Mengkritisi Fenomena Bahasa Sarkasme ala Penguasa

Bahasa menunjukkan bangsa. Demikian peribahasa melayu terkenal yang selama ini sering kita dengar. Peribahasa ini menyiratkan pesan bahwa bahasa yang sempurna atau diucapkan secara santun oleh seseorang menunjukkan peradaban

Oct 3, 2023 - 14:03
Mengkritisi Fenomena Bahasa Sarkasme ala Penguasa

Oleh: Agus Salimullah, M.Pd.

 

Bahasa menunjukkan bangsa. Demikian peribahasa melayu terkenal yang selama ini sering kita dengar. Peribahasa ini menyiratkan pesan bahwa bahasa yang sempurna atau diucapkan secara santun  oleh seseorang menunjukkan peradaban yang tinggi dari pemilik bahasa itu sendiri. Tapi tampaknya, peribahasa tersebut saat ini kurang begitu relevan. Bahasa tidak lagi ditempatkan sebagai alat komunikasi yang semestinya. Simak saja, bagaimana akhir-akhir ini kita kerap disuguhi diksi-diksi sarkasme yang membuat kita terperangah, kaget, dan tentu bertanya-tanya. Hal itu dipicu adanya penggunaan diksi-diksi sarkasme dari kalangan pejabat publik dan elit politik yang terasa sangat kasar.

Sebut saja diksi  'seruduk', 'buldozer', dan 'piting' yang baru-baru ini viral. Bahkan sebelumnya juga sempat viral diksi 'dungu’, ‘qorun’, ‘haman’, ‘bajingan yang tolol’, ‘bajingan yang pengecut’ ‘tempeleng’, ‘bodoh’, ‘seperti fir’aun’ dan sebagainya. Melihat fenomena bahasa sarkasme seperti itu, maka tak ada bedanya bahasa kaum elit dengan bahasa rakyat kebanyakan. Keduanya  sama-sama menggunakan bahasa sarkasme yang  jauh dari etika kesopanan. Bisa jadi, munculnya diksi-diksi sarkasme para elit itu merefleksikan adanya kemiskinan berbahasa mereka. Padahal kita ketahui, semakin tinggi status sosial seseorang, seharusnya diikuti dengan semakin sopan dan santunnya dalam berbahasa. Tidak sebaliknya, melontarkan diksi-diksi kasar yang jauh dari norma kesopanan.

Bagi mereka yang menyampaikan, diksi yang terlontar barangkali dianggap hal yang biasa. Bahkan, bisa jadi menurut mereka maknanya tak ‘sekasar’ diksinya. Namun saat sampai di telinga publik, apalagi masyarakat awam, hal itu dianggap memiliki makna yang kasar dan menyakitkan. Fenomena sarkasme bahasa seperti ini sebenarnya bukan hal yang baru, apalagi di media sosial. Selama ini,  kebanyakan diksi sarkasme tersebut  dilontarkan nitizen masyarakat umum dalam menanggapi berbagai hal, terutama yang bersinggungan dengan masalah politik. Yang menarik untuk dicermati, bagaimana jika yang melontarkan diksi-diksi tersebut adalah seorang publik figur, hal itu tentu menjadi preseden buruk di mata publik.

Kata sarkasme sendiri diturunkan dari bahasa Yunani asal kata “sark” yang berarti  “daging” dan “asmos” yang berarti “merobek”. Secara harfiah, sarkasme berarti merobek daging seperti anjing. Hal itu sejalan dengan ciri utama sarkasme, yakni selalu mengandung kepahitan dan  celaan yang getir, menyakiti hati, dan kurang enak didengar. Dalam KBBI, sarkasme dimaknai dengan suatu kata yang pedas, cemoohan atau ejekan kasar untuk menyakiti hati orang lain. Sarkasme juga berisi kata-kata sindiran yang dimaksudkan untuk menyinggung perasaan. Pada umumnya, sarkasme bahasa digunakan pada saat memberikan kritik atas suatu peristiwa atau kondisi yang dipandang kurang sesuai.

Jika kita kaji lebih mendalam, bahasa sarkasme merupakan hal yang mengandung ujaran menyimpang secara pragmatis. Penyimpangan pragmatis tersebut antara lain tampak pada penggunaan gaya bahasa sarkasme secara terbuka, dapat dibaca atau bahkan bisa didengar oleh semua orang di seluruh dunia. Sarkasme bahasa ini biasanya  muncul guna menunjukkan  respons negatif, semisal sikap jengkel, tidak suka, muak, marah, dan sebagainya. Penempatan sarkasme dalam tuturan lisan maupun tertulis telah melanggar etika dalam berkomunikasi. Sebab, dalam berkomunikasi, seorang penutur memiliki tugas membina kerjasama yang baik dengan lawan tuturnya. Itulah sebabnya mengapa pada diri seseorang itu perlu mengutamakan etika dalam bertutur kata.

Kebiasaan melontarkan ujaran bernuansa sarkasme, apalagi oleh public figure, secara tidak langsung memunculkan persepsi analogi bahwa pada umumnya bangsa Indonesia senang menggunakan ungkapan sarkasme tersebut.  Selain itu, propaganda bahwa menggunakan bahasa yang sarkastik di forum resmi adalah hal yang biasa, dan bukan lagi dipandang sebagai pelanggaran etika pergaulan. Lebih jauh lagi, jika ‘tradisi’ ini dibiarkan begitu saja, akan semakin mengarah pada munculnya budaya komunikasi baru yang tidak sehat, komunikasi yang tidak mencerminkan karakter dan budaya bangsa Indonesia sebagai bangsa timur yang dikenal santun, ramah, dan berbudaya tinggi.

Memang perlu perenungan yang mendalam oleh setiap pengguna bahasa bahwa berbahasa tidak sekadar bermaksud menyampaikan  pesan, melainkan juga membangun harmoni sosial. Keduanya harus terwujud. Untuk itu, ungkapan ‘yang penting maksud tercapai’, tentunya sudah tidak relevan. Apa yang diucapkan oleh pejabat publik dengan diksi ‘kasarnya’ jelas tidak memenuhi syarat fungsi berbahasa. Pasalnya, yang terjadi  kemudian bukan harmoni social antara pejabat publik yang nota bene pemerintah dengan masyarakat, melainkan  disharmoni atau menimbulkan konflik baru.

 

Penulis adalah anggota PISHI, wartawan Harian Bangsa, dan mahasiswa program doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Negeri Malang. Tulisan ini disunting oleh Dr. Mu’minin, M.A. Dosen Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Universitas PGRI Jombang sekaligus anggota PISHI.