Menelisik Musabab Susahnya RI Lepas dari Jerat Impor Bawang Putih

KSP mencatat lima provinsi dengan harga bawang putih tertinggi yakni Papua Barat Rp50 ribu per kg, Papua Rp50.400 per kg, Maluku Utara Rp51.250 per kg, Maluku Rp46.900 per kg, dan Sulawesi Barat (Rp41.350).

Mar 28, 2024 - 14:48
Menelisik Musabab Susahnya RI Lepas dari Jerat Impor Bawang Putih

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Alarm inflasi dapat berbunyi nyaring jika pemerintah tak mampu mengerem laju harga bawang putih.

Kantor Staf Presiden (KSP) mengklaim kenaikan harga bawang putih rawan memicu inflasi.

Deputi III Bidang Perekonomian KSP Edy Priyono menilai harga salah satu bahan bumbu dapur ini sedang tidak baik-baik saja.

Ia mengatakan harga bawang putih tembus Rp43.700 per kilogram (kg) pada 22 Maret 2024.

Menurutnya, angka itu jauh di atas rata-rata harga pada tahun lalu yang sebesar Rp38.200 per kg.

"Di beberapa provinsi bahkan tembus Rp50 ribu seperti di Papua Barat, Papua, dan Maluku Utara" katanya dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah, Senin (25/3).

KSP mencatat lima provinsi dengan harga bawang putih tertinggi yakni Papua Barat Rp50 ribu per kg, Papua Rp50.400 per kg, Maluku Utara Rp51.250 per kg, Maluku Rp46.900 per kg, dan Sulawesi Barat (Rp41.350).

Sementara lima provinsi dengan harga bawang putih terendah yakni Aceh Rp39.400 per kg, Sumatera Utara Rp39.550 per kg, Sumatera Barat Rp40.650 per kg, Riau Rp39.150 per kg, dan Kepulauan Riau Rp35.850 per kg.

Edy mengatakan tingginya harga bawang putih disebabkan kenaikan harga di China sebagai eksportir bawang putih.

Rata-rata harga bawang putih China tembus US$1,5 per kg atau Rp23 ribu per kg pada Maret tahun ini, naik dari US$1 per kg pada Maret 2023.

"Mau tidak mau akan berpengaruh ke harga bawang putih kita karena sebagian besar bawang putih kita merupakan impor khususnya dari China," katanya.

Maklum, bawang putih di Indonesia, disebut 90 persen berasal dari impor. Alih-alih produksi sendiri.

Mahalnya harga bawang putih pun mencuri perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Ia sampai menyoroti tingginya harga bawang putih yang tembus Rp60 ribu per kg di Sulawesi Tengah.

"Bawang merah Rp35 ribu, bawang putih memang yang agak mahal, bawang putih sampai Rp60 ribu (per kg)," kata Jokowi saat meninjau harga pangan di Pasar Salakan, Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah dalam video yang disiarkan kanal YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (26/3).

Sementara itu, berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional, rata-rata harga bawang putih berada di level Rp43.700 per kg pada Rabu (27/3). Angka ini turun tipis 0,11 persen atau Rp50 dibanding hari sebelumnya.

Lantas, mengapa harga bawang putih mahal dan Indonesia ketergantungan pada impor?

Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB sekaligus Associate Researcher CORE Dwi Andreas Santosa menilai ketergantungan RI terhadap impor bawang putih bukan 90 persen, melainkan 100 persen.

Menurutnya, ketergantungan itu terjadi karena disparitas harga impor dengan produksi petani di Indonesia terlampau jauh. Ia mencontohkan harga bawang putih impor di pelabuhan mencapai Rp18.400 per kg.

Sementara, biaya produksi bawang putih oleh petani berada di level Rp30 ribu per kg.

"Perbedaan harga yang relatif tinggi antara produksi dalam negeri dengan yang kita impor," ucapnya dilansir CNNIndonesia.com, Rabu (27/3).

Oleh karena itu, kata Andreas, jika pemerintah serius ingin swasembada bawang putih, maka harus bisa menyeimbangkan disparitas harga tersebut.

Selain itu, Andreas juga mengatakan Indonesia masih bergantung kepada impor karena konsep kebijakan yang diterapkan pemerintah tak tepat.

Ia mengatakan syarat importir menanam sebanyak 5 persen dari total impor itu sudah pasti gagal.

