Dugaan Nepotisme dan Dinasti Politik Jokowi Versi Ubedillah Badrun UNJ

"Tetapi kasus keluarga Joko Widodo ini lebih parah karena terjadi saat Joko Widodo masih berkuasa justru membiarkan bahkan mendukung anak dan menantunya menjadi wali kota, menjadi ketua umum partai dan kini menjadi calon wakil Presiden," imbuhnya.

Oct 29, 2023 - 00:08
Dugaan Nepotisme dan Dinasti Politik Jokowi Versi Ubedillah Badrun UNJ
Foto: ANTARA

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Ubedillah Badrun, Analis Sosial Politik Universitas Negeri Jakarta (UNJ), menilai wajar ada gugatan laporan terhadap Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Ketua Mahkamah Konstitusi Anwar Usman ke KPK terkait dugaan nepotisme.

Ubed menjelaskan, salah satu bentuk nepotisme adalah dinasti politik. Dan Presiden Jokowi, kata dia, wajar jika diduga atau dianggap sedang membangun dinasti politik.

"Kasus dinasti Joko Widodo di Indonesia ini masuk kategori dinasti demokrasi itu," kata Ubed di Jakarta, Rabu (25/10).

"Tetapi kasus keluarga Joko Widodo ini lebih parah karena terjadi saat Joko Widodo masih berkuasa justru membiarkan bahkan mendukung anak dan menantunya menjadi wali kota, menjadi ketua umum partai dan kini menjadi calon wakil Presiden," imbuhnya.

Salah satu indikasi Presiden Jokowi sedang membangun dinasti politik, disebut Ubed terlihat saat Ketua MK Anwar Usman yang juga merupakan adik iparnya mengeluarkan putusan tentang syarat usia capres-cawapres.

Pasalnya, lewat putusan itu MK menambah ketentuan capres-cawapres boleh berusia di bawah 40 tahun asal mempunyai pengalaman menjadi kepala daerah.

Putusan itu dikeluarkan jelang pendaftaran anak sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka yang belum berusia 40 tahun sebagai cawapres Prabowo Subianto.

"Jadi secara umum putusan MK itu mudah terbaca terang benderang bahwa putusan MK itu dapat ditafsirkan sebagai penyempurna dinasti politik Jokowi," ujar dia.

Usai diubah, Gibran kini telah resmi mendaftar sebagai cawapres mendampingi Prabowo di KPU pada hari ini.

Ubed berpendapat putusan MK yang menjadi indikasi dinasti politik ini membuat demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Padahal, kata dia, dinasti politik secara historis dan substantif sesungguhnya telah ditolak sejak abad ke -18 ditandai dengan peristiwa Revolusi Perancis

"Artinya jika politik dinasti terus ditumbuhkan, republik ini secara substantif seperti mundur kembali ke abad 18 meskipun berwajah baru melalui pemilihan umum," tuturnya.

Menurut Ubed, penolakan terhadap dinasti politik itu penting. Sebab, dalam dinasti politik siklus kekuasaan hanya berputar di lingkaran yang sama.

"Artinya lingkaran kekuasaan yang sama karena memiliki sumber daya yang besar akan cenderung berkuasa lama," tuturnya.

Ubed mengungkapkan dalam sejumlah riset tepercaya kekuasaan yang berlangsung lama turun temurun itu cenderung korup dan berpotensi kuat melakukan cara-cara baru praktek otoriter.

Bahkan, kata dia, sebenarnya sudah diingatkan sejak akhir abad ke-19 oleh ilmuwan sosial Lord Acton (1833-1902), Power tends to corrupt. Absolute power corrupts absolutely.

"Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan yang absolut pasti korup," ucap dia.

Dalam perkembangannya, kata Ubed, para ilmuwan seperti Christhope Jaffrelot (2006) dan Nandini Deo (2012) fenomena itu disebut Dynastic Democracy.

Artinya, suatu pemerintahan demokrasi yang menjalankan pemilu tetapi yang selalu terpilih adalah mereka yang memiliki hubungan darah atau hubungan kekeluargaan dengan penguasa sebelumnya atau darah biru atau dinasti.

Sebelumnya, Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) dan Persatuan Advokat Nusantara melaporkan Presiden Jokowi dan keluarga ke KPK. Mereka membuat laporan dugaan nepotisme oleh keluarga presiden.

TPDI dan PAN mempermasalahkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra Jokowi, di Pilpres 2024.

