Mempertanyakan Kejujuran Jubir Densus 88 di Kasus Polisi Tembak Polisi, Pengamat: Bak Sambo Jilid II

"Tidak benar ada penembakan. Tidak ada (pertengkaran). Peristiwanya adalah kelalaian pada saat mengeluarkan senjata dari tas sehingga senjata meletus dan mengenai anggota lain di depannya," kata Aswin saat dikonfirmasi, Kamis (27/7).

Jul 28, 2023 - 17:21
Mempertanyakan Kejujuran Jubir Densus 88 di Kasus Polisi Tembak Polisi, Pengamat: Bak Sambo Jilid II

NUSADAILY.COM – BOGOR - Seorang anggota Densus 88 Antiteror Polri bernama Bripda Ignatius Dwi Frisco Sirage tewas tertembak oleh seniornya di Rusun Polri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, pada Minggu (23/7) dini hari.

Juru Bicara Densus 88 Polri Kombes Aswin Siregar membantah kabar Bripda Ignatius tewas tertembak usai bertengkar dengan rekan seniornya.

Ia mengklaim insiden tersebut terjadi akibat kelalaian rekan senior Bripka Ignatius yakni Bripda IMS dan Bripka IG.

Aswin menyebut Bripda Ignatius tewas lantaran terkena tembakan saat rekan seniornya sedang mengeluarkan senjata api dari dalam tas. Senjata api tersebut tercatat milik Bripda IMS.

"Tidak benar ada penembakan. Tidak ada (pertengkaran). Peristiwanya adalah kelalaian pada saat mengeluarkan senjata dari tas sehingga senjata meletus dan mengenai anggota lain di depannya," kata Aswin saat dikonfirmasi, Kamis (27/7).

Menko Polhukam Mahfud MD pun meminta kepolisian membongkar tuntas kasus penembakan Bripda Ignatius.

Mahfud mengatakan kasus ini sudah direspons dan ditangani oleh kepolisian. Ia mengaku tak perlu lagi membahas insiden tersebut dengan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.

Berdasarkan hasil autopsi yang dilakukan Rumah Sakit Polri Kramat Jati terhadap jenazah Bripda Ignatius, ditemukan satu luka tembak di bagian leher, dari belakang telinga kiri tembus ke telinga kanan.

Jenazah Bripda Ignatius telah diserahkan kepada pihak keluarga untuk di bawa ke Pontianak, Kalimantan Barat, Selasa (25/7) kemarin.

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto ragu dengan narasi yang disampaikan Polri terkait insiden penembakan ini.

Bambang mempertanyakan jenis senjata api dan peluru yang mengenai Bripda Ignatius, sehingga mengakibatkan luka tembak dari belakang telinga kiri tembus ke telinga kanan.

Ia khawatir kasus ini mengulang narasi yang dibangun kepolisian pada awal kasus penembakan Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J di rumah dinas mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo pada Juli 2022 lalu.

Kala itu, polisi menyampaikan Brigadir J tewas usai baku tembak dengan Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E yang memergokinya telah melecehkan istri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi.

"Logika awamnya pistol dari tempat penyimpanan dikeluarkan dalam keadaan terkunci, bagaimana bisa tiba-tiba meletus. Dalam rangka tugas apa para personel tersebut membawa senpi mengingat lokasi konon di asrama? Apa jenis senjata apinya? Apa peran masing-masing pelaku yang sudah ditetapkan adalah dua orang?" kata Bambang mengutip CNNIndonesia.com, Kamis (27/7) malam.

Menurutnya, narasi-narasi yang janggal seperti itu hanya akan menciptakan asumsi bahwa ada hal yang ditutup-tutupi oleh kepolisian.

Bambang menyebut kelalaian penggunaan senjata api oleh personel kepolisian yang mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang bukanlah yang pertama terjadi.

Ia menilai pernyataan yang menyebutkan bahwa penghilangan nyawa Bripda Ignatius karena kelalaian akan memunculkan permisifitas terhadap pelanggaran penggunaan senjata api oleh personel.

