Budayakan Membaca, Mendengar dan Menulis

Ketika Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali dari Allah perintahnya adalah “Bacalah”. Para sahabat Rasul mendengar wahyu Allah yang diceritakan Rasul itu lalu menulisnya setiap apa yang didengarnya.

Dec 24, 2023 - 05:38
Budayakan Membaca, Mendengar dan Menulis

Oleh: Ahmad Cholis Hamzah

Ketika Rasulullah Muhammad SAW menerima wahyu pertama kali dari Allah perintahnya adalah “Bacalah”. Para sahabat Rasul mendengar wahyu Allah yang diceritakan Rasul itu lalu menulisnya setiap apa yang didengarnya. Memang budaya membaca, mendengar dan menulis itu membuat suatu bangsa menjadi maju dan beradab. Hal ini bisa dijumpai dalam sejarah bangsa-bangsa yang maju perdabannya sejak jaman kuno dulu ditandai dengan adanya budaya membaca dan menulis.

Jaman emas peradaban Islam disebut dengan Golden Age. Pada jaman kekhalifahan ini, para ilmuwan Islam banyak menemukan ilmu pengetahuan seperti ilmu kedokteran, folosofi, matematik, kimia, dan sebagainya. Hal itu dikarenakan para ilmuwan tersebut memiliki budaya membaca, mendengar dan menulis.

Suatu negara itu disebut maju seperti berbagai negara maju di Amerika Serikat, Eropa dan lain-lain itu  bisa dilihat dari kemajuan infrastrukturnya, tatakota yang bagus, tingkat kesadaran akan kebersihan dan kedisiplinan yang kuat, banyaknya museum dan sebagainya. Namun ada tanda lainnya yaitu adanya toko buku atau perpustakaan yang besar-besar. Saya saksikan di London sebuah toko buku yang besar dan dikunjungi banyak orang. Hal ini menunjukkan minat baca masyarakatnya sangat tinggi, demikian pula kondisi yang sama dapat ditemukan di berbagai kota besar di negara-negara maju. Bahkan toko buka yang menjual buku-buku lama atau Rare Books Store juga banyak di kunjungi orang yang mencari berbagai informasi penting dari buku-buku lama itu.

Pertama kali saya ke ibu kota Jepang Tokyo tahun 1982, saya seperti orang desa yang “tolah-toleh” ketika berada didalam kereta api bawah tanah atau MRT. Diantara banyak orang yang duduk, berdiri didalam MRT itu hanya saya yang tidak membaca. Para penumpang KA cepat di Tokyo itu sebagian besar membaca, dan mereka membaca berbagai macam bacaan, ada buku novel, tekxtbook, koran, brosur dan lain-lain. Menurut sebuah penelitian di Jepang tahun 2021, lebih dari 23% responden di Jepang membaca buku setiap hari. Sementara di penelitian tahun 2020 ada 46,2% membaca tiga buku atau lebih setiap bulannya. Waktu saya sekolah di University of London tahun 1987 diantara ratusan mahasiswa di perpustakaan, saya sendiri yang ingin cepat keluar dari perpustakaan (untuk masak, makan dsb), sementara yang lain pada rajin dan tekun membaca bertumpuk-tumpuk buku.

Di era modern yang ditandai dengan teknologi digital dan AI – Artificial Intelligent, masyarakat dengan mudah membaca atau mencari informasi melalui internet dan media sosial. Namun masyarakat negara-negara maju masih memiliki kegemaran membaca buku baik dirumah, perjalanan ke kantor atau kampus maupun selagi menikmati liburan.

UNESCO pernah mengeluarkan data bahwa Indonesia menduduki rangking ke 69 dari 127 negara di dunia dalam hal kompetensi membaca dan hanya 0,001% masyarakat Indonesia senang membaca. Rendahnya minat baca di Indonesia ini pernah dibantah dalam suatu diskusi di UNPAD Bandung tahun 2014. Alasan bantahan tersebut yaitu karena yang disebut membaca itu tidak hanya membaca buku-buku besar, namun kenyataanya dalam dunia modern ini masyarakat Indonesia banyak yang membaca buku-buku ringan, atau informasi lainnya di internet, sosial media dsb. Sayangnya diskusi itu tidak menunjukkan data kuantitatif berapa persen masyarakat Indonesia yang membaca di berbagai media informasi itu.

Selain budaya membaca itu, budaya menulis juga perlu dikembangkan di Indonesia ini apalagi kalau di perguruan tinggi maka menulis itu suatu kewajiban bagi para dosen. Peringkat suatu perguruan tinggi dalam skala nasional maupun global ditentukan antara lain seberapa banyak dosennya menulis jurnal baik yang berskala nasional maupun internasional. Selain itu juga dilihat dari seberapa banyak tulisan dosen itu dikutip orang lain. Seorang Da’I kondang nusantara Prof. Abdul Somad pernah mengatakan “Menulislah biar orang tahu kalau engkau pernah hidup”. Pesan ini disampaikan oleh Ustadz Abdul Somad (UAS) dalam sebuah pengajian yang dibanjiri ribuan orang. UAS dalam kesehariannya selain sibuk berdakwah juga sibuk membaca dan menulis. Hal yang sama diuangkapkan oleh Najwa Shihab. Ketika ditanya oleh Rhoma Irama di acara podcastnya tentang apa yang dapat dipelajari dari sang ayah Quraish Shihab, Najwa menjawab bahwa dia menyaksikan sang ayah setiap hari duduk didepan meja menulis di laptopnya. Quraish Shihab memiliki ilmu agama Islam yang luas.

Sementara budaya mendengar itu bisa berupa keaktifan seseorang menjadi pendengar yang baik, “good listener”. Menjadi pendengar yang baik dapat dilakukan di lingkungan akademik seperti kuliah, seminar, dan sebagainya. Selain itu dapat juga dilakukan dengan aktif mendatangi setiap acara yang bermanfaat untuk mendengar berbagai informasi dan pengetahuan.

 

Penulis adalah Ketua Komite Audit UNAIR dan Penasihat Bidang Internasional di Unusa (Universitas NU Surabaya) dan tulisan ini disunting oleh Sulistyani, dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri sekaligus anggota PISHI (Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia).