Menyikapi Beda Fatwa Pewarna Karmin: MUI Nyatakan Halal, NU Jatim Anggap Haram

Adapun penggunaan karmin dalam pangan dan kosmetik menurut Jumhur Syafi'iyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis. Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi Hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Sep 30, 2023 - 16:49
Menyikapi Beda Fatwa Pewarna Karmin: MUI Nyatakan Halal, NU Jatim Anggap Haram

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jawa Timur menyatakan pewarna dengan bahan karmin atau carmine yang berasal dari serangga sebagai sesuatu yang haram, sehingga tak boleh digunakan dalam bahan pangan atau kosmetika.

"Karena hal itu, kita sudah memutuskan (dalam bahtsul masail) bahwa (karmin) itu merupakan bagian yang diharamkan menurut Imam Syafi'i. Dan kita adalah orang-orang dari kalangan Syafi'iyah," ujar Katib Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jatim Romadlon Chotib dikutip di laman resmi NU Jatim.

Karmin merupakan pewarna dari ekstrak serangga berjenis cochineal atau kutu daun. Pewarna karmin dapat ditemukan di antaranya dalam produk pangan komersial, seperti yoghurt, susu, permen, es krim, dan pangan lainnya yang berwarna merah hingga merah muda.

Hasil Bahtsul Masail NU Jatim itu memutuskan bahwa bangkai serangga (hasyarat) tidak boleh dikonsumsi karena najis dan menjijikkan, kecuali menurut sebagian pendapat dalam madzhab Maliki.

Adapun penggunaan karmin dalam pangan dan kosmetik menurut Jumhur Syafi'iyah tidak diperbolehkan karena dihukumi najis.

Sedangkan menurut Imam Qoffal, Imam Malik, dan Imam Abi Hanifah dihukumi suci sehingga diperbolehkan karena serangga tidak mempunyai darah yang menyebabkan bangkainya bisa membusuk.

Romadlon menyampaikan bahan pangan atau hal lain yang menggunakan pewarna karmin biasanya mencantumkan kode E-120. Untuk itu, ia menyarankan menghindari produk jika tertulis kode E-120.

Ia menyebutkan selama ini ulama seringkali menghindari sesuatu yang haram. Baginya, upaya ini untuk mencari keberkahan dalam hidup. Berkah tersebut dimaksudkan bahwa dalam kehidupan itu semakin hari semakin tenang dan damai.

"Kalau orang yang sering makan barang haram itu kan hatinya semakin keras dan sulit untuk dikendalikan. Sehingga apa yang diputuskan dari LBMNU Jatim hendaknya menjadi perhatian bersama," ucapnya.

Sementara itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyatakan pewarna karmin yang berasal dari serangga cochineal halal dan bisa digunakan untuk berbagai jenis makan dan minuman. Hal ini termaktub dalam Fatwa MUI No. 33 Tahun 2011 tentang Hukum Pewarna Makanan dan Minuman dari Serangga Cochineal.

"Atas dasar itu, MUI menetapkan fatwa bahwa penggunaan Cochineal untuk kepentingan pewarna makanan hukumnya halal sepanjang bermanfaat dan tidak membahayakan," kata Ketua MUI Bidang Fatwa Asrorun Niam Soleh dalam keterangannya.

MUI menganggap serangga cochineal hidup di atas kaktus dan memperoleh nutrisi dari tanaman, bukan dari bahan yang kotor. Hewan ini mempunyai banyak persamaan dengan belalang, termasuk darahnya yang tidak mengalir.

Asrorun lantas menghargai hasil keputusan Bahtsul Masail NU Jawa Timur yang mengharamkan penggunaan karmin untuk kepentingan pewarna makanan. Menurutnya, hal ini bagian dari proses ijtihad yang perlu dihormati.

"Hanya saja penetapan hukum berbeda akibat dari perbedaan tashawwur masalah. MUI menggunakan pendekatan tahqiqul manath dengan memeriksa detil jenis hewan yang digunakan sebagai pewarna tersebut, mengingat jenis serangga itu sangat beragam. Sementara LBM NU Jatim, kalau membaca hasilnya, menyebutkan hukum serangga secara umum," kata Asrorun.

Asrorun menjelaskan MUI telah mengundang khusus ahli entomologi sebelum menetapkan fatwa soal pewarna karmin tersebut. Ahli uji, lanjutnya, telah memberikan informasi utuh mengenai jenis hewan cochineal yang digunakan sebagai pewarna.

Ia menegaskan MUI telah mendalaminya dengan saksama, melakukan kajian mendalam mengenai tashawwur masalah secara utuh lantaran jenis serangga sangat beragam dengan berbagai spesiesnya.

"Lebih dari enam kali forum diskusi dilaksanakan. Di dalamnya, kita mendengar berbagai pendapat dari para ahli di bidangnya untuk dijadikan pertimbangan penetapan hukum [fatwa]," kata dia.(han)