Harapan Filosofis Melalui Uji Kompetensi Mahasiswa di Tahun Baru 2023

Pada tanggal 31 Desember 2022 telah lewat dan kita sekarang masih berada di tahun baru 2023. Tahun baru menjadi sebuah harapan bagi setiap manusia dalam mengharapkan masa depan yang lebih baik. Namun, tampaknya harapan yang lebih baik hanyalah sebuah harapan filososfis. Hal ini dibuktikan dengan adanya harapan yang lebih baik bagi setiap insan. Akan tetapi, harapan tersebut tidak kunjung tiba. Dengan demikian, harapan hanya tinggal angan-angan semata atau harapan filosofis.

Jan 7, 2023 - 21:27
Harapan Filosofis Melalui Uji Kompetensi Mahasiswa  di Tahun Baru 2023
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Dr. Abd. Muqit, M.Pd. (Ruud Van Labot)

 

Pada tanggal 31 Desember 2022 telah lewat dan kita sekarang masih berada di tahun baru 2023. Tahun baru menjadi sebuah harapan bagi setiap manusia dalam mengharapkan masa depan yang lebih baik. Namun, tampaknya harapan yang lebih baik hanyalah sebuah harapan filososfis. Hal ini dibuktikan dengan adanya harapan yang lebih baik bagi setiap insan. Akan tetapi, harapan tersebut tidak kunjung tiba. Dengan demikian, harapan hanya tinggal angan-angan semata atau harapan filosofis.

Harapan filosofis mengacu kepada sebuah istilah kata yang diambil dari kata filosof atau filsuf. Filsuf diartikan sebagai seorang pakar dan ahli yang memiliki keinginan idealis sesuai dengan norma, etika, fakta, dan banyak hal lainnya dalam suatu kehidupan. Namun, harapannya jarang dapat diwujudkan. Yang mampu mewujudkan adalah orang lain. Orang tersebut umumnya berbeda zaman dengan sang filsuf. Nah, harapan filosofis dapat diartikan sebagai suatu harapan yang diinginkan, tetapi harapan tersebut tidak kunjung tiba. Harapan filosofis bukan merupakan suatu kritikan pada zaman, kondisi, dan Tuhan. Ini bukan suatu protes, tetapi suatu instrospeksi yang wajib dilakukan demi mencapai tujuan mulia dan besar serta yang  ingin diwujudkannya.

Namun, pada tahun 2023, harapan para  mahasiswa digerakkan dengan  diproyeksikan melalui  uji kompetensi dalam berbagai bidang. Yang telah lulus mengikuti ujian kompetensi, diharapkan mereka dengan mudah mampu beradaptasi dengan beragam profesi. Mengingat label “kompeten” yang dia miliki, diharapkan para mahasiwa siap dalam mengikuti persaingan bebas melalui profesi masing-masing setelah lulus.

Selanjutnya, harapan  diadakannya  sebuah uji kompetensi adalah sebagai berikut:

·      Perluasan Kesempatan Kerja

·      Penanggulangan Pengangguran

·      Peningkatan Kesejahteraan Tenaga Kerja

·      Perlindungan Kerja

·      Peningkatan Daya Saing Usaha

Dari beberapa harapan yang dikemukakan sebelumnya, maksud diadakannya pelaksanaan uji kompetensi adalah  sebagai sarana untuk mendapatkan bukti-bukti yang valid, berlaku sekarang/terkini/serta otentik sebagai dasar apakah peserta uji sudah kompeten atau belum kompeten terhadap unit kompetensi yang diujikan.

Uji kompetensi dilakukan melalui proses penilaian (assesment) baik teknis maupun nonteknis melalui pengumpulan bukti yang relevan untuk menentukan seseorang telah kompeten atau belum kompeten pada skema sertifikasi tertentu. Uji kompetensi bersifat terbuka, tanpa diskriminasi dan diselenggarakan secara transparan. Prinsip-prinsip yang harus dipenuhi dalam uji kompetensi adalah validreliable, fleksibel, adil, efektif, dan efisien berpusat pada peserta uji kompetensi dan memenuhi syarat keselamatan kerja.

