Kurikulum yang Mencerdaskan: Refleksi di Tahun Pemilu

Sebentar lagi akan diadakan pesta demokrasi rakyat, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Insya Allah pesta rakyat akan dilakukan pada Rabu 14 Februari 2024. Seiring dengan pergantian presiden biasanya menteri pendidikan juga akan berganti. Pergantian ini akan berdampak pada kurikulum yang diberlakukan pemerintah di beberapa tingkatan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi negeri (PT).

Jan 2, 2024 - 06:24
Kurikulum yang Mencerdaskan: Refleksi di Tahun Pemilu
Dr. Abdul Muqid

Dr. Abdul Muqid

Dosen Politeknik Negeri Malang

Pengurus Perkumpulan Ilmuan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI)

 

Sebentar lagi akan diadakan pesta demokrasi rakyat, yaitu pemilihan presiden dan wakil presiden Republik Indonesia. Insya Allah pesta rakyat akan dilakukan pada Rabu 14 Februari 2024. Seiring dengan pergantian presiden biasanya menteri pendidikan juga akan berganti. Pergantian ini akan berdampak pada kurikulum yang diberlakukan pemerintah di beberapa tingkatan mulai dari Taman Kanak-Kanak (TK) sampai dengan perguruan tinggi negeri (PT).

Seperti apakah kurikulum yang tepat bagai kebutuhan pendidikan di Indonesia? Tulisan ini akan membahas tentang kurikulum yang penulis anggap cocok untuk diimplementasikan di dunia pendidikan di Indonesia.

Kurikulum yang hebat merupakan kurikulum yang bersumber dari nilai budaya lokal (local wisdom) yang diamanatkan oleh para pendahulu yang menjadi peletak dasar pendidikan kita. Sebaliknya, kurikulum apapun yang diberlakukan, tidak akan menjadi “keren” atau tepat dan cocok bagi bangsa Indonesia, apabila bersumber dari orang luar negeri karena tidak sesuai karakter budaya Indonesia. Paradigma seperti ini perlu diaplikasikan sebagai konsep penyusunan Kurikulum baru.

Kurikulum yang pernah diberlakukan di Indonesia, setelah kemerdekaan Republik Indonesia, terdiri dari 10 jenis. Sejarah kurikulum Indonesia telah mengalami perjalanan panjang adanya perubahan kurikulum mulai tahun 1947, 1952, 1964, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006,  dan 2013. Yang terbaru adalah Kurikulum Merdeka yang disebut kurikulum mandiri. Perubahan-perubahan ini merupakan akibat logis dari  perubahan sistem politik, sosial budaya, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi di Negara Indonesia.

Untuk memilih dan menentukan kurikulum, perlu landasan kependidikan yang jelas dan kokoh. Menurut Prof Made Pidarta (2001) Indonesia belum memiliki landasan kependidikan yang kokoh karena setiap menteri ganti, kurikulumnya juga diganti. Selanjutnya, menurut beliau, kependidikan kita dan kurikulmnya belum beasas kepada ke-Indonesiaan. Berbeda dengan Pidarta, Beey (1966) menyebutkan tiga hal yang mempengaruhi pengembangan kurikulum. (1) Kurikulum wajib mencakup keterampilan dan pengetahuan minimal. Pencapaiannya harus diukur dengan teknik “pengendalian kualitas”. (2) Potensi peserta didik yang dikembangkan dalam kurikulum; dan (3) Kurikulum kejuruan yang mencakup keterampilan dan pengetahuan unik. Jadi hal yang harus diperhatikan dalam merancang  kurikulum adalah latar belakang sejarah pada saat kurikulum diciptakan, kebutuhan. Perkembangan IPTEK, dan kompetensi peserta didik. Dengan begitu, penyusunan kurikulum tidak hanya harus baik dan menarik dari segi konsep, tetapi juga solusi dari segi implementasinya. Hal ini juga menjadi pertimbangan  strategi yang dinamis dan proporsional, dimana diperlukan kurikulum yang mampu memenuhi kebutuhan peserta didik (Student Needs), kebutuhan masyarakat lokal (Community Needs), dan kebutuhan masyarakat global (Global society Needs). Setelah persyaratan telah dipenuhi berdasarkan kebutuhan  yang paling mendesak dan sejalan dengan tujuan nasional, langkah selanjutnya adalah menerapkan kurikulum.

Selanjutnya, kurikulum apa yang paling efektif? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu berpikir untuk menjawabnya secara akademis. Seperti diketahui, kurikulum ini dinilai berhasil dan relevan setelah diterapkan selama lima tahun. Selanjutnya, kurikulum dievaluasi. Apakah sudah sesuai dan responsif terhadap perkembangan dan tuntutan zaman? Setelah itu,  tinggal menambahkan inovasi pada tingkat konsep dan penerapannya. Sebaliknya jika kurikulum  belum disesuaikan maka perlu dilakukan penyempurnaan, termasuk penambahan topik dan atau perubahan materi yang  sesuai dengan kebutuhan zaman.

