Benarkah Kecerdasan Buatan Menggagalkan Penulis untuk Menulis Karya Ilmiah secara Etis?  

Beberapa waktu yang lalu, seorang kolega saya membagikan sebuah tangkap layar yang judulnya cukup menarik perhatian saya: “Banyak jurnal akademis yang ternyata ditulis oleh ChatGPT.”

Apr 2, 2024 - 08:53
Benarkah Kecerdasan Buatan Menggagalkan Penulis untuk Menulis Karya Ilmiah secara Etis?   

Oleh: Prof. Dr. Daniel Ginting

Beberapa waktu yang lalu, seorang kolega saya membagikan sebuah tangkap layar yang judulnya cukup menarik perhatian saya: “Banyak jurnal akademis yang ternyata ditulis oleh ChatGPT.” Pesan tersirat yang mau disampaikannya adalah para akademisi saat ini semakin tidak jujur karena mereka tidak sepenuhnya bertanggung jawab mengerjakan karya ilmiahnya sendiri, tetapi justru sebagian besar dikerjakan oleh kecerdasan buatan. Apa yang salah dengan kecerdasan buatan seperti ChatGPT? Seperti apakah seorang akademisi harus menjaga integritasnya agar tidak dianggap curang di zaman kecerdasan buatan ini? 

Lagi-lagi topik ini menyeret kepada perdebatan etis penerapan teknologi baru dan kemaslahatannya terhadap keadaan masyarakat. Saya jadi teringat saat Socrates pernah mengeluh karena murid-muridnya dapat menjawab semua pertanyannya karena mereka mampu mengingat berkat bantuan metode menulis. Bagi Socrates, jawaban murid-muridnya ini sesungguhnya tidak mencerminkan kepintaran mereka.

Sebenarnya persoalan etika penulisan karya ilmiah telah digariskan baik lembaga internasional seperti The International Center for Academic Integrity maupun pemerintah Republik Indonesia dalam Permendikbud Ristek Nomor 39 tahun 2021. Kedua, lembaga ini menekankan pentingnya menjunjung tinggi nilai seperti kejujuran, kepercayaan, keadilan, kehormatan, tanggung jawab, dan keteguhan hati dalam proses penelitian dan penulisan karya ilmiah. Keduanya juga menguraikan jenis-jenis pelanggaran yang dapat terjadi terhadap integritas akademik, seperti fabrikasi, falsifikasi, plagiat, kepengarangan yang tidak sah, konflik kepentingan, dan pengajuan jamak.

Semua prinsip integritas tersebut dapat dilanggar. Misalnya, seorang penulis mengandalkan kecerdasan buatan (AI) untuk menyusun karya ilmiahnya tanpa melakukan kontribusi substansial seperti merencanakan topik penelitian secara cermat, melakukan analisis data dengan teliti, menulis dan mengedit karya secara mandiri, menganalisis karya ilmiah lain dengan saksama, dan menyajikan temuan. Jika penulis hanya menerima karya yang dihasilkan oleh AI tanpa melakukan kontribusi di atas, hal ini dapat menunjukkan kurangnya tanggung jawab dalam memastikan kualitas dan integritas karya ilmiah tersebut.

Contoh lain adalah ketika seorang penulis mengambil ide, argumen, atau temuan langsung dari karya ilmiah orang lain tanpa memberikan atribusi atau mengutip sumbernya secara tepat. Tindakan ini termasuk bentuk praktik plagiat. Pelanggaran lain adalah fabrikasi atau falsifikasi data, yaitu ketika seorang penulis membuat data atau hasil penelitian yang tidak akurat atau tidak valid untuk mendukung argumen atau temuannya dalam karya ilmiah. Selain itu, menyertakan nama peneliti atau kontributor lain dalam karya ilmiahnya tanpa izin atau tanpa kontribusi yang signifikan dari pihak tersebut juga pelanggaran integritas akademik atau kepengarangan yang tidak sah.

Hal lain adalah upaya sadar dari seorang penulis untuk menghindari atau menutupi konflik kepentingan yang mungkin memengaruhi hasil atau temuan dalam karya ilmiahnya. Misalnya, penulis menerima dana atau dukungan dari pihak tertentu yang memiliki kepentingan terhadap hasil penelitian. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap prinsip keadilan dan tanggung jawab dalam melaporkan potensi konflik kepentingan kepada pembaca atau pihak yang berkepentingan. Jika seorang penulis mengirimkan karya ilmiah yang sama kepada lebih dari satu jurnal ilmiah dengan sedikit atau tanpa perubahan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemungkinan publikasi juga adalah merupakan pelanggaran.

Bisakah semua pelanggaran-pelanggaran di atas dilakukan dengan AI? Ya tentu saja bisa. AI dapat diprogram untuk melakukan plagiat, fabrikasi atau falsifikasi data, serta kepengarangan yang tidak sah. AI hanya menjalankan perintah atau instruksi yang diberikan oleh pengguna manusia tanpa memiliki kemampuan untuk menilai atau memahami etika atau prinsip integritas akademik. AI secara intrinsik tidak memiliki pengetahuan tentang konteks, nilai-nilai moral, atau tanggung jawab etis yang terlibat dalam proses penulisan karya ilmiah. AI dapat melakukan tindakan-tindakan yang melanggar integritas akademik jika diberi instruksi atau program yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip etis tersebut.

Beberapa cara diyakini dapat mencegah kecurangan seperti menegakkan aturan dan etika akademik, menggunakan perangkat lunak deteksi plagiat, mempromosikan budaya integritas akademik, atau transparansi dalam pelaporan proses penelitian. Namun, cara lain yang penting dipertimbangkan adalah kembali kepada kepatuhan pada nilai-nilai kehidupan hakiki yang bertransendensi pada pertanggungjawaban kepada Sang Ilahi.

 

 

Prof. Dr. Daniel Ginting adalah dosen Prodi Sastra Inggris Universitas Ma Chung Malang dan Pengurus Pusat Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Editor: Dr. Indayani, M.Pd. adalah dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.