Quo Vadis Partai Politik Kita?

Setiap negara yang menggunakan label demokrasi harus memiliki partai politik. Partai politik berhak menjadi peserta pemilu untuk menentukan pemimpin di eksekutif maupun legislatif. Selain memilih pemimpin, pemilu juga berfungsi untuk menentukan kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Mar 20, 2024 - 04:20
Quo Vadis Partai Politik Kita?

Oleh: Dr. Mangihut Siregar, M.Si.

Setiap negara yang menggunakan label demokrasi harus memiliki partai politik. Partai politik berhak menjadi peserta pemilu untuk menentukan pemimpin di eksekutif maupun legislatif. Selain memilih pemimpin, pemilu juga berfungsi untuk menentukan kebijakan pemerintah yang berkuasa.

Partai politik merupakan motor penggerak demokrasi. Maju mundurnya demokrasi di suatu negara sangat ditentukan partai politiknya. Semua regulasi dan kebijakan yang dilakukan pemerintah yang berkuasa bersumber dari produk partai politik.

 

Kondisi Partai Politik Indonesia

1. Ideologi yang sangat Lemah

Setiap partai harus mempunyai ideologi dan ideologi partai tidak boleh bertentangan dengan Pancasila. Ideologi tiap partai harus dicantumkan di AD/ART partai. Dalam praktiknya, ideologi hanya tercantum di AD/ART. Ideologi partai hanya sebatas kesadaran palsu seperti yang dimaksudkan oleh Karl Marx. Bukti lemahnya ideologi partai terjadi di hampir semua partai politik. Contoh yang sederhana dapat dilihat dari koalisi partai tidak linier di pusat dengan di daerah.

Koalisi yang terakhir dapat dilihat pada pencalonan Capres/Cawapres Pemilu Tahun 2024. Pasangan 01 didukung oleh partai: Nasdem, PKS, PKB, dan Ummat; Pasangan 02 didukung partai: Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat, PBB, dan Gelora; dan pasangan 03 didukung oleh partai: PDI-P, PPP, Perindo, dan Hanura.

Pada awalnya, partai Demokrat berkoalisi dengan pasangan 01. Setelah pasangan 01 mendeklarasikan pasangan Capres/Cawapres Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, saat itu juga Demokrat berpindah haluan ke pasangan 02. Di sisi yang lain, partai PKB awalnya berkoalisi dengan 02, tetapi begitu ditawari menjadi cawapres di pasangan 01, saat itu juga PKB berpindah haluan koalisi. Perpindahan koalisi yang begitu cepat dapat terjadi karena ideologi yang sangat lemah.

Peta koalisi ini hanya terjadi pada saat Pilpres Tahun 2024. Setelah diumumkan pemenang koalisinya, pasti akan mengalami perubahan. Sebagian partai pendukung yang kalah akan ikut berkoalisi dengan koalisi pemenang. Hal ini membuktikan bahwa ideologi dalam partai tidak ada. Yang ada adalah kepentingan pragmatis pada saat tertentu.

Sama halnya dengan Pemilukada Tahun 2024, yang akan dilangsungkan pada bulan November 2024. Praktik koalisi dilakukan secara pragmatis, bukan secara ideologi sehingga tiap daerah akan melakukan koalisi secara berbeda. Hal ini menjadi bukti bahwa partai di Indonesia mempunyai ideologi yang sangat lemah sedangkan yang dominan adalah pragmatisnya.

 

2. Kaderisasi yang Mandek

Partai politik berfungsi untuk mengader para pemimpin di tingkat daerah maupun di tingkat nasional. Melalui kaderisasi, akan lahir pemimpin yang hebat baik di eksekutif maupun legislatif. Kaderisasi yang baik akan menginternalisasikan ideologi partai kepada setiap pemimpin.

Praktik kaderisasi melalui partai di Indonesia sangat mandek. Umumnya partai politik mengusung calon pemimpin bukan berdasarkan kaderisasi, melainkan elektabilitas atau instan. Siapa yang mempunyai elektabilitas yang tinggi, mempunyai dana yang cukup akan didukung semua partai. Partai politik tidak perlu mempertimbangkan calon itu kader siapa, yang terutama adalah peluang untuk menang dan dapat memberi asupan dana ke partai.

Hal ini dapat dilihat dari pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden. Melalui elektabilitas bapaknya, Jokowi, sebagai presiden dengan mudah partai-partai pengusung Prabowo Subianto menyepakati calon wakilnya Gibran Rakabuming Raka. Orang yang masih minim pengalaman mengalahkan para tokoh partai politik (para ketua partai). Yang paling aneh lagi, adik Gibran yaitu Kaesang Pangarep hanya dalam sekejap mata memiliki KTA bisa langsung menjadi ketua umum PSI. Kaesang didaulat menjadi ketua bukan karena kehebatannya/karena jasanya di dalam partai, melainkan karena dia adalah anak Jokowi. Kedua kasus ini menghilangkan kaderisasi dalam partai.

3. Sistem Pendanaan

Partai politik merupakan organisasi nirlaba yang bertujuan sosial dan didirikan secara sukarela. Walaupun demikian partai harus didukung dana yang cukup agar tetap survive. Tanpa dukungan dana yang memadai, partai akan tinggal nama tanpa memainkan peran di masyarakat.

Menurut regulasi yang ada, dana partai bersumber dari: sumbangan anggota, sumbangan pihak ketiga perorangan jumlahnya maksimal Rp1 miliar, sumbangan badan usaha maksimal Rp7,5 miliar dalam jangka waktu satu tahun anggaran, dan pendapatan negara sebesar Rp1.000,00 per suara sah untuk DPR pusat, Rp1.200,00 untuk DPRD Provinsi dan Rp1.500,00 untuk DPRD kabupaten/kota per suara sah.

Sumber pemasukan partai yang sangat terbatas sedangkan pengeluaran tidak terbatas sehingga partai-partai mencari donatur untuk menghidupi partai. Para donatur bisa bersumber dari dalam partai dan juga dari luar partai. Sumbangan anggota merupakan dana yang bersumber dari dalam dan jumlahnya tidak terbatas. Semakin besar sumbangan seseorang, semakin besar pengaruhnya dalam partai. Para donatur ini menjadi kelompok elite yang sangat menentukan arah partai.

Yang paling jamak terjadi untuk mendapatkan pendanaan partai yaitu “menjual tiket” kepada para politikus. Fenomena itu terjadi pada pemilihan presiden, pemilihan legislatif, dan pemilihan kepala daerah. Partai berfungsi hanya sebagai kendaraan saja, para calon tidak mempunyai hubungan ideologis dengan partai. Untuk memenuhi syarat pencalonan, politikus membayar sejumlah uang. Politikus mendapat tiket untuk maju sebagai calon pemimpin sedangkan partai mendapatkan dana untuk memenuhi kebutuhan partai.

Masalah-masalah di atas dari hari ke hari bukan semakin membaik, melainkan semakin memburuk. Keterpurukan partai berimplikasi pada kualitas demokrasi yang semakin menurun. Sudah saatnya dipikirkan untuk mengembalikan partai politik berdiri di relnya. Semoga para elite menyadari kegagalan partai politik yang terjadi selama ini.

 

Dr. Mangihut Siregar, M.Si. adalah Dekan FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya dan anggota Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., dosen Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan Pengurus Pusat PISHI.