Inovasi Budaya Membaca Masyarakat Indonesia

Oleh: Lis Setiawati

Inovasi Budaya Membaca Masyarakat Indonesia

BANYAK masyarakat Indonesia (akademisi, praktisi, dan siswa) yang berprestasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Artinya, masyarakat Indonesia memiliki potensi kecerdasan yang baik. Namun dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia, ambil saja usia produktif ± 190, 3 juta potensi ini masih banyak yang belum digali atau dikembangkan secara maksimal. Hal ini terbukti dalam memahami suatu bacaan sederhana saja banyak yang tidak mampu.

Awalnya ketika saya membaca hasil survey kemampuan membaca yang dilaksanakan PISA (Programme for International Student Assessment) terhadap siswa berusia 15 pada tahun 2015 yang menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat 66 dari 72 negara, saya tidak terlalu merespon.

Pada survey tahun 2018 peringkat Indonesia turun menjadi ke-74  dari 79 negara, saya mulai berpikir. Mungkin sama dengan guru-guru lain yang agak kurang menerima atau mempertanyakan hasil survey PISA tersebut. Bagaimana PISA melakukan dan menentukan hasil survey tersebut? Bagaimana instrumennya? Bagaimana situasi dan kondisi responden ketika melaksanakan tes? Semua keraguan tersebut dapat terjawab dengan cara yang tepat.

Untuk mengetahui keakuratan instrument, pemerintah dalam hal ini departemen pendidikan dapat melihat dan mengkaji instrumen yang digunakan PISA. Jika kondisi siswa yang menjadi responden yang dipertanyakan, tentu saja yang harus dilakukan yakni evaluasi terhadap cara pemilihan dan penentuan siswa untuk dikirim sebagai responden. Materi yang diberikan para pembimbing kepada siswa di dalam pengarahan.

Keraguan saya terhadap hasil PISA pun terjawab melalui hasil belajar mahasiswa (guru) saya sendiri. Walaupun tidak seluruh mahasiswa memperlihat hasil mengecewakan, namun cukup menjadi pukulan bagi saya. Tugas/soal mahasiswa mencari sebuah abstrak (google) lalu menganalisisnya untuk menemukan kelebihan dan kekurangan abstrak tersebut.

Abstrak yang mereka pilih (beberapa mahasiswa) berjudul dan berisi tentang “Meningkatkan Efisiensi Bank Sampah dengan Aplikasi Mobile” Penilaian yang diberikan: “Penulis dapat memberikan gambaran menyeluruh mengenai kegiatan penelitian tentang Hubungan Antara Persepsi Siswa Terhadap Dukungan Sosial Orang Tua dengan Prestasi Belajar Siswa SMA di Surabaya serta mampu menjelaskan latar belakang jurnal penelitian.

Tentu saja saya terhenyak. Bukan hanya disebabkan oleh satu hal, yakni hasil kerja mahasiswa yang nyeleneh, jauh panggang dari api tetapi juga pekerjaan nyeleneh itu hasil dari 20% mahasiswa di satu kelas (menyalin tempel/copy paste). Artinya, kedobohan ini bukan hanya disebabkan tingkat pemahaman yang rendah tetapi juga kerendahan nilai moral yang dimiliki mahasiswa.

Keraguan saya tentang hasil survey PISA terhadap kemampuan membaca siswa Indonesia dibalas oleh dua jawaban dari mahasiswa saya sendiri. (1) Lemahnya tingkat pemahaman (berpikir) dan (2) Rendahnya nilai moral hingga tidak malu menyalin pekerjaan teman. Pengalaman ini memberi pelajaran atau peringatan bagi saya sebagai seorang guru bahwa kemampuan membaca mahasiswa  tidak hanya disebabkan oleh motivasi diri tetapi juga bisa disebabkan oleh baik tidaknya nilai moral yang yang dimiliki.

Pemerintah memang sudah melaksanakan program Literasi di semua sekolah. Siswa wajib melaksanakan kegiatan membaca 15—30 menit sebelum kegiatan belajar mengajar dimulai. Apakah gurunya juga ikut membaca atau sekadar menjadi motivator? Bagaimana hasilnya? Belum ada pemberitahuan apakah sudah dievaluasi atau belum. 

PISA menyurvey kemampuan membaca siswa usia 15 tahun, saya menemukan rendahnya kemampuan membaca mahasiswa yang usianya sekitar 18—22 tahun, artinya lebih dewasa dari usia sekolah. Pengalaman ini menyiratkan bahwa kegiatan literasi sekolah saja tidak cukup.

Makna istilah literasi tidak sekadar memiliki kemampuan dalam baca-tulis tetapi juga mampu mengolah informasi dan pengetahuan menjadi sesuatu yang bermakna bagi kehidupan seseorang. Dengan demikian kemampuan membaca yang dimiliki seseorang membuatnya mampu berpikir kritis, bahkan kreatif. Itu sebabnya, pembelajaran atau pelatihan kemampuan membaca harus dimulai dari ranah berpikir/memahami (C2) hingga berpikir kreatif (C6).  

Masalah rendahnya kemampuan membaca masyarakat bukan masalah ringan yang boleh didiamkan atau diserahkan pada kesadaran masyarakat sendiri. Pemerintah harus berupaya melakukan inovasi budaya baca bagi seluruh kalangan (masyarakat Indonesia). Sebagai masyarakat beragama harus mengerti bahwa membaca menjadi satu ibadah utama. Perintah membaca yang pada hakikatnya adalah belajar merupakan perintah pertama (wahyu pertama) yang disampaikan dalam surat Al ‘Alaq ayat 1—5 berbunyi;

1. Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.

