Dosenku Harus Dijauhi Atau Didekati?

Dosen harus dijauhi atau didekati? Tentu saja mahasiswa harus pandai-pandai menilai dosennya. Apakah dosen mereka pantas dijauhi atau pantas didekati. Artikel ini diangkat dari pengalaman beberapa mahasiswa yang dekat dan yang takut dekat dengan dosen. Masing-masing memiliki kisah yang menarik dan bermanfaat untuk disimak.

Feb 28, 2024 - 06:42
Dosenku Harus Dijauhi Atau Didekati?

Penulis: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd.

Dosen harus dijauhi atau didekati? Tentu saja mahasiswa harus pandai-pandai menilai dosennya. Apakah dosen mereka pantas dijauhi atau pantas didekati. Artikel ini diangkat dari pengalaman beberapa mahasiswa yang dekat dan yang takut dekat dengan dosen. Masing-masing memiliki kisah yang menarik dan bermanfaat untuk disimak.

Ririn, mahasiswa saya dinasihati temannya dari universitas lain untuk tidak dekat-dekat dengan dosen. Alasannya agar dosen tidak menganggapnya sebagai sosok yang mencari perhatian (Caper). Tentu saja saya sebagai dosen kaget mendengar nasihat temannya. Baru semester 1 dia sudah mendapat nasihat seperti itu. Untungnya, Ririn tidak mempedulikan nasihat temannya tersebut.

Ririn justru senang mendekati dosennya karena dia merasa mendapat banyak manfaat. Menurutnya, dia dapat bertukar pikiran dengan dosen. Dia dapat memperoleh nasehat yang berguna dari dosen. Dia juga mendapatkan pengetahuan dan pengalaman hidup dosen yang dapat memperkaya kematangan pribadinya.

Berbeda jika dia bergaul dengan teman sebaya yang memiliki trauma dekat dengan dosen. Mereka umumnya tidak dapat memberikan apa yang dosennya berikann. Mahasiswa seperti itu, biasanya hanya bisa iri hati kepadanya. Ririn tetap percaya bahwa dosennya tidak akan berbuat buruk kepadanya.

Ririn nyaman bergaul dengan orang dewasa karena dia terbiasa mengobrol dengan ayahnya setiap hari. Ayahnya banyak bertukar pikiran dengannya. Nasehat-nasehatpun meluncur dari bibir ayahnya untuk membangun kepribadiannya. Saya sungguh salut kepada ayahnya. Meskipun capek bekerja, ayahnya masih menyediakan waktu untuk membimbing Ririn setiap hari.

Ririn berasal dari Nias. Ketika masih di Nias. Dia dan ayahnya bias mengobrol di rumah. Ayahnya selalu menunggunya pulang dari gereja untuk mendengarkan ceritanya. Beliau tidak akan tidur sebelum Ririn menceritakan kegiatan dan pendapatnya. Kesabarannya membuat Ririn berani mengatakan dan menceritakan apa saja termasuk masalah pribadinya.

 

Ketika berkuliah di Surabaya, Ririn melakukan video call dengan ayahnya setiap malam. Dia selalu bercerita apa saja dan ayahnya tidak akan marah, meskipun tidak sesuai dengan ekspektasinya. Komunikasi ayah-anak berlansung secara natural dan harmonis.

Apa yang dilakukan ayah Ririn ini luar biasa. Tidak semua ayah dapat melakukan tugas seperti ini. Kedekatan yang dibangun ayahnya ini berdampak positif bagi kesehatan mental Ririn. Dia  menganggap orang dewasa sebagai partner, bukan musuh yang harus dihindari.

Banyak teman-teman Ririn yang tidak ingin dekat-dekat dengan dosen, namun mereka tidak mempunyai pengalaman komunikasi yang baik dengan ayah mereka. Ayah mereka tidak menempatkan diri sebagai sahabat bagi anaknya. Ayah mereka tidak menjadi telinga bagi anaknya secara konsisten. Akibatnya, mereka tidak tertarik berakrab dengan orang dewasa.