Keberadaan uji kompetensi yang memiliki harapan dan maksud yang baik, perlu diapresiasi dan dicermati. Dikatakan demikian karena keberadaannya memang muncul sebagai upaya di dalam mengatasi beberapa persoalan yang dihadapi para lulusan perguruan tinggi. Jadi, perlu diapresiasi keberadaannya karena merupakan langkah maju dalam sebuah upaya mengatasi persoalan yang kontrekstual dan aktual. Kemudian, perlu pula dicermati apakah keberadaan uji kompetensi memang sesuai dengan kebutuhan pasar (market), lingkungan (environment), suasana kultural (cultural events) uji kompetensi tersebut diadakan.

Uji kompetensi memang perlu dilakukan untuk mengukur sejauh mana para mahasiswa memiliki kompetensi di dalam mengaplikasikan suatu model tertentu. Hal ini adalah keahlian (Skill). Menurut pakar Manajemen Sumber Daya Manusia Polinema, Mr. Joni (pimpinan Jurusan Business management and Administration) bahwa memang uji kompetensi perlu dilakukan untuk para mahasiswa. Namun, tidak semua mahasiswa diwajibkan mengikutinya. Hanya mereka yang perlu keterangan kompetensi skillnya. Menurut beliau, uji kompetensi sangat tepat diberikan kepada mahasiswa jurusan eksakta saja dan science, misalnya teknik (engineering) dan kedokteran (medical).  Akan tetapi, untuk para mahasiwa jurusan sosial sulit karena parameternya tidak jelas. Beliau mencontohkan mahasiswa business marketing, kompetensinya apa yang akan diuji, parameternya apa?.  Beliau juga menambahkan jika jurusan sastra, uji kompetensinya apa, parameternya apa? Kan sulit pungkasnya. Beliau menutup pandangannya bahwa uji kompetensi sangat perlu dilakukan, tetapi khusus bagi para mahasiswa eksakta saja. Beliau dengan berseloroh mengatakan bahwa jangan-jangan yang menguji ujian kompetensi malah tidak pernah melakukan apa yang diujikan kepada orang lain.

Bertolak dari pandangan di atas, layak dipikir ulang uji kompetensi, apakah memang sangat tepat diadakan dan sangat dibutuhkan. Karena itu, para dosen di perguruan tinggi bingung, kok uji kompetensi ujug-ujug diadakan. Misalnya, untuk menguji kompetensi mahasiswa, kalau sudah teruji dan bersertifikat, apakah memang benar dia akan dapat dengan mudah mencari pekerjaan? Jika jawabannya iya bagus, tetapi, jika jawabannya tidak, apa konsekuensinya bagi pemegang sertifikat kompetensi. Kepada siapa dia meminta tanggung jawab, apakah ke kampus yang mengeluarkannya, penyedia uji kompetensi, perusahaan, atau pemerintah. Ini belum jelas. Oleh sebab itu, penyedia uji kompetensi harus sadar bahwa dirinya sedang dipermainkan oleh konsep pendidikan ala barat bahwa segalanya dapat diukur secara mekanis. Para insan civitas akademika dan vokatif perlu cerdas bahwa dalam hidup tidak pernah ada ukuran mekanis, yang ada adalah ukuran penyadaran. Dengan demikian, para mahasiswa tidak menjadi alat dan kuli saja, tetapi mereka mampu menciptakan aktiivitas profesi apa saja yang profitable dan halal sesuai dengan jati dirinya, lingkungan, dan fashion yang dihadapi.

Melalui tahun baru di 2023 ini, kita berharap jangan sampai para  mahasiswa diberi harapan kosong dengan kompetensi dan embel-embel lainnya, tetapi mereka disadarkan akan jati diri dan fungsinya di dalam keluarga, masyarakat, dan lingkungannya. Dengan demikian, harapan angan-angan (filosofi) di tahun 2023 tidak terjadi. Kemungkinan yang akan muncul adalah mahasiswa sukses tanpa uji kompetensi melalui enterepreneural student desire. Semoga….

 

 

Malang, 5 Januari 2023

 

 

Dr. Abd. Muqit, M.Pd.  adalah dosen Prodi Bahasa Inggris, Politeknik Negeri Malang dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.