Kenaikan Pajak Hiburan hingga Mencapai 75 % Menuai Kritik

"ASPI (menuntut) mengeluarkan kategori spa dari hiburan. Kedua, Pasal 58 ayat (2) besarannya 40 persen sampai 75 persen itu tidak rasional. Menurut kami bertentangan dengan Pasal 1, di mana paling tinggi (tarif) PBJT 10 persen," katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/1).

Jan 16, 2024 - 07:52
Kenaikan Pajak Hiburan hingga Mencapai 75 % Menuai Kritik
Ilustrasi Tempat Hiburan

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Kenaikan Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) untuk jasa diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD).

Kebijakan pemerintah yang bakal menaikkan pajak hiburan wisata menjadi 40 persen hingga 75 persen menuai kritik pengusaha.

UU ini mengatur adanya batas bawah tarif 40 persen. Sementara di aturan lama yakni UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD), hanya diatur batas atas pajak 75 persen, tanpa batas bawah.

Tak terima, Asosiasi Spa Indonesia (ASPI) pun menggugat UU HKPD ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ketua I ASPI Mohammad Asyhadi mengatakan aturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.

"ASPI (menuntut) mengeluarkan kategori spa dari hiburan. Kedua, Pasal 58 ayat (2) besarannya 40 persen sampai 75 persen itu tidak rasional. Menurut kami bertentangan dengan Pasal 1, di mana paling tinggi (tarif) PBJT 10 persen," katanya kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/1).

ASPI mengaku tidak dilibatkan dalam penyusunan UU HKPD, serta belum menemukan kajian akademik aturan tersebut.

Protes juga datang dari pengusaha karaoke sekaligus penyanyi dangdut Inul Daratista. Ia menuturkan kenaikan pajak terlampau tinggi dan bisa membunuh bisnis hiburan.

"17 tahun besar (Inul Vista), ya gitu-gitu aja nggak tiba-tiba jadi raksasa. (Kondisi) begini masih digencet kenaikan pajak yang enggak aturan. Coba warasnya di mana?" tulis Inul dalam unggahan di X, Sabtu (13/1).

Ia pun mengaku heran dengan rencana pemerintah menaikkan tarif pajak hiburan dari 25 persen menjadi 40-75 persen. Sebab, para pelaku usaha serta konsumen yang akan menjerit karena paling terdampak.

Dalam unggahan lain di Instagram, Inul juga mengeluhkan rencana kenaikan pajak yang akan berdampak bagi ribuan karyawannya, yang saat ini saja jauh berkurang akibat pandemi covid-19.

Sembari menandai akun Menparekraf Sandiaga Uno, Inul mengatakan jumlah karyawannya menyusut dari 9.000 menjadi 5.000 orang imbas hantaman pandemi.

"Baru buka umur satu tahun setengah, belum juga untung sudah dengar berita pajak hiburan naik 40-75 persen. Mabuk kah ini? Niat membunuh apa bagaimana, Pak?" tuturnya.

Inul ingin duduk bersama dengan Sandi mewakili Asosiasi Pengusaha Rumah Bernyanyi Keluarga Indonesia (ASPERKI).

Keesokan harinya, Sandi pun menanggapi protes Inul. Ia mengatakan pemerintah siap mendengar semua masukan dari pelaku pariwisata dan ekonomi kreatif, termasuk soal pajak hiburan. Karenanya, para pelaku usaha diimbau untuk tidak khawatir.

"Karena masih proses judicial review, pemerintah memastikan semua kebijakannya itu untuk memberdayakan dan memberikan kesejahteraan, bukan untuk mematikan usaha," tulis Sandi di akun Instagramnya @sandiuno.

Sandi mengatakan pemerintah tidak akan mematikan pariwisata dan ekonomi kreatif, yang membuka 40 juta lebih lapangan kerja. Apalagi industri tersebut baru bangkit dari pandemi covid-19.

"Seluruh kebijakan termasuk pajak akan disesuaikan agar sektor ini kuat, agar sektor ini bisa menciptakan lebih banyak peluang usaha dan lapangan kerja," katanya.

Lantas, apa dampak dari kenaikan pajak hiburan untuk karaoke-spa cs dan apakah tarif itu sudah ideal?

Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan kenaikan pajak menjadi 40-75 persen itu merupakan keputusan politis antara DPR dan pemerintah pusat sesuai Pasal 23A UUD 1945.

"Range tarif tersebut dianggap tepat secara politik karena merupakan hasil kesepakatan antara pemerintah pusat dan wakil rakyatnya di DPR. Hasil kesepakatannya pengesahan UU HKPD," ujarnya.

Ia mengatakan berdasarkan naskah akademik RUU HKPD, penerapan pajak diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan spa menjadi 40 persen hingga 75 persen atas dilatarbelakangi oleh dua faktor. Pertama, aktivitas kelima hiburan tersebut bersifat mewah (luxury). Kedua, aktivitas hiburan tersebut perlu dikendalikan.

Pajak tinggi biasanya dapat mengubah perilaku masyarakat yang mengonsumsi hiburan tersebut. Dengan kata lain, sambung Prianto, masyarakat dapat mencari substitusi hiburan yang pajaknya masih rendah. Namun, imbasnya bisa terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK) di lima sektor hiburan itu jika masyarakat beralih sehingga pendapatan berkurang.

