Aplikasi Merdeka Belajar: Merdeka atau “Gimik”?

Akhir-akhir ini dunia pendidikan disibukkan dengan peralihan kurikulum, dari kurikulum 2013 ke kurikulum merdeka. Apakah benar kurikulum baru tersebut berorientasi pada kemerdekaan dalam belajar atau hanya sekadar peralihan istilah? Konon katanya kurikulum baru memberikan kebebasan pada siswa dan guru dalam pemilihan media dan proses pembelajaran yang dijalani.

Nov 2, 2022 - 22:04
Aplikasi Merdeka Belajar: Merdeka atau “Gimik”?
Source : BPMP NTT

Oleh: Ahmad Fauzan, S.Pd.

Akhir-akhir ini dunia pendidikan disibukkan dengan peralihan kurikulum, dari kurikulum 2013 ke kurikulum merdeka. Apakah benar kurikulum baru tersebut berorientasi pada kemerdekaan dalam belajar atau hanya sekadar peralihan istilah? Konon katanya kurikulum baru memberikan kebebasan pada siswa dan guru dalam pemilihan media dan proses pembelajaran yang dijalani.

“Apakah benar demikian?” Seperti yang terdapat pada semboyan kurikulum baru yakni merdeka belajar, merdeka berkarya. Guru-guru akan dibebaskan dari beban administrasi yang menyita waktu untuk mengembangkan inovasi dan kreativitas pembelajaran karena disibukkan dengan kegiatan administrasi.

Kenyataannya tidaklah demikian karena administrasi guru hanya berpindah istilah. Justru beban guru semakin bertambah dengan penambahan aplikasi merdeka belajar yang harus diselesaikan dengan beragam video dan juga proses berbagi dari modul, karya, hingga aksi nyata. Dengan kata lain, menambah kegiatan atau proses yang harus dilakukan oleh guru selain dari administrasi yang tetap harus dilakukan.

Aplikasi merdeka belajar tidak lebih dari platform pelatihan yang ditambahkan fitur penugasan dengan beragam nama dan istilah. Sebagai perbandingan aplikasi Ruang Guru yang dahulu dipakai oleh siswa sebagai pengganti bimbel konvensional yang akhir-akhir ini melebarkan jaringan hingga kegiatan belajar mengajar, yakni Ruang Belajar. Berdasarkan pengalaman pribadi, mengikuti program tersebut diberikan secara cuma-cuma terutama bagi anggota Indonesia Teaching Fellowsip (ITF) Persada, yakni program pelatihan Ruang Guru bagi para pendidik dengan bekerja sama dengan Dinas Pendidikan kabupaten atau kota yang dilaksanakan selama setahun penuh. Pada program ini peserta harus menyelesaikan modul yang berbentuk video dan diakhiri dengan proses ujian akhir (post test).

Ada banyak manfaat yang didapat selama mengikuti program tersebut, yaitu sebagai referensi dan penambah jaringan (relasi). Namun, sejak Kementerian Pendidikan bekerjasama dengan ruang guru dalam bentuk proses pelatihan, ada kekhawatiran model dan konsep pembelajaran akan berganti seperti yang terjadi pada aplikasi Ruang Guru (jauh sebelum pandemi dan pergantian Kurikulum Merdeka). Ternyata yang kami khawatirkan terjadi, seluruh pelatihan berganti menjadi konsep modul dan ujian ala Ruang Guru, yakni dalam bentuk aplikasi merdeka belajar.

“Lalu apakah memang ini arah dan tujuan merdeka belajar yangselama ini  digaungkan?” Jelas tidak karena kegiatan tersebut sangat melelahkan. Guru harus meluangkan waktu lebih banyak untuk menyelesaikan modul dan berbagi aksi nyata. Lalu apa bedanya dengan konsep sebelumnya. Rasanya tidak ada, hanya prosesnya saja berganti menjadi digital dalam bentuk aplikasi serta beban kerja yang juga secara otomatis bertambah.

Memang semua perubahan memiliki sisi positif dan sisi negatif. Namun, jika kita kembalikan tupoksi guru sebagai motivator dan fasilitator, bukankah kegiatan dan proses kewajiban menyelesaikan aplikasi merdeka belajar ini tidak lebih dari sekadar “gimik” yang notabene menciptakan beban tambahan, yaitu beban administrasi dan pembelajaran.

Semoga dapat dilakukan evaluasi dalam prosesnya sehingga merdeka belajar menjadi sebuah pencapaian bukan sekadar gimik pergantian kurikulum dan pertemuan virtual dengan berbagai label yang diberikan.

Ahmad Fauzan, S.Pd. adalah guru SMPN I Jabung Malang dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.