Bumi di Era Global Boiling, bukan Global Warming!

Kegerahan atau kepanasan yang kita rasakan jika berada di dalam maupun di luar ruangan, dirasakan berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di negara yang empat musim cuaca dingin ektrem juga dialami lebih dari biasanya. Cuaca panas dan cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia juga dialami oleh negara-negara di belahan lain dunia. Sejalan dengan berita The Guardian Kamis

Oct 19, 2023 - 14:58
Bumi di Era Global Boiling, bukan Global Warming!

Oleh: Getah Ester H, S.H., M.Hum.

Kegerahan atau kepanasan yang kita rasakan jika berada di dalam maupun di luar ruangan, dirasakan berbeda dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Di negara yang empat musim cuaca dingin ektrem juga dialami lebih dari biasanya. Cuaca panas dan cuaca ekstrem yang terjadi di Indonesia juga dialami oleh negara-negara di belahan lain dunia. Sejalan dengan berita The Guardian Kamis (15/6/2023) yang dinyatakan oleh Michael Mann, seorang ilmuwan iklim di University of Pennsylvania, mengatakan aktivitas manusia berkemungkinan menambah antara 0,1 derajat celcius hingga 0,2 derajat celcius suhu global. “Anomali suhu permukaan global saat ini berada pada atau mendekati level rekor dan 2023 hampir pasti akan menjadi tahun terpanas dalam sejarah”.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB/United Nations Organization/UNO) Antonio Gueterres membuat pernyataan yang bikin geger saat konferensi pers terkait perubahan iklim di Kantor Pusat PBB, New York pada 27 Juli 2023, Guterres menyatakan memburuknya perubahan iklim saat ini telah membuat berakhirnya era global warming dan membuat dunia memasuki masa global boiling. Keadaan bumi berada dalam situasi yang memburuk. Beliau menganggap, kini bukan lagi eranya pemanasan global atau global warming, melainkan sudah memasuki era pendidihan global atau global boiling. “Era global warming telah berakhir dan era global boiling telah tiba,” kata Gueterres dikutip dari transkrip konferensi pers yang terpampang di website press.un.org, Rabu (9/8/2023).

Guterres merujuk laporan dari The World Meteorological Organizations (WMO) and The European Commission’s Copernicus Climate Change Service (Observatorium Iklim Uni Eropa/UE Copernicus) yang menyatakan bahwa Juli 2023 sebagai bulan terpanas dalam sejarah dunia. Guterres berkata “ini adalah musim panas terkejam. Untuk seluruh planet, kondisi itu adalah bencana. Bagi ilmuwan, ini tidak diragukan lagi: manusia yang harus disalahkan”. Menurut Guterres “Cuaca panas ekstrem ini sebagian besar dirasakan oleh masyarakat kawasan Amerika Utara, Asia, Afrika, dan Eropa. Beliau juga mengingatkan permasalahan ini tentu disebabkan perilaku manusia-manusianya itu sendiri. Karena itu, Guterres menganggap masyarakat dunia harus bertanggungjawab atas kondisi ini, terutama negara-negara anggota G20, yang di dalamnya termasuk Indonesia karena menyumbang 80 persen emisi global.

Sejalan dengan Pakta Solidaritas Iklim dan Agenda Percepatan (Climate Solidarity Pact and Acceleration Agenda), beliau menegaskan “Kami membutuhkan target pengurangan emisi nasional baru yang ambisius dari anggota G20. Kita membutuhkan semua negara untuk mengambil tindakan”. Beliau juga mengajak selain pemerintahan berbagai negara juga kepada seluruh  pemimpin industri keuangan; “Untuk menghentikan pemberian pendanaan, pembiayaan, atau pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor bahan bakar fosil.” Guterres juga menegaskan “untuk beralih ke energi terbarukan sebagai gantinya”. Perusahaan bahan bakar fosil harus memetakan langkah mereka menuju energi bersih dengan rencana transisi terperinci di seluruh rantai nilai.” 

