Melihat Kejahatan Israel, Jadikan Gaza 'Penjara Raksasa' dan Zona Pembantaian

Jalur Gaza sering disebut-sebut sebagai penjara terbuka, lantaran terperangkap di antara Mesir, Israel, dan Laut Mediterania. Wilayah yang juga dikenal "daerah kantong" itu sudah sejak dahulu di bawah blokade Israel.

Dec 12, 2023 - 06:37
Melihat Kejahatan Israel, Jadikan Gaza 'Penjara Raksasa' dan Zona Pembantaian

NUSADAILY.COM – GAZA - Serangan brutal Negeri Zionis ke Gaza telah menewaskan sekitar 18 ribu orang, dengan mayoritas anak-anak dan perempuan.

Warga sipil terus berlarian tak tahu arah, mencari tempat aman lantaran berulang kali diperintahkan untuk evakuasi.

Dari utara ke selatan, hingga ke ujung selatan lagi, mereka harus terus berpindah demi menyelamatkan nyawa di dalam "penjara terbuka".

Jalur Gaza sering disebut-sebut sebagai penjara terbuka, lantaran terperangkap di antara Mesir, Israel, dan Laut Mediterania. Wilayah yang juga dikenal "daerah kantong" itu sudah sejak dahulu di bawah blokade Israel.

Seperti diketahui, Agresi Israel di Jalur Gaza, Palestina, sudah memasuki bulan kedua sejak dilancarkan 7 Oktober lalu.

Menurut analis Palestina dari International Crisis Group, Tahani Mustafa, Jalur Gaza diblokade Israel sejak kelompok Hamas memenangkan pemilihan umum pada 2006 dan mengendalikan kawasan tersebut.

Sejak itu, Israel melakukan segala cara untuk memastikan Gaza, serta Tepi Barat, menjadi daerah yang terkucilkan.

"Dalam hal membatasi kemampuan investasi, kontrol atas sumber daya Gaza sendiri. Kami baru saja menemukan bahwa Gaza sebenarnya memiliki cadangan minyak dan gas yang, sekali lagi, Israel cegah untuk mereka akses. Ini termasuk sumber daya air mereka sendiri yang dikendalikan penuh oleh Israel," kata Mustafa, seperti dikutip NPR.

Karena isolasi di berbagai lini ini, tingkat pengangguran di Gaza termasuk yang tertinggi di dunia. Menurut data Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), hampir setengah dari populasi Gaza menganggur alias tak bisa bekerja.

Lebih dari 80 persen masyarakat pun hidup dalam kemiskinan.

"Setidaknya selama satu setengah dekade terakhir, situasi sosial ekonomi di Gaza terus menurun," bunyi laporan UNRWA pada Agustus lalu, seperti dikutip CNN.

Kondisi ini juga berdampak pada kesehatan mental para warga Gaza. Menurut organisasi hak asasi manusia Israel yang berfokus pada kebebasan bergerak warga Palestina, Gisha, masyarakat Gaza mengalami krisis kesehatan mental yang tak tampak.

"Di luar angka-angka tersebut, para profesional kesehatan mental di Gaza menggambarkan adanya sebuah krisis yang tidak terlihat," ucap direktur eksekutif Gisha, Tania Hary.

Blokade Israel ini juga diperkuat dengan kebijakan ketat Mesir di perbatasan Rafah yang kerap sewenang-wenang terhadap para pelancong Gaza. Rakyat Palestina yang ingin melewati Rafah kerap diperlakukan buruk oleh otoritas Mesir.

Rafah merupakan satu-satunya perbatasan Gaza dengan negara lain selain Israel.

"Israel dengan bantuan Mesir, telah mengubah Gaza menjadi penjara terbuka," kata direktur Israel dan Palestina di Human Rights Watch (HRW), Omar Shakir, Juni 2022.

Menurut HRW, blokade Israel ini juga dialami oleh warga Palestina yang ingin bepergian dari dan ke luar Gaza. Otoritas Israel disebut melarang warga Palestina melewati perbatasan Erez untuk ke Tepi Barat.

Untuk bisa ke Tepi Barat, wilayah Palestina yang juga diduduki Israel, warga Gaza harus melewati Israel terlebih dulu. Hal itu lantaran posisi wilayahnya yang berada di antara Israel.

Dengan kondisi demikian, Israel juga melarang pemerintah Palestina mengoperasikan bandara atau pelabuhan di Gaza. Barang-barang juga tak diizinkan keluar masuk Gaza.

Sejak Israel meluncurkan agresi merespons serangan Hamas 7 Oktober lalu, Jalur Gaza yang sudah mengkhawatirkan menjadi semakin mengenaskan.
Pembunuhan massal terjadi di mana-mana. Warga sipil betul-betul tak bisa mendapatkan tempat aman.

Pada awal agresi, Israel melancarkan serangan di Gaza utara, lantaran serbuan awal kelompok Hamas berasal dari sana. Sebagian besar masyarakat sipil pun menjadi korban.

Sebab Israel menargetkan berbagai fasilitas publik mulai dari kamp pengungsian, rumah sakit, tempat ibadah, hingga sekolah.

Karena banyaknya warga sipil yang tewas, komunitas global pun mengecam keras Israel. Israel akhirnya mendesak warga Gaza meninggalkan wilayah utara menuju selatan yang diklaim "tempat aman".

Namun pada faktanya, area selatan Gaza juga tak luput dari gempuran Israel. Negeri Zionis berulang kali menyerang wilayah selatan dan menewaskan ribuan korban sipil.

Pada 24 November, Israel sempat menghentikan serangan selama sepekan hingga 1 Desember dalam rangka gencatan senjata sementara dengan Hamas.

Selama periode itu, warga sipil banyak yang menetap di selatan agar selamat dari serangan Israel yang intens di utara.

Kendati demikian, setelah gencatan senjata berakhir, militer Zionis justru beralih menargetkan wilayah selatan, terutama Kota Khan Younis. Israel mengklaim pemimpin Hamas bersembunyi di bawah kota tersebut.

Ribuan warga Gaza pun kembali tewas akibat serangan fase kedua ini. Hanya sedikit dari jutaan orang yang tersisa diminta pergi ke Kota Al-Mawasi.

Kota Al-Mawasi adalah kota Badui pesisir yang kecil dan sempit dengan lebar sekitar 1 kilometer dan panjang 14 kilometer.

Sekitar 6,5 kilometer persegi kota ini diklaim Israel menjadi tempat aman bagi warga sipil untuk berlindung.

Area ini setara dengan setengah ukuran Bandara Heathrow London, yang dikunjungi 61 juta penumpang pada 2022 atau sekitar 167 ribu penumpang per hari.

Dengan kata lain, jika warga sipil berada di wilayah tersebut, kepadatan penduduknya akan melebihi 20 kali lipat Heathrow, bahkan jika semua penumpang harian bandara hadir dalam satu waktu.

Banyak pihak menilai menempatkan begitu banyak orang di satu daerah kecil bisa menciptakan "bencana" lain, yakni masalah kesehatan.

"Mencoba menjejalkan begitu banyak orang ke daerah sekecil itu dengan infrastruktur atau layanan yang begitu sedikit akan secara signifikan meningkatkan risiko kesehatan bagi orang-orang yang sudah berada di 'tepi jurang'," kata Kepala Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus.(han)