LaNyalla Masuk Angin?

Oleh: AA LaNyalla Mahmud Mattalitti

Nov 26, 2022 - 17:57
LaNyalla Masuk Angin?
LaNyalla Mattaliti

Tetiba ramai perbincangan di medsos, dengan sebuah pertanyaan; LaNyalla Masuk

Angin? Gegara pernyataan saya di Munas HIPMI XVII di Solo, Senin, 21 November 2022.

 

Saya sendiri juga bertanya di dalam hati, di mana masuk anginnya? Apakah karena ada

kalimat saya yang mengatakan Pemilu 2024 bisa ditunda?

 

Baik. Mari kita lihat konteksnya dengan jernih. Sehingga pikiran dan gagasan tidak

diadili di negara yang katanya demokrasi. Apalagi diadili oleh aktivis demokrasi.

 

Saya memang menawarkan gagasan untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945

,naskah Asli untuk kemudian kita sempurnakan dengan teknik addendum.

 

Karena saya memiliki pendapat, bahwa Amandemen Konstitusi di tahun 1999 hingga

2002 adalah penyebab bangsa ini telah meninggalkan Pancasila sebagai Norma Hukum

Tertinggi. Sehingga Indonesia tidak lebih baik.

 

Dan tidak kunjung dapat mewujudkan

cita-cita dan tujuan negara ini.

UUD hasil Amandemen 1999-2002, memang masih mencantumkan dasar filsafat

negara Pancasila pada Pembukaan UUD 1945.Alinea IV. Namun penjabaran dalam

pasal-pasal UUD hasil Amandemen tersebut merupakan penjabaran dari ideologi lain,

yaitu Liberalisme-

Individualisme.

 

Karena logika dari pasal-pasal yang ada sudah tidak

konsisten dan tidak koheren dengan basis filosofi Pancasila yang tercantum dalam

Pembukaan UUD 1945.

 

UUD hasil Amandemen yang menghapus total naskah Penjelasan jelas melanggar

diktum bahwa ‘Penjelasan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Pembukaan

dan Pasal-Pasal dalam UUD.

 

Dan masih banyak lagi kajian akademik; sekitar 15 landasan, yang melatari saya untuk

menawarkan gagasan dan pikiran untuk kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 naskah

asli, untuk kemudian kita sempurnakan kekurangannya dengan cara yang benar.

 

Sehingga tidak mengubah total dan mengganti sistem demokrasi asli Indonesia yang

disusun para pendiri bangsa.

Untuk melihat secara utuh gagasan dan pikiran yang saya tawarkan, pembaca dapat

mengunjungi website saya di www.lanyallacenter.id untuk membaca ‘Peta Jalan

Mengembalikan Kedaulatan dan Mewujudkan Kesejahteraan Rakyat.’

Nah, persoalan berikutnya adalah bagaimana cara bangsa ini kembali.

 

Saya

menawarkan gagasan melalui Dekrit Presiden –tentu yang terkonsolidasikan.

 Berdasarkan konsensus.

Karena menyangkut cara, maka tentu menyangkut persoalan teknis.

 

Jika Presiden

setuju dekrit, pasti langkah lanjutannya adalah menyiapkan proses Sidang MPR dengan

agenda tunggal untuk mengembalikan pemberlakuan UUD 1945 naskah asli.

 

Nah, lalu ada proses amandemen dengan Teknik addendum untuk menyempurnakan

kekurangan dari UUD yang masih bersifat revolusioner tersebut.

 

Misalnya, pembatasan masa jabatan presiden. Harus tegas. Bangsa ini harus belajar

dari kelemahan yang bisa dimanfaatkan oleh penguasa di era Orde Lama dan Orde

Baru.

 

Sehingga semua potensi kelemahan itu wajib kita beri addendum.

Tetapi menyangkut sistem demokrasi Sila keempat dan sistem ekonomi yang menjamin keadilan sosial, mutlak kita pertahankan.

 

Kita harus yakin, bahwa Sistem Demokrasi

Pancasila dan Sistem Ekonomi Pancasila satu-satunya sistem yang seusai dengan

watak dan DNA asli bangsa ini. Sesuai dengan negara dengan keunggulan Komparatif

yang merupakan anugerah dari Sang Pencipta.

 

Sekaranglah saatnya kita terapkan

dengan benar.

 

Kembali lagi soal teknis. jika proses addendum termasuk pengisian untuk Golongan di

Lembaga Tertinggi Negara –MPR RI dapat cepat kita laksanakan, ya segera kita lakukan.

 

Sidang Umum MPR untuk menyusun GBHN dan memilih mandataris MPR, alias Petugas

Rakyat. Begitu alurnya.

Sehingga tidak ada lagi Pilpresung. Tidak ada lagi Presidential Threshold.

 

Semua partai

politik bisa mengusung calonnya di MPR. Termasuk unsur dari daerah dan golongan.

Persis seperti Muktamar para hikmat yang bersidang di Lembaga Syuro.

 

Sekali lagi ini pikiran saya. Tentu saya tawarkan. Karena saya yakin pikiran itu memiliki kemerdekaan. Dan tidak untuk diadili.***