Sebelumnya Direktur Copernicus, Carlo Buontempo, mengatakan suhu pada periode ini sangatlah di luar kebiasaan. Di luar catatan resmi ini, ia mengatakan “Data  proksi untuk iklim seperti cincin pohon atau inti es menunjukkan suhu yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah kita dalam beberapa ribu tahun terakhir.” Lembaga tersebut mengatakan Juli kemarin adalah bulan terpanas yang pernah tercatat di bumi. Bulan lalu suhu rata-rata dunia mencapai 0,33 derajat celcius lebih tinggi dari rekor yang ditetapkan pada Juli 2019 ketika suhu rata-rata 16,63 celcius.

Agence France-Presse (AFP) mengutip dari Lembaga Copernicus (8/8/2023) “Gelombang panas dialami di beberapa wilayah di belahan bumi utara, termasuk Eropa Selatan. Suhu di atas rata-rata terjadi di beberapa negara Amerika Selatan dan di sebagian besar Antartika”. Copernicus juga tidak menampik bahwa kenaikan suhu tahun ini juga dipengaruhi oleh El Nino. Selain suhu yang panas, kondisi ini kemudian mengintensifkan cuaca ekstrem lainnya seperti badai dan banjir.

Samantha Burgess, Wakil Direktur dari Layanan Perubahan Iklim Copernicus UE, berkata, “Rekor ini memiliki konsekuensi yang mengerikan baik bagi manusia maupun planet yang terkena peristiwa ekstrem yang semakin sering dan intens”. “Tahun 2023 saat ini merupakan tahun terhangat ketiga hingga saat ini dengan 0,43 celcius di atas rata-rata baru-baru ini, dengan rata-rata suhu global pada bulan Juli sebesar 1,5 celcius di atas tingkat praindustri”.

Kebakaran hutan telah merusak sebagian besar Yunani dan membakar 30 juta acre (12 juta hektar) di Kanada. Sementara itu, Eropa Selatan, sebagian Afrika Utara, Amerika Serikat bagian selatan, terus terguncang di bawah gelombang panas tinggi. Terakhir kebakaran besar di Hawai. Sebaliknya, hujan mematikan yang melanda ibu kota China, Beijing dalam beberapa hari terakhir adalah yang terberat sejak pencatatan dimulai 140 tahun yang lalu.

Peristiwa-peristiwa ekstrem tersebut seharusnya menjadi peringatan bagi kita untuk melakukan tindakan tegas dan upaya gradual serta radikal jika perlu quantum leap di semua negara untuk pemotongan emisi yang lebih kuat dan pengurangan emisi gas rumah kaca secara radikal dan lain-lain.

Sebagai warga masyarakat biasa yang bukan merupakan kalangan pemerintahan maupun industri; apa yang bisa kita lakukan sehari-hari baik langsung maupun tidak langsung, yang akan memberi tekanan untuk mengurangi dampak global boiling?; berjalan kaki, bersepeda, jangan membuang makanan yang masih layak makan, tampung air hujan atau membuat biopori di sekitar rumah, menggunakan transportasi umum, jadikan sampah organik untuk pupuk, membuang sampah pada tempatnya, hemat air, membiasakan diri jual beli tanpa plastik, pilih teh tubruk/kopi seduh bukan yang sachet, membawa botol minum yang bisa diisi ulang, jauhkan kulkas dari kompor atau sinar matahari langsung, memilah/memisahkan sampah saat akan dibuang atau diberikan ke tukang sampah (tanpa alasan; percuma dipisahkan atau dipilah sampahnya nanti juga akan tercampur kembali), biasakan mengantongi sampah dan membawa pulang kemudian buang di tempat sampah yang tersedia (jangan beralasan tidak ada tempat sampah), membereskan sisa makanan/minuman yang kita makan dengan baik (jangan beralasan itu tugas petugas kebersihan karena orang yang beretika dan berpendidikan tinggi pasti akan membersihkan dengan baik), jangan membeli yang mubazir, beli sesuai kebutuhan, membeli yang ramah lingkungan, menutup kran dengan baik (karena suatu saat seluruh bumi akan mengalami kekurangan air), mandi dengan air secukupnya, dan lain sebagainya

Sekali lagi tidak hanya terpaku pada hal-hal di atas saja, bisa ditambahkan sendiri hal-hal baik yang bisa kita lakukan bersama-sama untuk berkontribusi langsung maupun tidak langsung terhadap upaya menekan dampak global boiling yang sudah kita rasakan bersama sebagai warga planet bumi ini.

Getah Ester H, S.H., M.Hum. adalah dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana Jakarta dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.