Ketika YLBHI Sebut PSN Era Jokowi Hasilkan Penindasan Terhadap Rakyat

"YLBHI menemukan PSN dan pengelolaan SDA menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat," tulis YLBHI dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (25/9).

Sep 25, 2023 - 16:50
Ketika YLBHI Sebut PSN Era Jokowi Hasilkan Penindasan Terhadap Rakyat

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menemukan bahwa proyek-proyek strategis nasional (PSN) dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) di era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) menghasilkan efek ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat.

Selain itu, pembangunan PSN dan industri SDA dinilai menimbulkan kerusakan alam dan konflik.

"YLBHI menemukan PSN dan pengelolaan SDA menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat," tulis YLBHI dalam keterangan tertulis, dikutip Senin (25/9). 

Belum ada tanggapan dan komentar dari pemerintah terkait pernyataan YLBHI ini.

"Dalam memenuhi ambisi proyek-proyek ini, negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri," lanjut mereka.

YLBHI menemukan para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi.

Selama kurun 2017-2023, YLBHI mendata kekerasan terhadap petani dari penanganan kasus 18 LBH kantor. Waktu tujuh tahun ditetapkan berdasarkan dimulainya PSN sejak 2016.

Paparan data kriminalisasi mencakup wilayah konflik SDA, khususnya di wilayah PSN. Data terbagi dalam beberapa variabel, antara lain jumlah konflik, luas wilayah konflik dan jumlah korban, pelaku kekerasan dan kriminalisasi, pola kekerasan, undang-undang yang sering digunakan, penyebab dan dampak struktural konflik.

Data YLBHI

Sebanyak 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI dan LBH di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik sekitar 800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban.

Sektor perkebunan mendominasi dengan 42 kasus, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dengan 37 kasus. Lalu, diikuti dengan konflik PSN dengan 35 kasus.

YLBHI memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik.

Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda. Secara garis besar terdapat tiga pola.

Pertama, pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi dan dalam bentuk fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua, pola pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga, kriminalisasi dengan 43 kasus.

"Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap, misalkan diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi," tulis YLBHI. 

Selanjutnya, kata YLBHI, warga yang dikriminalisasi dijadikan sebagai alat negosiasi hingga terjadinya perpecahan pro dan kontra di masyarakat.

YLBHI mencatat dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dengan 29 kasus.

Kemudian diikuti UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus, dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.

YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado.

Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus).

Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, YLBHI mencatat hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, pasal 362 yang memuat delik pidana pencurian.

Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang.

Keempat, pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Terakhir adalah pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.

YLBHI dan 18 LBH pun mendesak pemerintah dan DPR serta kementerian/;embaga terkait untuk membatalkan semua PSN yang dinilai justru merugikan rakyat, memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara melalui aparatnya kepada rakyat di berbagai wilayah.

YLBHI juga meminta pemerintah menghentikan perampasan tanah rakyat atas nama hak Pengelolaan dan klaim tanah negara.

Tuntutan lainnya yakni meminta pemerintah menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik agraria dan PSN, serta mencabut UU Cipta Kerja beserta turunannya yang dinilai sebagai pemicu meningkatnya praktik perampasan tanah dan kekerasan negara terhadap rakyat.

YLBHI juga meminta program-program nasional berkedok reforma agraria atau reforma agraria palsu dihentikan.

Selain itu, pemerintah diminta untuk menghentikan kriminalisasi terhadap seluruh pejuang agraria dan lingkungan hidup, serta melepaskan tanpa syarat seluruh pejuang agraria dan LH dari tahanan dan jerat kriminalisasi.

"Memastikan negara mengimplementasikan mandat konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk investor dan/atau para penguasa cum pengusaha," tulis YLBHI.

Konflik Agraria Akibat PSN Era Jokowi

Diberitakan sebelumnya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menyatakan ada 73 konflik agraria yang terjadi dalam kurun waktu delapan tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo akibat proyek strategis nasional (PSN).

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika menjelaskan konflik agraria itu terjadi di seluruh sektor pembangunan, mulai dari pertanian, tambang, hingga pembangunan properti.

"KPA mencatat sepanjang tahun 2015 sampai dengan 2023, telah terjadi 73 letusan konflik agraria akibat proyek-proyek strategis nasional, yang terjadi di seluruh sektor pembangunan baik sektor infrastruktur, pembangunan properti, pertanian, agribisnis, pesisir, dan tambang," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 yang disiarkan daring, Minggu (24/9).

Dewi menjabarkan proyek yang menyebabkan konflik lahan tersebut antara lain pembangunan sirkuit Mandalika Nusa Tenggara Barat (NTB), Bendungan Bulango Ulu Gorontalo, pembangunan tol Padang-Pekanbaru, dan proyek kawasan ekonomi khusus di Gresik, pembangunan PLTA di Pinrang.

Kemudian penambangan Wadas untuk Bendungan Bener, proyek Movieland MNC Lido City Sukabumi, proyek lumbung pangan atau food estate di Sumatera Utara, pembangunan Bolaang Mongondow di Sulawesi Utara.

