Semboyan Warga soal Rempang: ‘Biar Kami Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut’

"Ini bukan soal pindah harga rumah dengan tipe 4x5 dengan luas tanah 500 meter. Kita tidak bicara itu, apakah dengan kita mengambil tawaran mereka marwah kita tetap terjaga, silsilah kampung juga tetap ada, kan tidak mungkin," ucapnya.

Sep 13, 2023 - 18:05
Semboyan Warga soal Rempang: ‘Biar Kami Mati Berdiri daripada Hidup Berlutut’

NUSADAILY.COM – BATAM – Juru Bicara Masyarakat Adat Tempatan (Keramat), Suardi Monggak menyatakan bahwa warga di 16 kampung melayu bakal bertahan dan menolak rencana relokasi rumah menyusul pengembangan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City di Batam.

"Jadi kami tetap bertahan, berapapun uangnya, kami tetap mempertahankan itu, sampai kapanpun. Kata orang melayu, biarlah kami mati berdiri daripada kami hidup berlutut. Karena kami mau jadi tuan rumah di negeri kami sendiri," ujar Suardi dalam acara Konferensi Pers YLBHI, Jakarta, Selasa (12/9).

Suardi mengatakan penolakan tersebut bukan didasarkan atas persoalan biaya ganti-rugi rumah. Menurutnya, warga menolak rencana itu lantaran kampung tersebut bernilai sejarah dan telah ditempati ratusan tahun silam.

"Ini bukan soal pindah harga rumah dengan tipe 4x5 dengan luas tanah 500 meter. Kita tidak bicara itu, apakah dengan kita mengambil tawaran mereka marwah kita tetap terjaga, silsilah kampung juga tetap ada, kan tidak mungkin," ucapnya.

Selain itu, Suardi juga turut menyesalkan tindakan pemerintah yang menurutnya terkesan memaksakan rencana tersebut. Padahal, kata Suardi, warga jauh-jauh hari sudah menolak rencana itu.

"Belum ada kata sepakat yang karena beberapa pertemuan mulai dari Desember 2022 sampai dengan beberapa kali, tetap saja pemerintah menyampaikan akan ada relokasi," ungkapnya.

Konflik ini bermula dari adanya rencana relokasi warga di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru dalam mengembangkan investasi di Pulau Rempang menjadi kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi.

Proyek yang dikerjakan oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) ditargetkan bisa menarik investasi besar yang akan menggunakan lahan seluas seluas 7.572 hektare atau sekitar 45,89 persen dari total luas Pulau Rempang 16.500 hektare.

Warga yang mendiami di Pulau Rempang, Pulau Galang dan Pulau Galang Baru tersebut harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Jumlah warga tersebut diperkirakan antara 7.000 sampai 10.000 jiwa.

Bentrok pun pecah antara aparat dengan warga pada 7 September lalu. Aparat gabungan disebut memasuki wilayah perkampungan warga. Sementara warga memilih bertahan dan menolak pemasangan patok lahan sebagai langkah untuk merelokasi.

Tak berhenti di sana, kerusuhan kembali terjadi pada 11 September saat ribuan warga menggeruduk kantor BP Batam, Kota Batam untuk menolak rencana relokasi dan meminta tujuh massa aksi warga dibebaskan.

Awal Mula Konflik Pulau Rempang

Rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City mencuat sejak 2004.

Kala itu, PT. Makmur Elok Graha menjadi pihak swasta yang digandeng pemerintah melalui BP Batam dan Pemerintah Kota Batam bekerja sama.

Kini, pembangunan Rempang Eco City masuk dalam Program Strategis Nasional tahun ini sesuai Permenko Bidang Perekonomian RI Nomor 7 Tahun 2023 dan ditargetkan bisa menarik investasi hingga Rp 381 triliun pada tahun 2080.

Kawasan Rempang juga akan menjadi lokasi pabrik kaca terbesar kedua di dunia milik perusahaan China Xinyi Group. Investasi proyek itu diperkirakan mencapai US$11,6 miliar atau sekitar Rp174 triliun.

Berdasarkan situs BP Batam, proyek ini akan memakan 7.572 hektare lahan Pulau Rempang atau 45,89 persen dari keseluruhan lahan pulau Rempang yang memiliki luas sebesar 16.500 hektare.

Sejumlah warga terdampak pun harus direlokasi demi pengembangan proyek ini. Sebagai kompensasi, Kepala BP Batam Muhammad Rudi menyatakan pemerintah menyiapkan rumah tipe 45 senilai Rp120 juta dengan luas tanah 500 meter persegi.

