Pendidikan Tinggi Teologi Luar Negeri di Indonesia

Oleh: Andreas Hauw

Aug 16, 2023 - 02:25
Pendidikan Tinggi Teologi Luar Negeri di Indonesia

Seberapa jauh kemanfaatan dan kerugian bila penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Teologi dari kampus Luar Negeri (PTTLN) dilakukan di Indonesia? Apakah manfaat dan kerugian nyata yang ada di depan mata? Apakah aspek-aspek penting dari kemanfaatan dan kerugian yang jelas di depan mata?

Sejak periode pertama Presiden Jokowi, 2014-2019, wacana memberi izin penyelenggaraan Pendidikan Tinggi Luar Negeri di Indonesia mulai terdengar. Misalnya, Wakil Presiden RI kala itu, Jusuf Kalla, berujar "Kami merencanakan untuk membuka kesempatan universitas asing di Indonesia. Itu segera, agar ilmu universal bisa kita capai" (CNN, 30 September 2021). Setahun kemudian, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim meresmikan kegiatan operasional Monash University di Bumi Serpong Damai Tangerang Selatan.

Pada Oktober 2022, giliran Lancaster University dan Deakin University membuka cabang di negeri kita (Kompas, 18 Oktober 2022). Belum terdengar adanya bidang Teologi Kristen, yang biasanya masuk rumpun dalam fakultas humaniora atau filsafat, akan nebeng menyelenggarakan pendidikannya di Indonesia. Bagaimana kira-kira pengaruhnya terhadap Sekolah Tinggi Teologi (STT) atau fakultas Filsafat-Teologi yang sudah ada di Indonesia? Penulis berpendapat kehadiran Pendidikan Tinggi Teologi dari kampus luar negeri akan membawa manfaat dan sekaligus kerugian.

 

Persaingan yang Sehat

Saat ini sudah ada 7 (tujuh) Pendidikan Tinggi Kristen Negeri (PTKN). Sementara Fakultas Teologi-Filsafat dan STT swasta mencapai 200 kampus yang tersebar di seluruh Indonesia. Masuknya pendidikan teologi dari luar negeri akan menambah persaingan dalam berbagai hal. Persaingan yang kurang sehat bisa terjadi dalam perekrutan mahasiswa baru, yang selalu tidak banyak. Sebab pendidikan teologi sering dipandang sebagai tidak mendatangkan manfaat ekonomis bagi lulusannya. Masuknya kampus luar negeri bisa mengancam PTKN dan Pendidikan Tinggi Kristes Swasta (PTKS) dalam berburu mahasiswa baru.

Pada pihak lain, kehadiran PTTLN akan membawa manfaat bagi PTKN dan PTKS di Indonesia. Lembaga Pendidikan Tinggi Teologi dalam negeri akan dipacu untuk berbenah diri dan berusaha menjadi Pendidikan Tinggi Teologi bertaraf Internasional. Dosen-dosen PTKN dan PTKS akan berusaha untuk bertahan di tengah gempuran dosen-dosen hebat dari luar negeri. Jika hal ini terjadi, maka kehadiran PTTLN akan membawa persaingan yang sehat bagi para dosen dan institusi di PTKN dan PTKS.

 

Radikalisme dan Kearifan Lokal

Manfaat lain hadirnya PTTLN adalah mencegah paham teologi atau ideologi radikal yang masuk secara sembunyi-sembunyi. Misalnya, ideologi radikalisme transnasional yang marak di Indonesia dan menciptakan terorisme selama ini telah datang dengan menyelinap dalam bentuk pendidikan-pendidikan informal (Syamsul Arifin & Hasnan Bachtiar, 2013). Dengan hadirnya PTTLN secara formal dalam pendidikan tinggi teologi maka paham-paham radikalisme dapat dideteksi dan dicegah dengan mudah, baik oleh masyarakat atau pemerintah.

Kerugian hadirnya PTTLN bagi lembaga pendidikan teologi Indonesia adalah tergerusnya teologi kontekstual yang sering bersanding dengan kearifan lokal yang ada. Sementara PTKN dan PTKS memakai kearifan lokal sebagai pertimbangan penting dalam setiap keputusan teologis, PTTLN justru tidak mengacu pada konteks lokal. Pada satu sisi, posisi teologis PTTLN akan menjadi universal dan bisa diterima dunia internasional. Sedang pada sisi lain, posisi teologis yang berakar pada kearifan lokal memiliki aplikasi yang tidak meluas namun akan bisa bertahan di tengah hantaman ideologi radikalisme.

 

Jejaring Relasi

Munculnya PTTLN di Indonesia akan menghubungkan lembaga pendidikan tinggi teologi  Indonesia dengan mitra luar negeri. Jelas kalau hal ini akan mendatangkan manfaat bagi mahasiswa Indonesia dan dosen dalam negeri. Pelajar dan dosen Indonesia dapat belajar atau magang di luar negeri karena jejaring relasi yang telah dipunyai lembaga mitra di luar negeri. Terciptanya hubungan kerja dan riset yang luas. Lebih penting lagi, jejaring ini akan menciptakan atmosfir kebersamaan dan kesetaraan.

Sementara manfaat karena jejaring relasi ini amat bernilai bagi PTTKN dan PTTKS, kerugian pun tidak terhindarkan. Salah satu efek nyata adalah PTTKN dan PTTKS yang tidak memacu diri untuk berkembang bersama secara global akan terisolasi dan tersingkir. Masalah serius muncul di kalangan PTTKS (mungkin juga PTTKN), bahwa berjejaring dengan PTTLN bukanlah sebatas pengetahuan saja, tetapi seringkali karena adanya perbedaan mazhab dan ajaran dalam teologi yang dianut. Sehingga, soal jejaring relasi antar institusi Teologi mengikutsertakan keyakinan. Keunikan keyakinan yang ada pada mazhab masing-masing karena tradisi tidak mudah dipertukarkan dengan hal-hal remeh. Sebab keyakinan telah menjadi identitas diri.

 

Kesimpulan         

Mengukur seberapa besar manfaat dan kerugian hadirnya PTTLN bukanlah soal suka dan tidak suka, atau besar dan kecil, tetapi menyangkut banyak aspek. Tiga aspek yang disebut yaitu persaingan sehat, radikalisme dan kearifan lokal, serta jejaring relasi adalah aspek langsung yang terlhat nyata. Tidak kalah penting, identitas diri yang terselubung dalam mazhab tertentu dapat menjadi standar yang menentukan terlepas dari seberapa besar manfaat yang mungkin didapatkan. Jadi, kehadiran PTTLN jelas membawa manfaat dan kerugian pada waktu yang sama.

 

Andreas Hauw, D.Th. adalah Wakil Ketua IV Sekolah Tinggi Teologi SAAT, dan anggota Dewan Pakar Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).