Lalu, Bandara Kayong Utara di Kalimantan Barat, Bendungan Karalloe di Goa, Waduk Lambo di Nusa Tenggara Timur, tol Serang-Panimbang, tol Balikpapan dan Samarinda, pembangunan PLTU Muna, serta proyek cetak sawah baru di Pulau Pisang Kalimantan.

Selanjutnya, pembangunan Waduk Sepaku Semoi yang jadi infrastruktur penunjang ibu kota negara di Kalimantan Timur, pembangunan bandara dan kilang minyak di Air Bangis Sumatera Barat, proyek tambang pasir Royal Boskalis, serta pengadaan tanah bagi infrastruktur penunjang Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) Pulau Komodo dengan menggusur Hutan Bowosie oleh badan otorita Labuan Bajo.

"Itulah proyek-proyek strategis nasional yang sepanjang 3 tahun terakhir telah menyebabkan perampasan tanah dan letusan konflik agraria di berbagai wilayah tanah air," ucap Dewi.

Dewi juga mengatakan peristiwa di Pulau Rempang, Batam, termasuk dalam konflik agraria akibat proyek strategis nasional.

Dia menilai pecahnya konflik di Rempang salah satunya akibat pembentukan badan atau lembaga yang terlalu berkuasa oleh pemerintah.

Rempang dikelola Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas (BP) Batam.

Dewi berpandangan badan semacam ini rentan melakukan kesewenang-wenangan kekuasaan dan korupsi agraria karena mengantongi begitu banyak kewenangan dan aset negara.

"Inilah praktik domein verklaring tanah hutan terhadap tanah serta perkampungan warga yang berujung pada penggusuran dan pematokan tanah secara paksa oleh pemerintah," ucap dia.

Awal bulan ini, bentrokan pecah di Pulau Rempang, Batam, usai warga menolak relokasi untuk pembangunan kawasan Rempang Eco-City.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) itu akan menggunakan lahan seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang. Warga tak setuju dipindahkan karena telah turun temurun mendiami kawasan tersebut.

9 Tahun Pemerintahan Jokowi

KPA juga mengungkapkan data 2.710 konflik agraria terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo.

Sekretaris Jenderal KPA Dewi Kartika mengatakan sejak 2015 hingga 2022, ribuan kasus persoalan agraria itu mencuat dan berdampak pada 5,8 juta hektare tanah.

"Memasuki tahun ke-9 pemerintahan Joko Widodo, KPA mencatat dalam kurun waktu sejak 2015 sampai dengan 2002 telah terjadi 2.710 kejadian konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektar tanah dan korban terdampak mencapai 1,7 juta keluarga di seluruh wilayah Indonesia," kata Dewi dalam diskusi Peringatan Hari Tani Nasional 2023 secara daring, Minggu (24/9).

Selain itu, Dewi menyampaikan ada 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya.

"[Sebanyak] 77 orang menjadi korban penembakan, sebab aparat masih dimobilisasi di wilayah-wilayah konflik agraria. Bahkan 69 orang harus kehilangan nyawa," ucapnya.

Berdasarkan catatan KPA, konflik agraria ini terjadi di seluruh sektor mulai dari perkebunan, kehutanan, pertanian korporasi, pertambangan, pembangunan infrastruktur, pengembangan properti, kawasan pesisir, lautan, serta pulau-pulau kecil.

Karena masalah ini, banyak warga yang akhirnya terlempar dari tanahnya sendiri dan terpaksa menjadi tenaga kerja upah murah ataupun pekerja non-formal yang bermigrasi ke kota hingga luar negeri.

Masalah ini pun menurutnya tak pernah teratasi di bawah pemerintahan Jokowi selama sembilan tahun terakhir.

Salah satunya akibat kinerja tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria (GTRA) yang mandek meski telah dibentuk khusus untuk menyelesaikan persoalan.

"Tim nasional reforma agraria dan gugus tugas reforma agraria atau yang kita kenal dengan GTRA nasional dan wilayah kami nilai gagal menjamin dan mengemban pencapaian tujuan pelaksanaan MA sebagaimana tertuang dalam Perpres 86 2018 tentang reforma agraria, yang sesungguhnya diartikan untuk merombak struktur penguasaan tanah, menuntaskan konflik agraria, mewujudkan kesejahteraan dan kedaulatan pangan, serta menjaga keseimbangan alam," kata Dewi.

Lebih lanjut, terkait pangan, Dewi berujar masalah agraria jelas akan berdampak terhadap krisis pangan yang belakangan mengancam Indonesia.

"Perampasan tanah menjadi sebab terjadinya krisis pangan dan hilangnya kedaulatan pangan petani, serta sistem pertanian rakyat yang telah membudaya," tutur Dewi.

Dewi pun menyayangkan pemerintah yang tidak memanfaatkan sumber-sumber agraria yang berlimpah ruah di Indonesia.

Dia menilai keputusan pemerintah melakukan impor pangan justru akan semakin memperburuk keadaan, terutama di kalangan petani lokal.

"Inilah ironisme wajah negara agraris yang sumber-sumber agraria begitu luas dan kaya tetapi sangat rentan mengalami krisis pangan, sebab sektor pertanian rakyat tidak menjadi fondasi pembangunan pertanian secara nasional," tuturnya.(CNN/han)