Gerakan Literasi, Apa Kabarmu Kini

Oleh: Muhammad Suharto*

Aug 23, 2023 - 16:39
Gerakan Literasi, Apa Kabarmu Kini

PERNAHKAH kita berpikir kenapa Tuhan memerintahkan kita untuk membaca? Tentunya karena begitu banyak kegunaan yang bisa diperoleh. Aktifitas membaca merupakan proses penalaran dan penghayatan terhadap informasi yang dibaca. Membaca akan membuka cakrawala ilmu dan juga peradaban.

 

Bangsa yang maju dan ‘beradab’ selalu dicerminkan oleh kecintaan masyarakat dalam aktifitas membaca dan menulis. Saat memikirkan hal ini lantas timbul satu pertanyaan menggelitik. Bagaimana dengan budaya membaca bangsa kita?

 

Sejarah literasi Indonesia kerap bercerita mengenai kitab-kitab karya para pujangga dan Empu tersohor karena kepandaian dan sifat bijaknya. Diantaranya adalah kitab Negarakartagama, Serat Kalatidha, Serat Centhini, dan berbagai karya hebat lainnya. Meskipun demikian, ada satu fakta menarik bahwa berbagai kitab karya para empu tersebut tidak atau jarang sekali dimaksudkan sebagai bahan bacaan. Kitab-kitab dan serat tersebut lebih banyak ditulis dan diajarkan dalam bentuk tembang atau nyayian.

 

Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya struktur bahasa dan kalimat yang harus sesuai dengan ritme dalam kaidah tembang (di Jawa dikenal sebagai Guru Wilangan dan Guru Lagu). Para sesepuh dan ketua adat melakukan transfer nilai dan kebudayaan melalui budaya tutur (lisan) seperti cerita, kidung, tembang, dan sebagainya.

 

Para sesepuh dan ketua adat lantas meneruskan ajaran moral dan etika kepada  masyarakat melalui cerita, dongeng, serta tutur dan nasehat langsung. Demikian pula para orangtua mengajarkan hal yang sama kepada anak-anaknya. Hal ini mencerminkan fakta bahwa proses penyebaran kebudayaan masyarakat Indonesia lebih banyak dilakukan melalui budaya lisan dibandingkan dengan budaya tulisan (budaya bacaan).

 

Sejatinya, negara kita sebagai negara yang strategis dengan sumber daya (alam dan manusia) memiliki potensi kuat untuk menjadi bangsa yang besar. Namun senyatanya, negara kita berada dalam posisi cukup sulit untuk dapat menyejajarkan diri dengan negara maju lain. Salah satu penyebabnya adalah kualitas pendidikan negara kita yang tertinggal dibanding negara lain.

Tentunya, rendahnya kualitas Pendidikan ini berhubungan erat dengan minat baca masyarakat yang juga rendah pula. Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, cuma 1 orang yang rajin membaca! Riset yang bertajuk World’s Most Literate Nations Ranked yang dilakukan oleh Central Connecticut State University menyebut bahwa Indonesia menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara dalam hal minat membaca. 

 

Angka ini tentnya sangat menggelisahkan. Apalagi kita terlanjur menganggap diri sebagai bangsa yang besar dan akan senantiasa seperti itu. Sekali lagi terbukti bahwa budaya tutur yang masih melekat kuat dalam masyarakat adalah salah satu penyebab yang paling dominan. Apalagi maraknya teknologi audio visual yang membuat masyarakat yang bertradisi lisan semakin malas untuk membaca.

 

Masyarakat kita lantas akan memilih cara menonton siaran berita di televisi daripada membaca berita di surat kabar atau di media on-line. Youtube menjadi pilihan favorit karena lebih banyak tayangan gambar dan video daripada narasi. Bahkan saat ini kita jumpai perpustakaan menjadi lebih mirip seperti gudang penyimpanan buku ketimbang sebuah tempat rekreasi pengetahuan yang menyenangkan.

 

Perlu ditambahkan bahwa faktor ekonomi memiliki peran meskipun peran sekunder. Masyarakat yang tergolong ekonomi lemah akan lebih mendahulukan membeli makanan pengenyang perut daripada membeli buku. Tak kurang, bahkan masyarakat golongan menengah atas juga banyak memilih membeli barang konsumtif lainnya daripada buku untuk dibaca.

 

Faktor lainnya adalah cara pengajaran di sekolah-sekolah kita yang cenderung rigid, kaku, monoton, linier, dan terlalu teacher centered. Kondisi ini mengakibatkan siswa tidak terdorong untuk memuaskan keingintahuannya lewat membaca. Mereka lebih senang dan merasa aman dengan sifat pasifnya. Selain itu, iklim komunikasi yang kurang demokratis di lembaga pendidikan atau keluarga erat kaitannya dengan rendahnya minat membaca dan menulis.

 

Minimnya minat membaca nyatanya berimbas pula pada minat menulis. Bagaimana bisa  seseorang menulis jika membaca saja enggan. Sutan Iwan Soekri Munaf menulis dalam esainya berjudul "Budaya Tutur & Budaya Tulis" bahwa sikap malas membaca dan menulis membuat seseorang cenderung hanya mendengar, menonton kemudian menuturkan. Inilah mengapa budaya gosip dan berita hoax berkembang pesat di kalangan masyarakat.

 

Untuk itu diperlukan upaya mengembangkan budaya menulis yang pada akhirnya akan menghasilkan pembaca yangcenderung mengedepankan pikiran kritis dalam menggapi berbagai issue yang terjadi. Menjadi terbiasa dengan pola ilmiah dan kemudian menyampaikan pendapatnya lewat tulisan yang actual dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

Lantas apa yang harus dilakukan? Penelitian menunjukkan bahwa cara paling baik untuk menumbuhkan minat baca dan tulis adalah dengan memulainya dari lingkungan keluarga. Diskusi bersama keluarga mengenai segala sesuatu yang ditulis akan merangsang pola pikir. Di sinilah peran keluarga (orangtua) untuk menanamkan minat membaca pada anak.

 

Otak dan daya pikir anak akan merekam isi bacaan apa pun yang disampaikan orangtua khusunya dalam gaya narasi cerita. Orang Jepang bahkan telah lama menerapkan apa yang disebut dengan “20 minutes Reading of Mother and Child”. Gerakan ini menganjurkan seorang ibu membacakan buku untuk anaknya selama 20 menit sebelum anak tidur.

 

Ada lagi faktor yang tak kalah penting. Yaitu peran pemerintah sebagai “decision maker”. Kita ketahui saat ini Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah tengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLN). Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya baca tulis siswa. Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa juga melakukan program literasi bagi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa berbasis pada kearifan lokal.

 

Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) sejak tahun 2017 juga telah menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja guru dalam pembelajaran baca dan tulis.

 

Pada akhirnya, keluarga, sekolah dan masyarakat menjadi pilar utama GLN dalam upaya menghimpun semua potensi dan memperluas keterlibatan publik. Selain itu, kerjasama antara pemerintah, dunia usaha, organisasi sosial, perguruan tinggi tentunya diharapkan mampu menjadikan gerakan literasi berhasil memberikan dampak positif dalam meningkatkan minat berliterasi masyarakat luas. (****)

 

*Penulis adalah Dosen Universitas Kyai Haji Abdul Chalim, Pacet, Mojokerto.

Tulisan ini disunting oleh Dr. Dewi Kencanawati, M.Pd, dosen Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Nusantara PGRI Kediri dan Ketua 5 Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)