihak-pihak yang ikut merasakan dampak ekonomi antara lain perajing atau penjual ayang panggang, penari Tayub, kesenian Tayub atau campursari, persewaan soundsystem, persewaan baju adat, dan pedagang jajanan atau mainan untuk penonton di acara Nyadran. 

Itulah sekelumit cerita tentang kegiatan upacara Nyadran merti desa di Banjarsari Madiun. Seringkali ada pihak-pihak tertentu yang anti terhadap acara sejenis ini dengan pandangannya yang menilai bahwa acara Nyadran merti desa sebagai suatu kesesatan atau kemusrikan. Penulis berharap tulisan ini dapat membuka cakrawala berpikir dalam menanggapi suatu kegiatan terutama dengan kearifan lokal warisan leluhur kita yang wajib dilestarikan. Semoga...(***)

 

Dr. Aris Wuryantoro, M.Hum, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas PGRI Madiun dan Dewan Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

 

Tulisan ini telah disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd, dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).