Andreas menilai para importir ini tak punya pengalaman dalam budidaya bawang putih.

"Konsep awalnya importir disuruh wajib tanam. Kok importir disuruh tanam, itu bagaimana logikanya? Dari sisi situ saja sudah tidak benar," kata dia.

Karena hal tersebut, para importir ini bekerja sama dengan petani. Di sisi lain, bawang putih tidak bisa ditanam sembarang.

Komoditas itu hanya bisa tumbuh di lahan yang berada di ketinggian di atas 800 meter di atas permukaan laut.

Di sisi lain, para petani juga peminatnya minim karena lebih memilih menanam produk hortikultura lain. Apalagi, biaya produksi bawang putih mahal.

"Bisa bayangkan tanaman di atas ketinggian itu (800 meter di atas permukaan laut), itu persaingannya luar biasa dengan hortikultura yang nilainya sangat tinggi," tutur Andreas.

Di satu sisi, Andreas mengatakan untuk mengendalikan harga bawang putih sebenarnya cukup mudah. Apalagi, bawang putih RI impor.

Ia berpendapat, pemerintah tinggal menerbitkan Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dan izin impor kepada importir secara berkesinambungan sesuai dengan kebutuhan.

"Kalau kita penuhi dari luar kan gampang. Kebutuhan harian, kebutuhan bulanan kan ada, tinggal penuhi saja dari impor," kata Andreas.

Memang, risiko dari impor ini adalah harga yang menyesuaikan kondisi internasional. Artinya, jika harga di negara asal eksportir sedang tinggi, maka harga di Tanah Air pun akan ikut melambung.

Kendati demikian, menurut Andreas lonjakan harga di level internasional tidak pernah berlangsung lama.

Sementara itu, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita menilai masalah bawang putih bukanlah hal baru.

Bahkan di 2019 lalu, ada anggota DPR yang tersandung kasus kuota impor bawang putih ini. Pasalnya, ada oknum-oknum yang memang menikmati situasi minimnya kapasitas produksi bawang putih nasional.

Secara kasat mata, katanya, bisnis bawang putih terlihat remeh. Padahal, bumbu dapur yang banyak terserak di los-los becek pasar tradisional tersebut merupakan bisnis yang sangat gurih jika dilihat secara detail.

Berdasarkan data yang Ronny kantongi, kebutuhan nasional bawang putih mencapai lebih dari 30 ribu ton per bulan. Dari jumlah itu, hanya 5 persen yang bisa dipenuhi petani lokal. Sisanya, 95 persen bawang putih harus diimpor setiap tahun.

"Jadi kondisi fundamental bawang putih yang memang sudah seperti itu atau boleh jadi memang sengaja dibiarkan seperti itu. Secara teoritik, mau tak mau memenuhi prasyarat untuk lahirnya kebijakan kuota impor," ucap Ronny.

Selama ini, untuk bawang putih, kuota impor diberikan kepada sejumlah perusahaan yang disaring oleh Kementerian Perdagangan (Kemendag), berdasarkan RIPH dari Kementerian Pertanian (Kementan).

Namun pada 2019 lalu, model seperti ini melahirkan kasus korupsi yang membawa Nyoman Dhamantra, mantan anggota DPR RI dari PDIP ke ruang tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Pun Ombudsman baru-baru ini juga mengatakan bahwa terdapat pungutan liar di dalam penerbitan RIPH bawang putih.

Oleh karena itu, Ronny berpendapat nasib komoditas kawang putih memang sangat naas.

"Sudah defisit produksi yang mengharuskan impor dari luar negeri, namun kondisi tersebut malah dimanfaatkan oleh oknum-oknum untuk menghasilkan uang haram," imbuhnya.

Soal lahan, Ronny menyebut tak ada riset yang mengatakan bahwa tanah di Indonesia tak cocok untuk bawang putih. Ia mencontohkan untuk bawang merah saja, lahan RI sangat cocok. Tentu untuk bawang putih juga tak jauh berbeda.

"Jadi hemat saya, selain minimnya intikad dan political will dari para pihak di dalam pemerintahan untuk mendorong swasembada bawang putih, berkemungkinan juga ada pihak-pihak yang membuat situasi menjadi seperti ini atas alasan kepentingan kuota impor, yang jumlah cuannya tidaklah sedikit," jelas Ronny.(han)