"Penghilangan nyawa seseorang dengan senjata adalah kejahatan yang harus dihukum pidana, alih-alih hanya diberi sanksi disiplin atau etik ringan atau sedang saja," ujarnya.

"Pernyataan Karopenmas bahwa Polri tidak akan toleran pada pelanggaran aturan dan perundangan tentu akan dibandingkan dengan fakta bahwa Polri pernah toleran pada pelaku tindak pidana pembunuhan dalam kasus penembakan Brigadir J," kata Bambang.

Bambang menyebut jika polisi tak mengusut kasus penembakan Bripda Ignatius secara terbuka, maka masyarakat akan mencap bahwa kasus ini merupakan kasus Brigadir J jilid II.

"Kalau cara penanganan tidak transparan dan komunikasinya penuh kejanggalan, asumsi yang muncul di masyarakat pasti jadi kasus Brigadir J II," ujarnya.

Sementara pakar hukum pidana Universitas Jenderal Soediman Hibnu Nugroho menyoroti klaim kelalaian dalam penggunaan senjata api hingga Bripda Ignatius tewas.

Menurutnya, unsur melawan hukum perlu dibuktikan dalam kelalaian tersebut.

Ia menyampaikan meski kelalaian masuk dalam tindak pidana, namun ancaman hukumannya tidak seberat tindak pidana yang dilakukan dengan unsur kesengajaan.

Hibnu meminta Polri profesional dalam mengusut kasus ini meski tuntutan masyarakat begitu kuat. Ia menyebut tak ada alasan pemaaf berupa ketidakmampuan pelaku dan alasan pembenar berupa perintah jabatan.

"Kalau memang itu kelalaian ya hukumannya kelalaian. Tidak menjadi berat, seperti halnya di lalu lintas karena kealpaan mengakibatkan matinya orang. Kan enggak sengaja. Itu yang saya kira harus objektif dan ini harus dituntaskan," ujar Hibnu.

Hibnu mengatakan dalih kelalaian dalam penggunaan senjata api itu perlu dilakukan pembuktian. Tak hanya secara manual namun juga secara scientific crime investigation melalui rekaman CCTV yang berada di TKP.

Melalui CCTV tersebut, terang dia, akan didapati informasi mengenai cara pelaku menembak hingga meletusnya senjata api.

"Makanya itu yang saya kira dibuka jelas karena CCTV itu sebagai bukti akurat yang menggantikan saksi-saksi di dalamnya, sehingga kalau memang tadinya ada pertengkaran berarti akan kelihatan. Sudah dimulai pertengkaran atau belum, jejak lukanya bagaimana. Gampang itu karena locus dan tempus-nya jelas," katanya.

Menurutnya, polisi akan transparan dalam mengusut rekaman CCTV tersebut. Pasalnya, CCTV merupakan alat bukti yang sangat mendukung untuk menghindari manipulasi terhadap bukti-bukti di TKP.

Ia berpendapat polisi telah belajar dari kasus Ferdy Sambo di mana saat itu sejumlah petinggi Polri melakukan perintangan penyidikan atau obstruction of justice terkait kematian Brigadir J.

"Saya kira polisi juga enggak akan nutup-nutupi sebagai bentuk pembelajaran seperti halnya kasus Sambo. Kan akhirnya gampang semua sepanjang CCTV itu tidak rusak, tidak dihilangkan. Ini kan tidak hilang semua. Jadi lebih cepat," ujarnya.

Hibnu menilai kasus kematian Bripda Ignatius tak bisa disamakan dengan kasus pembunuhan berencana Brigadir J. Sebab, dalam kasus ini tak ada kepentingan tertentu seperti halnya kasus Sambo.

"Tampaknya enggak (Sambo jilid II) ini karena kelalaian. Kalau Sambo kan ada suatu kepentingan tertentu. Ini kan enggak, karena kelalaian. Kalau itu (kasus Sambo) kan ada kesengajaan, perencanaan, kan lebih berat sana. Saya kira murni kelalain sementara ini. Kan masih dikembangkan terus," ujarnya.(sir)