Seusai Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1). "Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat," ujar Jokowi.

Jan 20, 2023 - 14:59
Seusai Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Setelah lebih dari delapan tahun berkuasa, Presiden Joko Widodo secara resmi mewakili negara mengakui telah terjadi 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia pada masa lalu.

Jokowi juga menyesalkan dan mengupayakan pelanggaran HAM berat tak terjadi lagi di masa yang akan datang.

"Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai Kepala Negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa," kata Jokowi dalam konferensi pers di Istana Merdeka, Rabu (11/1).

"Dan, saya sangat menyesalkan terjadinya peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat," ujar Jokowi.

Dalam penjelasan Pasal 104 ayat (1) Undang-Undang Hak Asasi Manusia, pelanggaran HAM berat adalah pembunuhan massal (genocide), pembunuhan sewenang-wenang atau di luar putusan pengadilan (arbitary/extra judicial killing), penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara sistematis (system discrimination).

Sedangkan, menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat didefinisikan sebagai pelanggaran HAM yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.

Adapun 12 pelanggaran HAM berat yang diakui Jokowi yakni; peristiwa 1965-1966, penembakan misterius pada 1982-1985, peristiwa Talangsari di Lampung pada 1989, peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh pada 1989.

Kemudian, peristiwa penghilangan orang secara paksa pada 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, Trisakti dan Semanggi I dan II pada 1998-1999, pembunuhan dukun santet pada 1998-1999, Simpang KKA di Aceh pada 1999, peristiwa Wasior di Papua pada 2001-2002, peristiwa Wamena Papua pada 2003, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.

Jokowi menyatakan menaruh simpati yang mendalam kepada korban dan keluarganya. Ia menegaskan pemerintah berusaha memulihkan korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial.

Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti menilai pengakuan Jokowi sebagai langkah awal dalam rangkaian penyelesaian kasus HAM berat.

Ada tiga langkah lain yang harus dilakukan oleh Jokowi selanjutnya; pengungkapan kebenaran yang menyeluruh, pemberian keadilan yang berbasis korban, dan menjamin ketidakberulangan.

"Pengakuan adanya pelanggaran HAM Berat perlu diapresiasi. Paling tidak ada pengakuan dulu. Tapi dalam penyelesaian pelanggaran HAM Berat, yang harus dilakukan tidak boleh berhenti di pengakuan tentang adanya peristiwa itu," kata Bivitri.

Bivitri juga mengingatkan ada 11 rekomendasi dari Tim Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu (PPHAM). Mulai dari pengakuan dan ungkapan penyesalan, menyusun ulang sejarah, memulihkan hak korban, melakukan pendataan kembali korban, memulihkan hak konstitusional sebagai korban dan warga negara.

Selanjutnya, memperkuat penunaian kewajiban negara, melakukan resosialisasi korban dengan masyarakat, membuat kebijakan yang menjamin ketidakberulangan pelanggaran HAM berat.

Selain itu, membangun memorabilia berbasis dokumen sejarah, melakukan upaya pelembagaan dan instrumentasi HAM, serta membangun mekanisme untuk menjalankan dan mengawasi berjalannya rekomendasi ini.

"Dia baru melakukan nomor 1, masih 10 poin lagi yang harus dijalankan," ucapnya.

Menurut Bivitri semua langkah penyelesaian HAM dan rekomendasi PPHAM harus dijalankan oleh Jokowi jika dia bersungguh-sungguh ingin menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat.

"Jadi kita tunggu agar Pak Jokowi menjalankan semua rekomendasi itu. Jangan sampai hanya berhenti pada pengakuan," ujarnya.

Pengakuan Jokowi seujung jari
Anggota Divisi Pemantauan Impunitas Kontras Ahmad Sajali juga menilai pengakuan Jokowi terhadap 12 HAM berat baru seujung jari. Keseriusan Jokowi baru bisa dilihat ketika pernyataannya itu direalisasikan.

"Tentu ini sesuatu buat korban. Tapi ini bisa dibilang hanya seujung kuku jari," kata Sajali.

