Bangunan Peradaban Pemilu di Maluku

Oleh Dr. Iwan Rumalean, M.Pd.

Jul 2, 2023 - 01:48
Bangunan Peradaban Pemilu di Maluku

Maluku telah ikut menorehkan perjalanan sejarah demokrasi Indonesia. Pada Pemilu tahun 1955 Maluku mengirimkan dua wakilnya untuk menduduki Anggota Parlemen Angkatan ke-1. Keduanya adalah (1) Johanes Leimena dan (2) Mohamad Soleman. Johanes Leimena dari Parkindo yang kemudian berfusi menjadi PDI dan pada tahun 1999 menjadi PDI-P. Mohamad Soleman mewakili Partai Masyumi, yang kemudian bersama partai-partai islam berfusi lebih lanjut menjadi PPP.

Pemilu 2019 melahirkan Anggota Parlemen RI angkatan ke-12. Maluku berhasil mengirimkan empat wakilnya ke Senayan yaitu satu. Abdullah Tuasikal dari Partai Nasdem, (2) Hendrik Lewerissa dari Partai Gerindra, (3) Mercy Chriesty Barends dari PDI-P, dan (4) Saadiah Uluputty dari PKS (Maluku Dalam Angka, 2021).

            Pada pemilu 2019 itu, DPR Provinsi Maluku diisi oleh 45 Anggota parlemen di Karpan-Ambon. Urutan pertama PDI-P meraih 7 kursi, urutan kedua Golkar, dan Gerindra meraih masing-masing 6 kursi. Hanura dan PKS masing-masing 5 kursi. Demokrat meraih 4 kurisi, PKB dan Nasdem meraih masing-masing 3 kursi. Perindo dan PPP meraih masing-masing 2 kursi. PAN dan Partai Berkarya masing-masing meraih 1 kursi.

Kini, tinggal beberapa bulan lagi tepatnya pada Februari 2024 usia parlemen DPR RI memasuki 87 tahun. Indonesia akan melaksanakan pesta demokrasi pemilihan umum: Presiden-Wakil Presiden, Pemilu Legislatif RI, Provinsi Maluku, dan kabupaten/kota se-Maluku. Pada pemilu tersebut, Maluku masih tetap mengirimkan empat wakilnya ke Senayan sebagai anggota parlemen RI, angkatan Ke-13. Demikian pula DPR Provinsi diisi oleh 45 anggota parlemen.  Siapa saja mereka?, Wallahu’alam Bissawab, tetapi yang pasti 4 dan 45 orang terpilih tersebut adalah tokoh yang ikhlas memerjuangkan kepentingan rakyat Maluku. Bekerja lintas batas sosial geografis-demografis, status sosial, dan strata sosial.

Tidak penting menjawab pertanyaan siapakah yang akan terpilih mewakili rakyat Maluku ke Senayan tahun 2024, tetapi yang terpenting dari pemilu ke pemilu adalah membangun peradaban demokrasi yang mapan di tanah Maluku. Hingga demokrasi di Maluku mampu melahirkan pimpinan yang berjiwa cerdas, edukatif, relegius, integritas, berkarakter, dan amanah. Pimpinan yang mencintai rakyatnya, dekat dengan rakyatnya, dan melayani dengan hati. Pertanyaan selanjutnya adalah apakah pemilu di Maluku belum melahirkan peradaban demokrasi?. Jawabannya, rakyatlah yang pantas menilai. Bahwa di sana-sini masih ada tokoh yang menjelang pemilu baru menghampiri konstituennya. Berpura-pura membagikan sembako, sunatan masal, menghadirkan artis lokal dan nasional berdendang di atas panggung sandiwara, dan mengabaikan pendidikan politik berkualitas.

Berangkat dari realitas demokrasi akal-akalan tersebut, pembangunan peradaban demokrasi itu penting. Lalu apa dan siapa yang mesti berperan dalam pembangunan Peradaban Demokrasi itu?. Ada empat elemen yang menjadi pilar pembangunan peradaban demokrasi yaitu partai politik, pemilu, pemerintah, dan rakyat.

Pertama: berdasarkan perintah konstitusi, satu-satunya pilar estafet kepemimpinan bangsa adalah partai politik. Karena itu, partai politik harus diperkuat, partai politik tidak boleh lemah apalagi dilemahkan. Partai politik tidak boleh hanya mementingkan popularitas dan mengedepankan kepentingan jangka pendek. Arga (Kompasiana, 2019) menjelaskan bahwa partai politik jangan secara jangka pendek merekrut artis untuk menjadi calon anggota legislatif. Tanpa memertimbangkan kualitas dan hanya mengedepankan popularitas. Padahal konstitusi menegasikan partai politik berkewajiban melahirkan generasi politisi yang matang secara karakter dan pengetahuan. Jangan sampai partai politik hanya sebagai jembatan menghantarkan seorang pada kekuasaan. Namun, ia menjauh dari capability, knowledge, dan sebagai pimpinan yang amanah.

