KPI Mendesak Prabowo Hapuskan Hukuman Mati di Indonesia

"Saya enggak mau urusan-urusan, sorry Pak Prabowo nanti akan menjadi presiden selanjutnya, dia banyak campaign soal menolak hukuman mati. Itu enggak boleh digunakan hanya untuk populis, supaya kelihatan, 'Oh sesuai'," tutur Mike Verawati dalam Diskusi Publik di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/6).

Jul 1, 2024 - 06:27
KPI Mendesak Prabowo Hapuskan Hukuman Mati di Indonesia

NUSADAILY.COM – JAKARTA - Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) mendesak presiden terpilih 2024-2029 Prabowo Subianto menghapus hukuman mati di Indonesia.

Sekretaris Jenderal KPI Mike Verawati mengapresiasi aksi Prabowo yang menyelamatkan pekerja migran Indonesia dari hukuman mati di Malaysia pada 2015 lalu. Ia adalah Wilfrida Soik, yang kisahnya selalu diceritakan Prabowo di sejumlah forum, termasuk debat calon presiden 2024.

"Saya enggak mau urusan-urusan, sorry Pak Prabowo nanti akan menjadi presiden selanjutnya, dia banyak campaign soal menolak hukuman mati. Itu enggak boleh digunakan hanya untuk populis, supaya kelihatan, 'Oh sesuai'," tutur Mike Verawati dalam Diskusi Publik di Tebet, Jakarta Selatan, Minggu (30/6).

"Kita juga harus tuntut bagaimana dia (Prabowo) bisa mengartikulasi atau menurunkan itu dalam hal komitmen. Menuju ke negara yang abolisionis," tegasnya.

Hal serupa disuarakan oleh Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra. Ardi menegaskan pemerintahan setelah Joko Widodo harus melakukan moratorium hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana.

Terlebih, Ardi mencatat hukuman mati paling banyak terjadi di bawah tampuk kepemimpinan Presiden Joko Widodo, yakni menembus 517 kasus sejak 2014. Rinciannya, pada periode pertama Jokowi ada 221 hukuman mati dan 296 vonis di periode keduanya hingga Juni 2024.

"Tahun 2024 ini saja, dari Januari-Juni sudah terdapat 33 vonis mati yang dijatuhkan. Kalau kita kalkulasi secara rata-rata, vonis mati di masa pemerintahan Joko Widodo itu dilakukan rata-rata 57 vonis setiap tahun," jelasnya.

"Angka ini meningkat sebanyak 338 persen dibandingkan dengan 4 presiden sebelumnya, dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, Presiden Megawati, dan Presiden SBY. Sebelumnya, hanya 13 vonis (mati) per tahun," imbuh Ardi.

Imparsial mendesak agar hukuman mati tak dijadikan sebagai kebijakan politik yang populis. Ardi kemudian menantang komitmen Prabowo.

Ardi mencontohkan saat Prabowo bolak-balik Indonesia dan Malaysia demi membebaskan Wilfrida dari hukuman mati di Negeri Jiran. Ia menuntut apa yang dilakukan ketua umum Partai Gerindra itu bukan hanya sekadar mejeng.

"Kalau memang (Prabowo) punya perspektif atau paradigma yang lurus terhadap hak asasi manusia (HAM), khususnya hukuman mati, pemerintahan ke depan itu wajib moratorium tentang hukuman mati. Jangan enggak jelas gini statusnya kalau memang komitmen," tuntut Ardi.

"Jika paradigma pemerintah masih sangat pro terhadap hukuman mati, bahkan dalam waktu dekat pemerintah melakukan eksekusi, vonis yang terus dilakukan sangat tinggi, dan sedikit-sedikit sangat mudah menjatuhkan hukuman mati, itu tentu akan sangat menghambat upaya kita dan pemerintah melakukan lobi, advokasi, atau menggalang dukungan internasional untuk menyelamatkan WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri," tandasnya.

Sikap pemerintah yang masih menjatuhkan hukuman mati atas kejahatan di tanah air dianggap sebuah anomali. Pasalnya, Indonesia juga seakan-akan berjuang menyelamatkan nyawa tenaga kerjanya di luar negeri yang terancam vonis mati.

Teranyar, Kementerian Luar Negeri mengungkapkan ada 165 WNI yang terancam hukuman mati di luar negeri. Ini merupakan data termutakhir per Mei 2024.

Direktur Perlindungan WNI Kemenlu Judha Nugraha mengatakan paling banyak terancam vonis mati di Negeri Jiran. Rinciannya, 155 orang di Malaysia, 1 orang di Vietnam, serta masing-masing 3 orang di Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Laos.

Pengacara Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Maruf Bajammal menegaskan sikap Indonesia bertentangan dengan upaya lobi-lobi di luar. Pada akhirnya, ini hanya akan mempersulit pembebasan 165 WNI yang terancam hukuman mati.

"Karena kita pada faktanya masih retensionis (mendukung hukuman mati), sikap dari Kementerian Luar Negeri bagi saya anomali jadinya," ucap Maruf.

"Jadi, aneh, di dalam negeri pemerintah masih mempertahankan hukuman mati, tapi di luar negeri masih berupaya sedemikian rupa untuk terlihat bahwa kita harus melindungi WNI," tutupnya.(han)