Pendidik Hebat dan Kesaksian yang Melampauinya

Saya terkesan dengan tulisan dari Saudari Yuli Christiana Yoedo yang berjudul "Pendidik yang Hebat, Pendidik Utama" (nusadaily, Selasa, 25 April 2023). Istilah "terkesan" tentu perlu diamati dengan cermat, dan (bila perlu) tidak perlu merasa berbesar hati. Terkesan yang saya maksud adalah karena tulisan Yoedo dari awal hingga akhir, mengajak pembaca untuk (seolah-olah) berkomunikasi dan meminta tanggapan.

Apr 28, 2023 - 22:07
Pendidik Hebat dan Kesaksian yang Melampauinya
Ilustrasi Pendidik. (Foto: Istimewa)

Andri Fransiskus Gultom

 

Saya terkesan dengan tulisan dari Saudari Yuli Christiana Yoedo yang berjudul "Pendidik yang Hebat, Pendidik Utama" (nusadaily, Selasa, 25 April 2023). Istilah "terkesan" tentu perlu diamati dengan cermat, dan (bila perlu) tidak perlu merasa berbesar hati. Terkesan yang saya maksud adalah karena tulisan Yoedo dari awal hingga akhir, mengajak pembaca untuk (seolah-olah) berkomunikasi dan meminta tanggapan. Saya akan menanggapi tulisannya (yang kurang tertata saat proses suntingnya) dengan fokus untuk mendeteksi kesaksian atau pengakuan Yoedo tentang pendidik yang (diam-diam) diidealnya, namun justru ia terjebak dalam pemikiran dan kesaksiannya sendiri. Tulisan ini, sebelum lebih jauh dielaborasi, menegaskan bahwa sasarannya adalah pada alur pikiran bukan pada diri, tubuh, figur, ataupun kepribadian dari Yoedo.

 

Kerapuhan Kesaksian

Yoedo memulai tulisannya dengan empat pertanyaan yang cukup menyentak. Ia bertanya,

"Siapakah pendidik yang hebat menurut pembaca? Apakah dosen dengan gelar S3? Seorang profesor? Seorang guru ataukah dosen dengan pengalaman mengajar lebih dari 20 tahun?"

Pertanyaan di atas, bagi Yoedo, dijawab secara implisit dengan memberi kesaksian (entah itu sejauh pengalaman ataupun imajinasi) dari ketiga "informan" yaitu Bu Susi (tukang pijat), Pak Roy (profesor), Bu Ratna (sosialita). Hal ihwal pendidik yang hebat (dan utama), yang diidam-idamkannya jatuh pada Susi. Ia menulis dengan preferensi demikian,

"Jelas sekali bahwa Bu Susi adalah seorang pemecah masalah. Sebaliknya, Pak Roy adalah pembuat masalah. Begitu juga dengan Bu Ratna. Pak Roy dan Bu Ratna menciptakan masalah untuk anaknya.”

Persoalan pokok dari tulisan Yoedo adalah pendidik yang hebat (dan utama). Ia lalu berpihak pada Susi, melalui beragam kesaksian atau pengakuannya. Situasi ini terjadi karena ada kedekatan antara tukang pijat dan pelanggannya. Bu Susi, demikian tulisnya, meninggalkan rumah pukul 06.00 ... dan kembali ke rumah pukul 24.00. Intinya, Bu Susi bekerja keras membanting tulang demi kebutuhan dan kedekatan dengan ketiga anaknya. Namun, ada kesaksian rapuh dari Susi, yang belum disadari oleh pelanggannya.

Penjelasan ihwal tersebut, bisa dielaborasi, pertama, kerapuhan tersebut, oleh karena, Yoedo kurang memverifikasi dan mengkritisi kesaksian tukang pijatnya. Bagaimana Bu Susi bisa dekat dengan anaknya, padahal dia bekerja mulai jam 06.00-24.00?  Susi bekerja selama 18 jam, melampaui jam kerja ideal karyawan-karyawati baik di kantor ataupun di pabrik. Sulit dimengerti, bagaimana bisa ada kedekatan dengan anak, bila bekerja di luar rumah selama itu? Sisa waktu milik Susi untuk urusan res-privata hanya tinggal 6 jam, baik itu untuk tidur, makan, mandi, dan sebagainya, dan sebagainya. Berapa lama waktu yang ideal agar relasi anak dan ibu bisa mengalami kedekatan baik psikologis dan fisiologis, bila durasi waktunya hanya sedikit itu? Apalagi usia Susi sudah 50 tahun. Pertanyaan ini mungkin bisa dititipkan kepada Yoedo, bila Susi datang saat memijitnya di rumah.

Kerapuhan kedua yang dituliskan Yoedo adalah saat membanding-bandingkan Susi dengan suaminya Pak Roy, dan Bu Ratna. Upaya membanding-bandingkan tersebut didasarkan pada ketidakseukuran (incommensurability). Ketidakseukuran tersebut, karena adanya preferensi sedari awal pada kesaksian Susi, yang tidak ada verifikasi dan sikap kritis. Apa yang ada di balik logika preferensi (keberpihakan)? Bila telisikan dimulai dari kecurigaan, maka suaminya Susi, Roy, dan Ratna, juga memiliki peran bagi anak-anaknya. Peranan tersebut bukan hanya sebagaimana dituliskan oleh Yoedo secara polos.

Preferensi menjadi bisa keliru, pertama, bila subyek yang menggunakannya berada dalam ikatan batin dan emosional. Ada compassion, (rasa belas kasihan). Inilah yang menyelinap masuk dalam batin Yoedo, dan ia lupa mentransmisikan rasa-perasaan (yang dialaminya pasca kesaksian atau pengakuan Susi) tersebut ke akal untuk mencernanya (istilah "mencerna" yang saya maksud, seukur dengan "memverifikasi" atau "mengkritisi").  Penjelasan kedua ihwal preferensi bisa keliru, karena kedua pada preferensi, tepat pada alur gerak batin yang "terarah pada satu fokus, dan abai pada horizon yang lebih luas." Keluasan untuk memahami bahwa dalam diri yang dianggap jahat, justru menyimpan kebaikan. Yang diduga keras, justru bisa halus budinya. Paradoks!

Gerak paradoksal ini gagal diamati  oleh Yoedo, tatkala mengesampingkan bahwa ada peran dari "pesan yang tak terkatakan" dari kesaksian Susi tentang suaminya. (Untuk memahami detail gerak paradoksal ini, pembaca bisa membaca tulisan saya, di https://macapat.ub.ac.id/mencurigai-mitos-timur-dan-barat/). Suaminya Susi, misalnya, walaupun "suka keluar rumah sampai larut malam" (dan ini juga persis dilakukan Susi), ia bisa saja memiliki andil besar untuk mengurus ketiga anak dan keluarganya. Andil tersebut dimengerti dengan pertanyaan retoris, "adakah ayah yang memberikan batu kepada anaknya jika ia meminta roti? Atau memberinya ular jika ia meminta ikan?" Sejahat-jahatnya seorang ayah, hampir pasti, memiliki perasaan sayang, kasih, pada anak-anaknya. Peristiwa kebaikan ayah dari kesaksiannya (suami Susi) sendiri, belum diberi datum yang cukup oleh Yoedo.

 

Pendidik yang hebat?

Problem dasar tentang siapakah pendidik yang hebat, bisa dielaborasi tanpa perlu terjebak pada logika ad hominem. Uraian tentang pendidik yang hebat, tampaknya tidak melulu terjebak pada kepribadian seseorang. Pendidik yang hebat bisa saja lepas dari kepribadiannya. Hal ini bukan berarti bahwa figur keteladanan dari seorang pendidikan diabaikan begitu saja. Ini juga penting. Namun, poin saya, dalam tafsiran ihwal pendidik yang hebat, rujukan dasar Jean-Jacques Rosseau tentang bukunya yang berjudul “Émile, ou De l’éducation” terbit tahun 1762, perlu sedikit diulas.

Rosseau sepakat bahwa anak mesti bisa berpikir sendiri dan menentukan masa depannya. Hal ini bisa dipahami saat di awal bukunya, Émile, tertulis, “God makes all things good; man meddles with them and they become evil.” (Tuhan membuat segala sesuatu menjadi baik; manusia mencampurinya dan mereka menjadi jahat). Untuk itu, Rosseau menulis demikian,

"In the natural order men are all equal and their common calling is that of manhood, so that a well-educated man cannot fail to do well in that calling and those related to it. It matters little to me whether my pupil is intended for the army, the church, or the law.” (Rosseau, 2021, retrieved from https://www.gutenberg.org/files/5427/5427-h/5427-h.htm).

Rosseau, dalam kutipan di atas bermaksud untuk menjangkarkan pendidikan dalam tatanan alamiah. Dalam kealamiah tersebut, manusia memiliki kesetaraan dan mengarah menjadi dewasa. Dalam kesetaraan, maka tujuan pendidikan tidak lagi tertuju sekedar agar murid-murid menjadi diarahkan untuk tentara, gereja, atau hukum. Yang penting, bagi Rosseau, ada kesetaraan dalam pendidikan dan adanya jarak dengan masyarakat. Pendidikan baginya ingin agar situasi kebaikan tidak menjadi tercemar, dan tidak jahat, oleh ulah manusia, setelah berpisah dari Penciptanya. Untuk itu perlu kendali dan teknik pembelajaran.