Ketakutan akan kedekatan dengan dosen ini bisa muncul karena tidak adanya kedekatan dengan orang tua atau dengan guru sebelumnya. Biasanya, mereka mempunyai trauma dengan guru sebelumnya. Mereka tidak ingin dekat dengan dosen karena tidak ingin menambah penderitaan mereka. Mahasiswa tidak ingin  mengalami pelecehan verbal atau luka hati seperti sebelumnya.

Saya pernah mendengar tentang seorang dosen pria yang mendekati mahasiswanya yang cantik. Dosen yang sudah berkeluarga ini mengajak mahasiswa tersebut bepergian ke luar kota. Alasannya untuk mendiskusikan beberapa hal berkaitan dengan tugas kampus. Mahasiswa tersebut takut untuk menolak.

Memang tidak terjadi pelecehan di mobil. Namun, mahasiswa tersebut merasa tidak nyaman dan takut diajak lagi. Jadi dia memutuskan untuk melaporkan kejadian tersebut ke teman dekannya. Mahasiswa ini mengambil keputusan yang tepat. Ini contoh dosen yang pantas untuk dijauhi.

Di prodi saya mau tidak mau mahasiswa diajak untuk dekat dengan dosen. Relasi yang dibangun adalah relasi gembala dengan dombanya. Pola relasi semacam ini tentu saja dipastikan aman bagi kedua pihak. Kedekatan ini diciptakan supaya dosen dapat membimbing mahasiswa secara maksimal. Pola pendidikan seperti ini diharapkan akan diterapkan oleh mahasiswa ketika mereka menjadi guru nantinya.

Pendekatan kepada dosen ini tidak semata-mata berkaitan dengan akademik saja. Tidak ada salahnya mahasiswa mendekati dosen lajang karena cinta. Jika ini terjadi sebetulnya symbiosis mutualisme yang muncul.

Mantan murid SMA saya menikah dengan dosennya sendiri. Keduanya mendapat manfaat. Mantan murid saya mendapatkan suami yang baik hati dan berpendidikan tinggi. Dosennya mendapatkan istri cantik yang tidak materialistik karena dia tahu besaran gaji dosen.

Mantan mahasiswa saya menikahi dosennya sendiri juga. Dia beruntung karena mendapatkan suami yang sangat pandai. Suaminya beruntung karena mantan mahasiswa saya tidak menuntut gaji suami yang besar. Hal ini karena dia bekerja di perusahaan besar dan mendapatkan gaji yang besar. Karena tidak ada tuntutan ekonomi, dosen ini dapat mengajar dengan tenang.

Teman anak saya yang orang tuanya mempunyai toko emas besar mendekati dosennya juga. Dia sadar gaji dosen tidak tinggi. Karena itu dia tidak akan menuntut kehidupan yang mewah. Merekapun berlainan suku namun orang tuanya tidak mempermasalahkan perbedaan tersebut.  Sang istri mendapatkan suami ganteng yang ahli membimbing orang lain. Sang suami mendapatkan istri cantik yang bahagia dengan gaji suaminya.  

Ketiga wanita harus jeli melihat dosen mana yang pantas untuk didekati. Kalau melihat dari akhir yang bahagia, tentunya pihak universitas tidak boleh memberi larangan tentang relasi asmara dosen dan mahasiswa. Tentunya dosen dan mahasiswa yang terlibat percintaan harus dapat membedakan konteks percintaan. Ketika di dalam kampus, mereka harus bisa memainkan peran sebagai dosen dan mahasiswa. Namun ketika di luar kampus, mereka dapat memerankan sebagai kekasih, namun tetap dalam batas koridor moralitas dosen dan mahasiswa. Etika pergaulan tetap dijujung tinggi dalam pergaulan kampus.

Pertanyaan apakah dosen harus dijauhi aatau didekati memang sangat sederhana. Namun, jawabannya memerlukan pertimbangan yang matang. Semoga mahasiswa kita dapat berpikir dengan kritis dan logis untuk menemukan jawabannya.

Penulis: Dr. Dra. Yuli Christiana Yoedo, M.Pd. Dosen Tetap Prodi PGSD Universitas Kristen Petra Anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

 

Disunting oleh Dr. Umi Salamah, M.Pd, Dosen PPG Universitas Insan Budi Utomo Malang/Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia/PISHI)