Melihat Konflik Agraria Akibat PSN Era Jokowi Versi KPA

"KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Minggu (24/9).

Sep 25, 2023 - 16:41
Melihat Konflik Agraria Akibat PSN Era Jokowi Versi KPA
Ilustrasi

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN).

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti.

"KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Minggu (24/9).

Dewi menjabarkan proyek yang menyebabkan konflik lahan tersebut antara lain pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.

Kemudian penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara.

Lalu, Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan.

Selanjutnya, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo.

"Itulah proyek-proyek strategis nasional yang sepanjang 3 tahun terakhir telah menyebabkan perampasan tanah dan letusan konflik agraria di berbagai wilayah tanah air," ucap Dewi.

Dewi juga mengatakan peristiwa di Pulau Rempang, Batam, termasuk dalam konflik agraria akibat proyek strategis nasional.

Dia menilai pecahnya konflik di Rempang salah satunya akibat pembentukan badan atau lembaga yang terlalu berkuasa oleh pemerintah.

Rempang dikelola Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam.

Dewi berpandangan badan semacam ini rentan melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan dan korupsi agraria karena mengantongi begitu banyak kewenangan dan aset negara.

"Inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah serta perkampungan warga yang berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah," ucap dia.

Awal bulan ini, bentrokan pecah di Pulau Rempang, Batam, usai warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang. Warga tak setuju dipindahkan karena telah turun temurun mendiami kawasan tersebut.

9 Tahun Pemerintahan Jokowi

KPA juga mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah.

"Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2002 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 secara daring, Minggu (24/9).

Selain itu, Dewi menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

"[Sebanyak] 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa," ucapnya.

Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.

Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.

Masalah ini pun menurutnya tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir.

Salah satunya akibat kinerja tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang mandek meski telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan persoalan.

"Tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria atau yang kita kenal dengan GTRA nasional dan wilayah kami nilai gagal menjamin dan mengemban pencapaian tujuan pelaksanaan MA sebagaimana tertuang dalam Perpres 86 2018 tentang reforma agraria, yang sesungguhnya diartikan untuk merombak struktur penguasaan tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan, serta menjaga keseimbangan alam," kata Dewi.

Lebih lanjut, terkait pangan, Dewi berujar masalah agraria jelas akan berdampak terhadap krisis pangan yang belakangan mengancam Indonesia.

"Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan pangan petani, serta sistem pertanian rakyat yang telah membudaya," tutur Dewi.

Dewi pun menyayangkan pemerintah yang tidak memanfaatkan sumber-sumber agraria yang berlimpah ruah di Indonesia.

Dia menilai keputusan pemerintah melakukan impor pangan justru akan semakin memperburuk keadaan, terutama di kalangan petani lokal.

"Inilah ironisme wajah negara agraris yang sumber-sumber agraria begitu luas dan kaya tetapi sangat rentan mengalami krisis pangan, sebab sektor pertanian rakyat tidak menjadi fondasi pembangunan pertanian secara nasional," tuturnya.(han)