 

Kurikulum yang Mencerdaskan

Ketika kita berprofesi sebagai pendidik dan pengajar, tujuan kita sebenarnya mempersiapkan peserta didik menjadi sukses. Untuk mencapainya, peserta didik wajib memiliki pemikiran yang cerdas (bright/smart). Kenapa demikian, karena orang sukses pasti smart, sebaliknya orang yang pintar umunya tidak smart/bright. Tujuan tersebut umumnya tersurat dalam kurikulum. Oleh sebab itulah, perlu adanya kurikulum yang cerdas dan mencerdaskan.

Kurikulum cerdas dapat dilihat sebagai paradigma baru kurikulum ketika hasil pendidikan yang dicapai berpengaruh dan berkontribusi positif terhadap bangsa.

Paradigma baru mengatakan bahwa pendidikan bukanlah sarana untuk menjadikan peserta didik menjadi  pintar (clever), tetapi sarana untuk menjadikan mereka cerdas (smart/bright). Orang pintar selalu  bergantung pada orang lain, tapi orang cerdas selalu mandiri. Orang yang pintar tidak akan siap menghadapi fenomena perubahan dan langkunagn yang baru. Mereka akan kesulitan dan menganggap dirinya tidak bisa berkompetetif intelektual dan skill. Sebaliknya orang cerdas mampu beradaptasi dengan setiap perubahan, fenomena yang sedang dan akan berlangsung. Orang cerdas tidak akan mengalami kesulitan karena dia fleksibel dengan memiliki jati diri, kompetensi dan konfidensi yang sangat tinggi di atas rata-rata.

Karakteristik pelajar yang cerdas menurut Muqit (2023) adalah memiliki jiwa dinamis dan progresif, nenyerahkan dan bergantung kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, memiliki semangat berubah dengan value yang baik. Selain itu juga harus memiliki tujuan hidup yang jelas dan diliterasikan dalam bentuk notes.  Di samping itu, harus memiliki jiwa yang optimistik dalam menghadapi persaingan global dan memiliki jiwa bahwa tidak ada rivalitas dalam mencapai sukses. Memiliki sikap kolektivitas dan persistensi yang baik, yaitu fokus dalam mencapai tujuan, dan mempunyai jiwa entrepreneurship yang kokoh.

Apabila kita berbicara tentang bagaimana sistem pendidikan di tanah air, implementasinya masih merupakan warisan dari sistem pendidikan colonial. Dampaknya, karakter materialistis sekuler menjadi yang utama. Hal ini tampak dari hilangnya nilai-nilai transendental dalam semua proses pendidikan. Secara kelembagaan, sekularisasi pendidikan telah menciptakan dikotomi pendidikan yang sudah berlangsung puluhan tahun. Pendidikan agama melalui madrasah, lembaga keagamaan, dan pesantren diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Adapun pendidikan umum melalui  sekolah dasar, sekolah menengah, kejuruan, dan universitas diselenggarakan oleh Kemendikbudristek. Masih jarang ditemukanm para pembelajaran memiliki idealis untuk memajukan pendidikan yang berkarakter Indonesia.

Kurukulum yang mencerdaskan menurut John Tollefson (1999) bisa diamati melalui wacana yang dituangkan dalam bukunya berjudul Education Policy and Policy of Education. Konsep ini menjelaskan bahwa kebijakan penddidikan yang progresif dan maju dapat dilihat dari tujuan pendidikan. Sebagai contoh, apabila tujuan pembelajarannya adalah untuk mengetahui, maka yang terlihat bahwa kurikulum yang sedang diberlakukan tidak mencerdaskan. Namun, bila tujuan kurikulum adalah untuk mengusai adalah betul-betul mencerdaskan. Menurutnya, penggunaan kata mengetahui memiliki psychological effect gaji para guru, instruktur, dosen, amat sangat kecil alias di bawah Rp. 5000.000,00. Sebaliknya, penggunaan kata menguasai memiliki psychological effect gaji guru, instruktur,, dosen dan pendidiknya minimal Rp 12.000.000,00. Dampak positifnya, para guru, dosen, instruktur dan pendidik akan mendidik para muridnya dengan ceria, senyum, sabar dengan presisi kompetensi yang tinggi dan memiliki elitabilitas yang mumpuni. Apabila perancang kurikulum beralih kepada kurikulum yang mencerdaskan, diperlukan para penentu kebijakan progresif, prospektif dan fuuturistik.

Disunting oleh Dr. Umi Salamah, M.Pd, Dosen PPG Universitas Insan Budi Utomo Malang, Pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI).