Mendengar Keluh-kesah Mahasiswa Trisakti Mengaku Diintimidasi, Tak Kritik Pemerintah

"Terlalu banyak ketidaknetralan pejabat dan aparat negara, termasuk penyalahgunaan fasilitas dan sumber daya negara lainnya hanya untuk kepentingan partisan Paslon tertentu," kata Insan.

Feb 10, 2024 - 05:06
Mendengar Keluh-kesah Mahasiswa Trisakti Mengaku Diintimidasi, Tak Kritik Pemerintah

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Trisakti mengaku mendapat intimidasi menjelang pembacaan 'Maklumat Trisakti Lawan Tirani' di Tugu Reformasi 12 Mei, Jakarta Barat, Jumat (9/2).

"Banyak hari ini pihak-pihak yang mengerti bahwa kami akan melakukan deklarasi, kami akan bacakan maklumat Trisakti melawan tirani baru, dan hari ini kami mendapat banyak sekali represifitas," ujar Presiden Mahasiswa Trisakti Vladima Insan Mardika di Kampus Trisakti, Grogol, Jakarta Barat.

Meski demikian, Insan mengaku pihaknya bersama para sivitas akademika Trisakti lainnya tidak akan takut dan tunduk.

Ia menuturkan salah satu bentuk tindakan represif itu adalah larangan mahasiswa masuk kampus hari ini yang bertepatan dengan cuti bersama. Padahal menurutnya hal itu tidak biasa terjadi.

"Itu suatu hal yang memalukan bagi kami, terutama bagi saya sendiri presiden mahasiswa yang tak bisa membawa mahasiswa masuk ke kampus," katanya.

Selain itu, ia mendengar wakil presiden mahasiswa Trisakti juga mendapat tekanan dari para mantan presiden mahasiswa sebelumnya untuk tidak melakukan orasi.

"Saya tak bisa sebutkan namanya. Tapi itu fakta," katanya.

Para civitas academica yang terdiri dari guru besar, pengajar, mahasiswa, karyawan dan alumni Universitas Trisakti yang memegang teguh nilai-nilai etik kebangsaan, demokrasi, dan hak asasi manusia, kekhawatiran atas matinya Reformasi dan lahirnya tirani sepakat mengeluarkan maklumat.

Pihaknya menentang berbagai pelanggaran etika kehidupan berbangsa yang diperlihatkan oleh penyelenggara negara, terutama oleh Mahkamah Konstitusi dan Presiden Jokowi.

Pelanggaran itu pun diikuti oleh jajaran pejabat istana, kementerian dan lembaga hingga penyelenggara Pemilu, KPU.

Civitas juga menolak personifikasi dan personalisasi kewajiban negara yakni bansos yang mestinya memang hak-hak rakyat untuk tujuan partisan elektoral.

"Bantuan sosial yang sejatinya merupakan hak-hak rakyat ternyata dimanipulasi sebagai hadiah atau pemberian pribadi seorang Joko Widodo dan pribadi-pribadi pejabat pendukung paslon tertentu," imbuh Insan.

Ia juga mengatakan para mahasiswa menolak pemberantasan korupsi yang bermotif dan bertujuan politik partisan.

Menurutnya, jika negara serius, maka penanganan korupsi tidak berhenti ketika pejabat yang diperiksa justru menjadi juru kampanye Paslon tertentu

"Ini merusak sendi-sendi hukum dan demokrasi," katanya.

Insan juga mengatakan para mahasiswa mengutuk segala cara-cara intimidatif maupun kekerasan negara terhadap ekspresi kritik dan protes.

Baik protes dari mahasiswa, para aktivis dan warga biasa yang bersuara kritis, termasuk pengkondisian politik ketakutan terhadap masyarakat luas dalam mengaktualisasikan hak pilihnya pada hari pemungutan suara.

Menurutnya, Pemilu 2024 menjadi pemilu pertama yang tidak fair, tidak bebas, dan tidak demokratis semenjak masa reformasi.

"Terlalu banyak ketidaknetralan pejabat dan aparat negara, termasuk penyalahgunaan fasilitas dan sumber daya negara lainnya hanya untuk kepentingan partisan Paslon tertentu," kata Insan.

Tak ketinggalan, para mahasiswa pun mendukung suara gerakan keprihatinan guru besar beserta civitas academica dari berbagai universitas, lembaga, dan sekolah tinggi atas kemunduran demokrasi saat ini. Pihaknya juga mendukung seruan untuk kembali ke jalan demokrasi yang benar.

"Sebagai penutup, kami mendesak Presiden dan seluruh penyelenggara negara untuk kembali ke jalur Reformasi 1998: menegakkan supremasi hukum dan HAM, memberantas KKN, mengadili kroni-kroni Soeharto, menjaga otonomi daerah, mencabut dwifungsi ABRI, dan membatasi kekuasaan melalui UUD 1945," pungkas Insan.(han)