Relasi Makna Puasa dalam Pandangan Islam dan Jawa

Mengapa puasa dalam tuntunan Islam sangat mudah diterima masyarakat Jawa? Hal itu karena ajaran berpuasa sudah sangat melekat dan menjadi hal yang fundamental dalam kehidupan orang Jawa. Orang Jawa sudah memahami hakikat puasa jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia (dulu Nusantara).

Apr 2, 2024 - 08:50
Relasi Makna Puasa dalam Pandangan Islam dan Jawa

Oleh: Dr. Umi Salamah, M.Pd.

Mengapa puasa dalam tuntunan Islam sangat mudah diterima masyarakat Jawa? Hal itu karena ajaran berpuasa sudah sangat melekat dan menjadi hal yang fundamental dalam kehidupan orang Jawa. Orang Jawa sudah memahami hakikat puasa jauh sebelum Islam masuk ke Indonesia (dulu Nusantara). Para Wali Songo dalam dakwahnya tidak menghapus tradisi berpuasa yang dilakukan oleh orang Jawa. Mereka memodifikasi cara dan tujuan berpuasa untuk mengembangkan syiar Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin.  Hal itu dapat dicermati dari manifestasi ibadah puasa dalam pandangan Islam. Artikel ini akan mengupas bagaimana relasi makna berpuasa dalam pandangan Islam dan tradisi Jawa.

Di Jawa,  berpuasa sudah dikenal jauh sebelum Islam masuk ke Nusantara, yang sekarang dikenal dengan nama Indonesia.  Istilah puasa dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama pasa atau siyam. Istilah pasa berasal dari bahasa Sansekerta upawāsa yang berarti tindakan keagamaan yang pantang melakukan kegiatan hubungan seksual, makan dan minum,  menyakiti makhluk lain, dan berbicara buruk.

Adapun kata siyam digunakan sebagai bentuk halus dari kata pasa diserap dari bahasa Arab shaum’shiyam yang bermakna puasa.  Dalam pandangan Jawa, puasa diyakini sebagai cara pengendalian diri dari nafsu duniawi, bentuk penyucian, dan sarana mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bentuk puasa dalam pandangan Jawa ada bermacam-macam bergantung tujuannya. 

Banyak kakawin Jawa Kuno yang menggambarkan konsep pengendalian diri atau “pengekangan” diri agar bisa manunggal dengan Tuhan. Kakawin yang paling populer adalah Arjunawiwāha, yang digubah oleh Mpu Kanwa pada 1028-1035. Syair yang lahir pada masa Raja Airlangga tersebut mengisahkan Arjuna dalam mencari anugerah Hyang Widhi dengan cara berpuasa atau bertapa. Dalam tapanya, ia dihadapkan pada banyak ujian. Ujian berupa godaan hawa nafsu yang disimbolkan dengan dua sosok bidadari cantik yang menggodanya. Ujian melepaskan keduniawian yang digambarkan dalam perbincangan falsafi dengan Batara Indra. Ujian melawan keserakahan diri yang disiratkan dalam pertarungan dengan celeng buas. Ujian dalam melawan rasa iri dan dengki yang dikiaskan melalui pertarungan ular berkepala dua. Pengekangan rasa amarah dalam diri yang dilambangkan dengan pertempuran melawan raksasa.

Berpuasa dalam budaya Jawa juga disebut dengan bertapa untuk mencapai tujuan hidup yang mulia. Untuk mencapai kesempurnaan puasa, seorang yang berpuasa harus melewati berbagai ujian dan harus memiliki jiwa yang suci. Penyucian diri dalam Islam dilakukan dengan cara taubatan nasuha (melakukan taubat dengan sungguh-sungguh, tidak akan melakukan perbuatan dosa lagi) agar semua dosa, kesalahan, dan kekhilafan yang pernah dilakukan diampuni oleh Allah SWT.

Dalam pandangan Jawa, puasa juga memiliki makna mendalam untuk menggali potensi diri. Bagi orang Jawa, puasa tidak sekadar perpindahan jam makan dan minum atau sebuah mekanisme untuk mengejar pahala semata. Akan tetapi, puasa merupakan tahapan dalam proses pembersihan diri, menahan diri, dan membatasi diri dari perbuatan yang kurang memberikan manfaat.