Bentrok 7 September

Penolakan warga atas rencana pembangunan kawasan Rempang Eco City itu pecah jadi bentrokan dengan aparat gabungan pada 7 September 2023. Mereka menolak pengukuran lahan yang dilakukan BP Batam.

Polisi menembakkan gas air mata lantaran situasi yang tidak kondusif. Sejumlah anak harus dibawa ke rumah sakit akibat gas air mata yang diklaim aparat terbawa angin.

Dalam video yang diunggah akun Twitter Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang, tampak sejumlah warga mengalami luka dan beberapa orang diangkut ke mobil berjeruji. Video itu telah dikonfirmasi Ketua YLBHI Muhammad Isnur.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Kepri Zahwani Pandra Arsyad mengatakan bentrokan pecah lantaran sejumlah kelompok warga yang menolak pengukuran melakukan blokade di Jembatan Trans Barelang.

Ia menuturkan polisi berusaha memastikan mobilisasi warga tak terganggu dengan membongkar blokade. Namun, terdapat perlawanan dari warga yang menolak proyek tersebut.

"Kenapa dibubarkan? Karena sudah membahayakan petugas dan masyarakat. Dan dampak dari gas air mata itu ada tempat pendidikan sekolah sehingga terdampak hempasan angin itu," kata Pandra saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Senin (11/9).

Belasan kampung tolak digusur

Salah saksi warga bernama Khazaini KS mengatakan hingga kini ada 16 kampung yang menolak untuk direlokasi. Mereka mengklaim kampung yang mau digusur telah berdiri sejak 1834.

"Dari hasil asesmen lapangan kita. Mayoritas masyarakat 16 kampung tua menolak relokasi, karena kampung sudah eksis dari 1834," kata Khazaini kepada CNNIndonesia.com.

Khazaini pun mengatakan warga yang terancam tergusur akibat pembangunan PSN tersebut tak mendapat ganti rugi dari BP Batam. Menurutnya, pernyataan polisi soal ganti rugi baru klaim sepihak yang diterima dari BP Batam.

"Kapolri, jangan menerima informasi satu pihak dari BP Batam. Tidak benar kalau ada sosialisasi dan pemberian ganti rugi," kata dia.

Respons pemerintah

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Polhukam) Mahfud MD menegaskan peristiwa di kawasan Pulau Rempang bukan penggusuran. Ia mengatakan yang terjadi adalah pengosongan lahan oleh yang berhak.

"Supaya dipahami kasus itu bukan kasus penggusuran, tetapi memang pengosongan karena memang secara hak itu akan digunakan oleh pemegang haknya," ujar Mahfud saat ditemui di Hotel Royal Kuningan, Jakarta, Jumat (8/9).

Mahfud menyebut negara telah memberikan hak atas Pulau Rempang kepada sebuah entitas perusahaan pada 2001-2002 berupa Hak Guna Usaha (HGU) . Namun, tanah itu belum digarap investor dan tak pernah dikunjungi.

Selanjutnya, pada 2004, hak atas tanah itu diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Padahal, menurut Mahfud, Surat Keterangan (SK) terkait hak itu telah dikeluarkan secara sah pada 2001-2002. Ia pun menyinggung kekeliruan yang dilakukan KLHK.

"Nah, ketika kemarin pada tahun 2022 investor akan masuk, yang pemegang hak itu datang ke sana, ternyata tanahnya sudah ditempati. Maka kemudian, diurut-urut, ternyata ada kekeliruan dari pemerintah setempat maupun pemerintah pusat, dalam hal ini Kementerian LHK. Nah, lalu diluruskan sesuai dengan aturan bahwa itu masih menjadi hak karena investor akan masuk," kata Mahfud.

"Nah, proses pengosongan tanah inilah yang sekarang menjadi sumber keributan, bukan hak atas tanahnya, bukan hak guna usahanya," sambung dia.

Bentrokan 11 September

Bentrokan kembali pecah antar warga yang menolak proyek tersebut dengan aparat gabungan. Pada Senin (11/9), massa menggelar aksi demonstrasi di depan kantor BP Batam. Mereka juga menuntut tujuh warga yang sebelumnya ditangkap dan jadi tersangka dibebaskan.

Polisi pun telah menangguhkan penahanan ketujuh tersangka itu. Polda Kepri menangkap 43 orang dari aksi pada Senin.

Menurut polisi, kaca gedung BP Batam pecah karena lemparan batu warga. Sebanyak 26 personel aparat gabungan luka-luka.

Warga juga disebut melempar kayu hingga molotov ke arah kantor BP Batam.(han)