Selain Jokowi, kelompok itu menyeret Ketua MK Anwar Usman, putra sulung Jokowi Gibran Rakabuming Raka, dan putra bungsu Jokowi Kaesang Pangarep.

"Tadi kita melaporkan dugaan tindak pidana kolusi dan nepotisme kepada pimpinan KPK. Melaporkan dugaan adanya kolusi nepotisme yang diduga dilakukan oleh Presiden RI Joko Widodo dengan Ketua MK Anwar Usman juga Gibran dan Kaesang dan lain-lain," kata Koordinator TPDI M. Erick di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Senin (23/10).

Presiden Jokowi mengaku menghormati proses yang berjalan di KPK terkait laporan dugaan nepotisme itu. Menurutnya, pelaporan itu sebagai bagian dari demokrasi dan penegakan hukum. Hal serupa disampaikan Gibran. 

"Ya, itu kan proses demokrasi di bidang hukum. Ya, kita hormati semua proses itu," kata Jokowi usai peresmian Investor Daily Summit 2023 di Plataran, Jakarta, Selasa (24/10).

Jokowi juga telah menjawab tudingan pihak-pihak yang menyebutnya membangun dinasti politik lewat Gibran sebagai cawapres Prabowo di Pilpres 2024.

Menurut Jokowi, pemilihan presiden tak ditentukan oleh segelintir elite. Oleh karena itu, ia menilai hal yang terjadi saat ini adalah bagian dari demokrasi.

"Semuanya yang memilih itu rakyat, yang menentukan itu rakyat, yang mencoblos itu rakyat, bukan itu bukan elite, bukan partai. Itulah demokrasi," kata Jokowi.

Sementara itu Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko menilai KPK tak punya wewenang menangani masalah dugaan nepotisme.

Menurut Moeldoko  tugas KPK hanya menangani kasus-kasus dugaan korupsi dan tidak menangani urusan nepotisme dan kolusi.

"Sekarang lembaga yang menangani itu ada enggak?" kata Moeldoko di Jakarta, Selasa.

"Nah itu, kan enggak mengurusi nepotisme dan kolusi," kata dia.

Sebelumnya,  Ubed juga pernah melaporkan dugaan korupsi-kolusi-nepotisme (KKN) keluarga Jokowi ke KPK pada tahun lalu. Namun, laporannya kala itu tak diproses KPK lebih lanjut. KPK kala itu menyimpulkan laporan Ubed atas putra Jokowi, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep adalah sumir atau tidak jelas.

"Sejauh ini indikasi TPK [Tindak Pidana Korupsi] yang dilaporkan masih sumir, tidak jelas. Dan pelapor belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan TPK dan atau TPPU [Tindak Pidana Pencucian Uang]," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers, 19 Agustus 2022.

Sebelumnya usai menyerahkan laporan dugaan KKN putra Jokowi pada 10 Januari 2022 lalu, Ubed ditanyai KPK selaku pelapor pada 26 Januari 2022.

Ubedilah menerangkan duduk perkara kasus yang dilaporkan karena ada relasi bisnis antara Gibran dan Kaesang dengan relasi bisnis sejumlah perusahaan. Ubedilah mengungkapkan pola baru suap saat ini sangat mungkin dilakukan dengan cara memberikan kepemilikan saham atau penyertaan modal.

Pola baru suap dalam bentuk saham itu telah ia jelaskan kepada KPK. Menurut Ubed, dalam kasus Gibran dan Kaesang patut diduga terdapat praktik suap dan atau gratifikasi dalam kepemilikan saham.

Merespons pernyataan Ghufron, Ubed selaku pelapor mengaku kecewa dengan kesimpulan KPK.

"Terhadap jawaban KPK tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa tidak ada kaitanya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara negara. Padahal, secara nyata-nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara, Presiden Republik Indonesia," kata Ubedilah melalui keterangan tertulis, 21 Agustus 2022.

Ubedilah menyampaikan Gibran juga telah menduduki jabatan publik, yaitu Wali Kota Solo. Pada saat dilantik menjadi wali kota, Gibran masih terdaftar sebagai Komisaris PT Siap Selalu Mas dan Komisaris utama PT Wadah Masa Depan.

Selain itu, ada 20 perusahaan yang dimiliki dua putra Jokowi. Menurut Ubedilah, KPK harus memeriksa potensi KKN dalam kepemilikan perusahaan-perusahaan tersebut.

"KPK semestinya bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang untuk mengusut tuntas dugaan Tindak Pidana Korupsi dan atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan KKN relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat pembakaran hutan tersebut," ujarnya kala itu.(wan)