Dalam pandangan Jawa, puasa bermanfaat bagi manusia agar dapat hidup bersahaja dan tidak mengagungkan duniawi saja. Puasa juga bermanfaat  untuk menggali kemampuan dan memaksimalkan kekuatan manusia sehingga menjadi manusia yang “kuat” dan  peka terhadap lingkungan sekitar. Kuat dalam arti merasakan kedekatan spiritual dengan Sang Pencipta sehingga orang awam menyebutnya dengan kesaktian. Dengan puasa, manusia juga akan mendapatkan ketentraman batin. 

Bagi umat Islam, puasa merupakan salah satu ibadah yang diperintahkan Allah. Salah satunya terdapat dalam surat Al-Baqarah ayat 183, yang artinya  "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan kamu berpuasa sebagaimana orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa". Dalam ayat tersebut terdapat empat dimensi nilai spiritual. Pertama, ibadah puasa hanya ditujukan kepada umat Islam yang beriman saja. Kedua, ibadah puasa adalah wajib bagi umat Islam yang beriman. Ketiga, ibadah puasa telah ada sebelum datangnya Islam. Keempat, tujuan ibadah puasa adalah meraih gelar takwa. Empat dimensi spiritual di atas mengimplikasikan bahwa puasa hanya diwajibkan bagi orang-orang Islam yang beriman. Tujuannya untuk meraih gelar tertinggi bagi kaum Islam yang beriman yaitu takwa. Gelar ketakwaan adalah gelar manusia yang sudah mencapai kedekatan dengan Allah SWT, hanya melakukan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Selain memiliki dimensi spiritual, ibadah puasa dalam pandangan Islam juga memiliki nilai kemanusiaan. Pertama, ibadah puasa mempererat tali  silahturahmi antara sesama manusia. Suasana menjalin silahturahmi umat dapat dilihat dan dirasakan saat bulan Ramadan. Di setiap masjid menyediakan buka puasa bersama, memberi takjil gratis, dan melakukan ibadah salat tarawih bersama. Kedua, melatih hidup sederhana. Orang yang berpuasa akan merasakan lapar dari perut yang kosong. Rasa lapar memberi pesan kuat agar umat Islam berempati kepada  penderitaan hidup orang-orang miskin yang sehari-harinya merasakan kelaparan. Ketiga, ibadah puasa melatih agar berhati-hati dalam ucapan dan perbuatan agar tidak menyakiti sesama. Keempat, Ibadah puasa membangkitkan kepedulian terhadap sesama, peka, dan peduli terhadap yang kurang beruntung. Rasulullah SAW menyatakan bahwa pahala puasa Ramadan tidak akan pernah diraih sampai mereka yang berpuasa selesai membayar zakat fitrah. Zakat fitrah merupakan simbol kepedulian ajaran Islam terhadap sesama manusia.

Dalam konteks spiritual ke-Tuhan-an, puasa dalam pandangan Islam dan Jawa memiliki nilai transenden yang menegaskan adanya interaksi yang kuat antara hamba dengan Tuhannya. Ibadah puasa menjadi media hubungan personal antara hamba dengan Tuhan, sekaligus medium hubungan kemanusiaan. Esensi puasa dalam pandangan Islam adalah takwa dan kasih sayang, sedangkan dalam pandangan Jawa, puasa mempermudah mendekatkan diri dengan Tuhan (manunggaling kawula-Gusti). Manusia yang mampu manunggaling Gusti akan memiliki berbagai kemuliaan dan keutamaan.

Baik dalam pandangan Islam maupun Jawa untuk mencapai tujuan puasa, manusia dihadapkan pada banyak ujian. Apakah manusia mampu melewati ujian atau tidak, ditentukan oleh pribadi yang berpuasa, bukan pada godaan/ujiannya. Sebesar apa pun godaannya, apabila niat dan iman manusia sudah teguh menjalankan puasa, ia akan mampu melewatinya dengan baik. Baik dalam pandangan Islam maupun Jawa, melakukan puasa dapat membentuk pribadi yang peka, tanggap, dan mulia.

 

 

Dr. Umi Salamah, M.Pd. adalah dosen PPG IKIP Budi Utomo Malang dan Pengurus Pusat Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).

Editor: Dr. Indayani, M.Pd. adalah dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.