2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.

3. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Mahamulia.

4. Yang mengajar (manusia) dengan pena.

5. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.

 

Rasulullah pun bersabda: “Barang siapa menginginkan (mengetahui) soal-soal yang berhubungan dengan dunia, wajiblah ia memiliki ilmunya; dan barang siapa yang ingin (selamat dan bahagia) di akhirat, wajiblah ia mengetahui ilmunya pula; dan barangsiapa yang menginginkan keduanya, wajiblah ia memiliki ilmu tentang keduanya” (HR. Buchari dan Muslim).

Ayat dan hadis di atas menyimpan makna, wajib bagi setiap manusia untuk membaca/ belajar agar mengerti/paham apa yang harus dilakukan dan mengapa melakukan. Jadi, selain  memperoleh banyak pengetahuan, kemampuan, dan keterampilan dari membaca, manusia sebagai hamba juga telah melaksanakan ibadah kepada Tuhan.

Demi meninggikan derajat bangsa, mengangkat nama negara di mata dunia, inovasi budaya baca masyarakat Indonesia perlu dilakukan. Tentu saja program ini perlu dilaksanakan dengan sungguh-sungguh tidak seperti Program Literasi sekarang (sekadar). Departemen pendidikan dibantu oleh institusi terkait harus melakukan kajian didahului oleh kegiatan survey lebih dari yang dilakukan PISA. Kegiatan survey meliputi hal-hal berikut.

·         Survey tentang berapa banyak waktu yang digunakan warga (guru/dosen, siswa/mahasiswa, aktivis, praktisi, wirausaha, ibu rumah tangga/orangtua) untuk membaca. Bandingkan dengan standar yang dibuat UNESCO untuk kegiatan membaca buku (cetak, ebook) yaitu 4—6 jam setiap hari.

·         Survey tentang kemampuan membaca warga/masyarakat Indonesia (guru/dosen, siswa/mahasiswa, aktivis, praktisi, wirausaha, ibu rumah tangga/orangtua) dengan instrumen yang tepat/relevan.

·         Survey tentang keberadaan perpustakaan sekolah, daerah, dan nasional. Survey terkait dengan perpustakaan meliputi kelayakan bangunan, letak/lokasi (strategis untuk dikunjungi siswa), koleksi buku, pegawai perpustakaan yang layak (mememuhi persyaratan sebagai pustakawan).

·         Survey tentang minat pada bahan bacaan setiap jenjang usia (PAUD, SD, SMP, SMA, lainnya).

Tugas ini tidak selesai dengan diperolehnya hasil survey tetapi harus ditindaklanjuti dengan berbagai kegiatan sesuai hasil survey yakni menyusun rencana dan melaksanakan program kegiatan sebagai berikut.

1.                       Program wajib membaca bagi seluruh masyarakat 1-2 jam dalam satu hari.

2.                       Lomba membaca (memahami isi bacaan) bagi berbagai lapisan masyarakat setiap tahun. Misal: Hari Pendidikan Nasional.

3.                       Membenahi seluruh perpustakaan sekolah, daerah, dan nasional meliputi kelayakan bangunan, letak/lokasi perpustakaan, koleksi buku, dan kelayakan pegawai perpustakaan.

4.                       Program melengkapi variasi bahan bacaan di perpustakaan sekolah (PAUD, SD, SMP, SMA, lainnya).

5.                       Program pelatihan guru untuk:

1.      meningkatkan kemampuan membaca dengan tingkat pemahaman C2—C6,

2.      meningkatkan kemampuan menyusun strategi pembelajaran membaca sehingga siswa pun memiliki tingkat kemampuan membaca C2—C6 secara berkesinambungan.

 

Memang, bukan pekerjaan ringan tetapi harus dilakukan jika tidak ingin bangsa ini terus berjalan di tempat bahkan bisa tertinggal oleh negara-negara yang wilayah dan masyarakatnya lebih kecil/sedikit. Tidak perlu bicara soal dana, semua masyarakat sudah tahu berapa kekayaan Indonesia yang pindah tangan dan kemana dana rakyat yang disembunyikan para koruptor. Di sinilah perlu diperbaiki nilai-nilai moral bangsa.

 

Dengan demikian, selain membimbing masyarakat menjadi cerdas dengan membaca, bimbing pula masyarakat untuk memiliki moral yang baik, jujur sebagaimana orang beriman; nasionalis sebagai pewaris para pahlawan bangsa; optimis sebagai generasi pengisi kemerdekaan yang akan membawa negara dan bangsa ini sejajar atau lebih tinggi dari negara lain.

Para pemegang kekuasaan jangan pernah takut rakyatnya menjadi pintar mengritik demi perbaikan dan kemajuan bangsa. Jangan pula takut pengelolaan negara ini dipegang oleh anak bangsa yang lebih berkualitas sehingga timbul pikiran buruk yang tidak disadari yaitu  memindahkan pengelolaan negara ini kepada orang (bangsa) lain.

Tumbuhkan kecerdasan generasi ’45 ini melalui budaya membaca yang terprogram dengan baik. Sibukkan diri membangun bangsa dan negara dengan budaya baca (belajar). Ulama besar Buya Hamka berkata: "Membaca buku-buku yang baik berarti memberi makanan rohani yang baik." (****)

 

Penulis adalah dosen Universitas Terbuka.