Rosseau mengamati situasi zamannya, di abad ke-18, anak-anak diperlakukan sebagai miniatur orang dewasa. Akibatnya, sifat dan kebutuhan dasar mereka tidak terpenuhi, karena diperlakukan sebagai sekedar sebagai anak kecil dan diarahkan untuk bisa memprakkan ide yang sama seperti orang dewasa. Untuk itu, Rosseau ingin membebaskan anak dengan menjauhkannya dari masyarakat. Anak diidealkan memiliki situasi batin secara personal, pengalaman baru, dan pengetahuan yang muncul dari dirinya sendiri. Peran guru, di sini, mirip sebagai bidan, membantu agar anak bisa melahirkan pengetahuan dari pikirannya. Hal ini mirip dengan model pengajaran yang dilakukan Sokrates, yaitu maieutika tekhne (teknik kebidanan). Socrates memakai teknik tersebut untuk menolong orang-orang mengeluarkan apa yang ada dalam batin dan pikiran orang itu dengan cara berdialog.

Rosseau juga meyakini konsep dengan menulis, “kita mulai belajar ketika kita mulai hidup; Pendidikan kita dimulai dari diri kita sendiri, guru pertama kita adalah bidan kita.” Rosseau menyadari peran seorang guru, memfasilitasi pembelajaran anak untuk selalu ada membantu dalam setiap kesulitan dan mempersiapkan mereka untuk hidup, bukan mengajar dengan hapalan. Rosseau percaya bahwa sifat asli anak dapat dilestarikan dengan mengontrol pendidikan dan lingkingannya. Maka, ia mengusulkan anak diambil dari orangtuanya dan seolah, diisolasi dari masyarakat, dan dimasukkan ke dalam seoarng tutor, yang membawanya dalam kontrak dengan keajaiban dan keindahan alam (Rosseau, 2021, retrieved from https://www.gutenberg.org/files/5427/5427-h/5427-h.htm).

 

 

Melampaui Pemikiran

Apa kaitan pemikiran Rosseau dengan tulisan Yuli Christiana Yoedo? Pertama, hal ihwal pendidik yang hebat dan utama, tidak lantas terarah pada preferensi yang gampangan. Perlu adanya konsep yang didasarkan pada sejarah pemikiran, dan bila perlu ada upaya memverifikasi dan mengkritiknya. Dari sini, pendidik yang hebat (dan utama) bukan pada sosok, kerja keras, gelar, dan kedekatan (yang terepresentasi dalam Susi), tetapi posisi pendidik sebagai bidan. Pendidik, yang memancing agar anak (murid, peserta didik) bisa mandiri belajar, karena situasi alamiah adalah ketika mampu menjadi dirinya sendiri. Manusia dengan belajar menjadi pribadi in optima forma.

Poin kedua, tidak sedikit pembaca Emile, kecewa dengan Rosseau. Kekecewaan itu karena saat sepanjang hidup Rosseau, ia justru tidak melakukan ideal pendidikan yang dikonsepnya untuk diterapkan bagi anaknya. Ia malah tidak mengurus anak beserta pendidikannya. Namun, justru di sinilah kuncinya, bahwa saat menafsirkan gagasan telah tertulis permanen dalam buku dari seorang Rosseau, pembaca sebaiknya melampaui gagasan Rosseau, dengan tidak mengait-kaitkannya dengan kepribadiannya. Penulis beserta kepribadiannya, dalam konteks ini, dianggap telah tiada. Dalam hal ini, pendidikan ideal Rosseau penting dan baik, yang juga menjadi inspirasi bagi Maria Montessori, Johann Bernhard Basedow, dan Johann Heirinch Pestalozzi untuk membumikan gagasan pendidikan á la Rosseau melalui sekolah.

Pendidik yang hebat (dan utama) tidak lagi dikaitkan dengan tubuh, figur, ataupun kepribadian orang yang terlibat dalam dirinya. Dengan demikian, Bu Susi tidak lagi dijadikan preferensi tunggal untuk ideal dalam penemuan pendidik yang hebat (dan utama), melainkan suaminya, Pak Roy, dan Bu Ratna, melalui caranya sendiri, dan pada pada satu kesempatan waktu memberi kesaksian (dimana Yoedo abai untuk mencandranya) bisa jadi juga ikut memberi andil bagi pendidikan anak-anak.

 

Penulis adalah dosen Universitas PGRI Kanjuruhan Malang, dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).