"Konsekuensi logisnya di antaranya adalah pengurangan pegawai," kata Prianto.

Agar mimpi buruk itu tak jadi kenyataan, bola kebijakan pajak ada di pemerintah daerah (pemda) yang terdiri dari bupati/walikota dan DPRD. Ada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2023 tentang Ketentuan Umum Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang menjadi aturan pelaksana dari UU HKPD.

Menurutnya, PP menjadi pedoman bagi pemda menyusun peraturan daerah (perda) serta peraturan kepala daerah mengenai PDRD. Pemda memiliki dua opsi sesuai UU HKPD.

"Pertama, memilih kebijakan untuk tidak menerapkan pajak hiburan. Kedua, tetap menerapkan kebijakan PDRD tanpa diizinkan untuk mengurangi tarif pajak hiburan untuk kelima jenis jasa hiburan dengan tarif minimal 40 persen dan maksimal 75 persen," katanya.

Untuk menolak besaran pajak itu, pemda bisa memilih opsi yang pertama.

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana menilai motif kenaikan pajak hiburan untuk spa cs tampaknya bertujuan untuk meningkatkan kemandirian fiskal daerah. Pasalnya, pajak hiburan akan masuk ke dalam kas Pendapatan Asli Daerah (PAD), bukan ke pusat.
"Dan mungkin perumus kebijakan melihat bahwa konsumsi pada lima jenis hiburan tersebut relatif masih bisa dinaikkan pungutan pajaknya," tutur Andri.

Namun, ia memandang kenaikan pajak hingga 75 persen terlampau besar dan akan membuat biaya jasa hiburan yang bersangkutan naik drastis. Jika harga naik, konsumen pun bisa berkurang. Apalagi, tingkat substitusi kelima jenis hiburan tadi tergolong tinggi.

Artinya, para konsumen relatif sangat mudah berpindah ke hiburan lain jika terjadi kenaikan harga. Menurutnya, bisnis berskala kecil dan menengah bakal menurun pendapatannya secara drastis, bahkan gulung tikar. Alih-alih menaikkan PAD dari kenaikan pajak hiburan, pungutan kas daerah justru bisa turun.

"Karena pendapatan kelima usaha tersebut yang berkurang signifikan sebab terpaksa menaikkan harga, ataupun sirna karena gulung tikar," ujar Andri.

Jika tujuan kebijakan ini adalah untuk menaikkan PAD, ia menilai tarif pajak ini perlu dikaji ulang karena kenaikannya jelas memberatkan. Kebijakan tarif pajak ini juga harus menimbang unsur keprogresifan.

Pasalnya, usaha yang belum besar pasti yang paling berat menerima dampaknya jika dikenakan tarif pajak yang sama.

Setali tiga uang, Ekonom Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyebut banyaknya daerah yang masih memiliki kapasitas fiskal rendah menjadi salah satu dasar munculnya UU HKPD.

Ia menilai hal itu terjadi mengingat di masa-masa berikutnya kebutuhan pembiayaan pembangunan menjadi semakin besar. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk mendorong kemandirian di masing-masing daerah guna membiayai program-program pembangunan.

Rendy menyebut yang perlu dikritisi adalah dari mana kemudian angka tarif tersebut muncul?

"Penetapan tarif pajak itu harus didasarkan, salah satunya dari prinsip keadilan. Tentu angka 45 sampai dengan 70 persen ini menggugah terkait unsur keadilan tersebut," kata Yusuf.

Apalagi, imbuh Rendy, jika nantinya tarif pajak ini dipukul rata untuk semua kelompok golongan pengusaha, tanpa memandang skala ataupun sifat usaha mereka. Ketika misalnya dipukul rata, maka akan bertolak belakang dengan prinsip keadilan perpajakan. Belum lagi, daya beli masyarakat di masing-masing daerah pun akan berbeda.

"Perlu dipertimbangkan apalagi kalau kita tahu penentuan tarif ini masih dalam proses perundingan. Kita harapkan angka yang keluar mengakomodir kepentingan-kepentingan yang saya sebutkan," jelas Yusuf.

Ia juga melihat kenaikan pajak yang berimbas pada meningkatnya harga, bisa berpotensi pada PHK. Terlebih, jika kenaikan pajak terjadi di daerah dengan pendapatan per kapita rendah.

Soal kenapa objek hiburan spa cs ini diatur pajaknya menjadi lebih tinggi, Yusuf mengatakan itu karena objek tersebut hampir tersedia di semua daerah sehingga setiap daerah bisa menyerap pajaknya.

"Dan di satu kesamaan kita tahu juga pemerintah membutuhkan cara untuk meningkatkan PAD di masing-masing daerah untuk peningkatan kapasitas fiskal mereka," imbuhnya.

Yusuf juga menyebut agar prinsip keadilan bisa ditegakkan dan mencegah PHK, pemda bisa menahan dahulu perda yang akan mengatur kenaikan pajak itu.

"Karena pajak ini di level daerah, saya kira perda terkait atura pajak ini perlu di hold sementara waktu, sampai ketemu titik ideal tarif yang akan dijalankan," ucapnya.(han)