Dewasa ini, Indonesia telah menjelma sebagai negara demokrasi terbesar ke-3 di dunia. Karena itu, Indonesia telah memasuki era demokrasi yang menjunjung nilai kebebasan. Namun demikian, harus adanya perimbangan nilai, etika, dan moral sehingga kebebasan tersebut masih dalam ranah demokrasi. Bukan kebebasan yang kebablasan apalagi mengarah pada kesewenangan. Pembangunan peradaban demokrasi diharapkan mampu mengantarkan bangsa Indonesia ke puncak peradaban politik. Karena itu, perlu dibentuk sebuah sistem sebagai the rule of the game. Para pemeran yang mengisi slot-slot tersebut dituntut untuk berjiwa cerdas, edukatif, relegius, integritas, berkarakter, dan amanah. Jika tidak, sistem akan mengalami kemandekan dan bobrok. Yang terjadi adalah ibarat bangkai kapal Titanic yang romantis, tetapi seram dan menakutkan.

Kedua: proses berpemilu, jika partai politik telah menjalankan tugas dan fungsinya secara baik. Namun, proses berpemilu penuh dengan dusta, kecurangan, pelitik uang, hoaks, dan politik hitam. Pembangunan peradaban demokrasi juga akan tenggelam secara perlahan-lahan seperti Titanic yang romantis itu. Karena itu, perangkat kepemiluan semuanya harus bekerja di dalam sistem secara kaffah. Adapun perangkat-perangkat kepemiluan menurut Agra (Kompasiana, 2019) tersebut adalah jenis pencalonan, kontestan, cara pemberian suara, pembagian suara, pembagian daerah pemilih, cara perhitungan suara, dan waktu penyelenggaraan pemilu. Jika perangkat-perangkat tersebut dicederai, jangan bermimpi bangunan peradaban demokrasi bisa lahir di atas tanah Maluku-Indonesia.

Lima perangkat pemilu tersebut merupakan satu kesatuan yang bersifat simbiosis mutualisme. Jika salah satu perangkat melakukan perbuatan melenceng ataupun pengebirian yang dilakukan oleh pihak lain, pemilu tidak menyumbangkan bangunan peradaban demokrasi yang bermartabat. Konstitusi pemilu ditabrak dan dilabrak, pemilu menjadi lemah, tidak terbuka, tidak benar, tidak jujur, dan tidak adil. Istilah krennya, menang di bilik suara, kalah di penghitungan. Menang di pencoblosan, yang dilantik orang lain.

Ketiga: pemerintah, diberi tanggung jawab menyiapkan infrastruktur pemilu yang memadai. Namun, pemerintah dilarang mengebiri penyelenggara. Komponen ketiga ini memiliki segalanya untuk bisa berbuat curang. Pemerintah memiliki aktor yang bisa mencederai peradaban demokrasi. Aktor-aktor tersebut ASN, TNI-POLRI, perangkat-perangkat desa/lurah hingga ke RT/RW. Aktor-Aktor tersebut semuanya bisa berakting untuk berbuat curang. Karena itu, kompenen pemerintah beserta aktor-aktornya harus diawasi oleh civil society. Penyelenggara pemilu baik KPU maupun Bawaslu harus mendorong lahirnya kesadaran politik. Melalui pembentukan kelompok-kelompok covil society yang bertugas mengawasi pemerintah dan aktor-aktornya, serta penyelenggara pemilu.

Keempat: masyarakat, komponen satu ini menentukan pemilu berkualitas atau tidak. Komponen keempat berperan menentukan lahirnya peradaban demokrasi bermartabat. Partisipasi masyarakat dalam berpemilu, jangan sekadar menggunakan hak pilihnya. Namun, lebih dari itu adalah partisipasi sebagai bagian penegakan hukum pemilu. Jangan sekadar evoria mewarnai jempolnya sebagai ikon telah ikut mencoblos. Atau sekadar datang ke TPS mencoblos calon tertentu setelah itu selesai. Jika demikian, pemilu tidak kalahnya dengan memilih kucing di dalam karung. Masyarakat harus mengawal suaranya hingga ke penetapan di KPU, baik melalui individu maupun civil society. Semoga pemilu berkualitas-bangunan demokrasi berperadaban di tanah Maluku diwujudkan. (***)

 

Dr. Iwan Rumalean, M.Pd. adalah Dosen PBSI FKIP Unpatti, pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI), dan Ketua ISNU Provinsi Maluku. Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd., Prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.