Waduh! Walhi Mengendus Jalin Kelindan Ekspor Pasir Laut dengan Pilpres 2024

"Biasa, Walhi melihatnya kalau mau mendekati momentum Pilpres pasti akan banyak izin keluar. Peraturan yang ikut pun akan sangat kuat," ungkapnya dalam diskusi virtual di kanal YouTube Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Minggu (11/6).

Jun 12, 2023 - 17:13
Waduh! Walhi Mengendus Jalin Kelindan Ekspor Pasir Laut dengan Pilpres 2024

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Maluku Utara Faizal Ratuela curiga momentum jelang pemilihan presiden (Pilpres) 2024 menjadi salah satu alasan pemerintah membuka keran ekspor pasir laut.

Faizal bingung mengapa Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sedimentasi Hasil Laut yang mengizinkan ekspor pasir laut muncul tiba-tiba. Padahal, ekspor pasir laut sudah dilarang sejak 20 tahun lamanya.

"Biasa, Walhi melihatnya kalau mau mendekati momentum Pilpres pasti akan banyak izin keluar. Peraturan yang ikut pun akan sangat kuat," ungkapnya dalam diskusi virtual di kanal YouTube Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Minggu (11/6).

Ia menegaskan lahirnya PP Nomor 26 Tahun 2023 makin mengancam keberlangsungan pulau-pulau kecil. Secara khusus, Faizal khawatir pulau-pulau kecil di Maluku Utara, Nusa Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Maluku akan rusak bahkan hilang.

Faizal lantas mengungkit soal pernyataan Presiden Jokowi saat membanggakan pertumbuhan ekonomi Maluku Utara yang mencapai 28,33 persen pada kuartal I 2022 dan 27,74 persen pada kuartal II 2022, di mana menjadi yang terbesar di dunia.

Menurutnya, Jokowi hanya melihat Maluku Utara dari segi sumber daya alam (SDA), bukan secara manusiawi.

"Kami melihat, biasanya momentum menuju Pilpres akan lahir sejumlah regulasi berbarengan dengan investasi yang akan bertambah," tegas Faizal.

"Saya terngiang yang disampaikan Presiden Jokowi (pertumbuhan ekonomi) secara terang Maluku Utara tidak dilihat dalam aspek manusianya, hanya sebatas konteks SDA. Hal itu terlihat dalam perubahan bentangan alam yang masif, degradasi nasional yang luar biasa di lingkungan yang saat ini menjadi lokasi proyek strategis nasional (PSN)," tutupnya.

Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono sebelumnya menjelaskan bahwa kebijakan Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut lagi karena kebutuhan mendukung proyek pembangunan nasional dan pasar luar negeri. Sakti berkata prioritasnya adalah kebutuhan pembangunan dalam negeri.

"Ini bukan menjual negara. Ini tidak menjual negara," katanya kepada wartawan di Kantor Kementerian KKP, Rabu (31/5).

Ia mengatakan pasir laut hasil sedimentasi yang dikeruk akan diutamakan untuk kepentingan dalam negeri. Hal ini utamanya, untuk mendukung reklamasi, pembangunan IKN dan sejumlah infrastruktur.

"Ada permintaan reklamasi, IKN, mengambil pasir dari mana, ini boleh tapi dari sedimentasi," katanya.

Timbulnya beleid yang mengizinkan lagi pengerukan hingga ekspor pasir laut memang membuka masa lalu kelam Indonesia. Sederet penolakan dilayangkan kepada Presiden Jokowi, baik dari pegiat lingkungan hingga eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) 2014-2019 Susi Pudjiastuti.

Restu Jokowi dalam beleid tersebut menyudahi pelarangan yang telah berlaku selama 20 tahun. Padahal, pasir laut dilarang diekspor sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Kala itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003  tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut. Ekspor pasir laut saat itu dihentikan demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil.

PDIP akan Kawal Kebijakan Ekspor Pasir Laut

PDIP bakal mengawal kebijakan ekspor pasir laut yang diizinkan Presiden Joko Widodo lewat Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto mengatakan menyebut partainya akan mengawal kebijakan itu agar persoalan terkait sedimentasi laut tetap memerhatikan aspek lingkungan.

"Jadi, PDIP akan ikut mengawal dengan sebaik-baiknya sehingga persoalan terkait dengan sedimentasi laut nanti dapat dicari penyelesaiannya dengan memperhatikan aspek-aspek lingkungan," kata dia, di Kantor DPP PDIP, Jumat (2/5).

Hasto mengaku langsung menanyakan hal itu ke Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono ketika kebijakan tersebut muncul.

Menurutnya, Wahyu sudah menjelaskan terkait kebijakan itu membutuhkan komitmen yang kuat untuk menjaga ekosistem laut.

"Dan itu peraturan secara efektif dan itu masih menunggu, nantinya ada suatu tim yang melakukan suatu verifikasi tim ahli NGO yang akan dilibatkan di dalam sedimentasi laut," ujar dia.

Hasto mewanti-wanti ekspor pasir laut menimbulkan dampak yang negatif bagi Indonesia.

Ia menekankan agar kebijakan itu tak menghasilkan reklamasi-reklamasi liar dan membuat pulau-pulau di Indonesia tenggelam.

"Jangan sampai pulau kita-kita tenggelam karena adanya reklamasi secara liar tanpa izin," tegasnya.

Presiden Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut setelah sempat dilarang sejak masa Presiden Megawati Soekarnoputri.

Izin tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut.

Melalui Pasal 6 PP tersebut, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk mengeruk pasir laut dengan dalih mengendalikan hasil sedimentasi di laut.

Dengan alasan mengendalikan sedimentasi itu, Jokowi memberikan ruang kepada sejumlah pihak untuk membersihkannya.

Sementara pada Pasal 8, Jokowi mengatur sarana yang bisa digunakan untuk membersihkan sedimentasi itu adalah kapal isap. Kapal isap itu diutamakan berbendera Indonesia.

Kalau tidak tersedia, Jokowi mengizinkan kapal isap asing untuk mengeruk pasir di Indonesia. Dalam Pasal 9, Jokowi mengatur pasir laut yang sudah dikeruk boleh dimanfaatkan untuk beberapa keperluan;

a. Reklamasi di dalam negeri;

b. Pembangunan infrastruktur pemerintah;

c. Pembangunan prasarana oleh pelaku usaha; dan/atau

d. Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pulau Hilang

Ekspor pasir laut Indonesia punya sejarah kelam yang membuat pulau-pulau di Indonesia hilang. Sebagian pasir tersebut digunakan untuk memperluas wilayah Singapura.

Munculnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang mengizinkan lagi pengerukan hingga ekspor pasir laut membuka masa lalu itu.

Berbagai penolakan dilayangkan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi), baik dari pegiat lingkungan hingga eks Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) 2014-2019 Susi Pudjiastuti.

Restu Jokowi dalam beleid tersebut mematahkan pelarangan 20 tahun lamanya yakni sejak masa pemerintahan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri.

Kala itu, Megawati melarang ekspor pasir laut yang diatur oleh Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soemarno melalui Kepmenperin Nomor 117 Tahun 2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Laut.

Ekspor pasir laut dihentikan sementara demi mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas, yakni tenggelamnya pulau kecil. Penghentian ekspor itu akan ditinjau kembali setelah tersusunnya program pencegahan kerusakan terhadap pesisir dan pulau kecil.

Sebelum dilarang ekspor, Indonesia pemasok utama pasir laut ke Singapura.

Mengutip Reuters, Indonesia pertama kali melarang ekspor pasir laut pada 2003. Larangan ekspor itu dipertegas pada 2007 silam sebagai bentuk perlawanan aksi pengiriman pasir secara ilegal ke Negeri Singa.

"Sebelum pelarangan, Indonesia adalah pemasok utama pasir laut Singapura untuk perluasan lahan, dengan pengiriman rata-rata lebih dari 53 juta ton per tahun antara 1997 hingga 2002," tulis laporan tersebut, dikutip Rabu (31/5).

Sedangkan menurut laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 2019, Negeri Singa adalah importir pasir laut terbesar di dunia. Bahkan, Singapura mengimpor 517 juta ton pasir laut dari para negara tetangganya, termasuk Malaysia, dalam dua dekade lamanya.

Pada 2007 lalu, Freddy Numberi yang saat itu menjabat sebagai Menteri KKP mengakui bahwa ekspor pasir laut untuk reklamasi Singapura sempat menghilangkan dua pulau milik Indonesia. Oleh karena itu, pihaknya menegaskan larangan ekspor tersebut.

"Pulau Nipah dan Sebatik sempat hilang, karena pasir yang ada dikeruk untuk dijual ke Singapura. Jadi, ekspor pasir laut itu merugikan, karena itu saya hentikan," tegasnya pada Mei 2007, dikutip dari Antara.

"Jadi, Indonesia nggak mendapatkan apa-apa dari ekspor pasir laut itu karena Indonesia juga dirugikan. Ada pulau yang hilang, lingkungan rusak, dan Indonesia harus keluar uang banyak untuk memulihkan," sambung Freddy.(han)