Sajali juga mengaku khawatir pengakuan Jokowi itu berujung lip service. Sebab, butuh lebih dari delapan tahun hingga akhirnya Jokowi mengakui belasan pelanggaran HAM berat.

Padahal, pada Pemilu 2014, saat masih menjadi capres, Jokowi berjanji akan menuntaskan pelanggaran HAM berat. Jokowi bahkan menyebut ada 15 pelanggaran HAM saat itu.

"Kalau sampai Oktober 2024 enggak terwujud, ini hanya seujung jari. Ini gimik untuk meningkatkan image dia sebagai presiden di akhir masa jabatannya. Dia enggak mau dicap bohong," ujarnya. 

Dalam 15 daftar pelanggaran HAM berat yang disebut oleh Jokowi, belum termasuk peristiwa Paniai berdarah. Sebab, kasus itu terjadi di era Jokowi.

Adapun 12 pelanggaran HAM berat di antaranya sama dengan daftar kasus yang Jokowi akui. Sementara tiga lagi adalah tragedi Tanjung Priok, Timor Leste, dan Abepura.

Namun demikian, dari belasan kasus pelanggaran HAM berat itu, baru Paniai yang naik sampai ke pengadilan. Itu pun, kata Sajali, dirasa masih jauh dari keadilan untuk korban.

Pasalnya, terdakwa yang diseret ke pengadilan oleh Jaksa Agung hanya satu orang. Itu pun terdakwa akhirnya divonis bebas oleh majelis hakim. Padahal, peristiwa Paniai adalah kejahatan luar biasa, terstruktur dan sistematis.

Sajali menjelaskan presiden punya peran yang signifikan dalam penyelesaian kasus HAM berat. Meskipun, dalam konsep trias politica, penyelesaian yudisial berada pada ranah Mahkamah Agung (MA).

Sajali menyebut presiden yang notabenennya sebagai eksekutif, punya hak prerogatif dalam menentukan Jaksa Agung. Peran presiden dalam hal ini bisa memilih Jaksa Agung yang punya keseriusan dalam menyelesaikan pelanggaran HAM berat.

Jaksa Agung berperan menindaklanjuti hasil penyelidikan Komnas HAM, melakukan penyidikan sampai menyeret kasus ke pengadilan.

Namun, Sajali melihat dalam dua periode kepemimpinannya, Jokowi selalu memilih Jaksa Agung yang berpotensi sarat kepentingan. Pada periode pertama, Jokowi memilih Jaksa Agung HM Prasetyo yang juga politisi NasDem.

Pada periode keduanya, Jokowi memilih ST Burhanuddin. Dia adalah adik politikus PDIP, partai yang mengusungnya sebagai presiden.

"Sebenarnya itu yang perlu dievaluasi secara menyeluruh oleh Jokowi yang sebenarnya sudah diingatkan sejak periode pertama," ujar dia.

"Itu terlihat jadi masalah dan terbukti banget di pengadilan Paniai, kinerja jaksa agung begitu payah sehingga dakwaan lemah dan terdakwa bebas," imbuhnya.

Sajali menyebut rekam jejak Jokowi itulah yang membuatnya khawatir untuk ke depan. Terlebih, dalam pernyataannya bersama Menko Polhukam Mahfud MD masih problematis. Menurut Sajali, mereka masih melanggengkan narasi-narasi yang keliru, terutama terkait peristiwa 1965-1966.

Dia berharap presiden bisa melakukan pengungkapan fakta dan meluruskan sejarah di buku pelajaran sekolah hingga keberadaan museum terkait yang perlu dievaluasi. Sebab, hal itu berpengaruh pada pemenuhan hak korban dari berbagai aspek: sosial, ekonomi, dan politik.

"Harusnya kalau penyelesaian HAM berat berjalan sesuai koridornya kita enggak akan ngelihat lagi ada lubang buaya, museum satria mandala, dan sebagainya atau monumen 66 itu hal yang patut direvisi. Harusnya sejauh itu," imbuhnya.(cnn/han)