Kesadaran Diskursif dalam Wawasan Kebangsaan

Separuh dari tulisan ini mungkin tidak akan langsung berhubungan dengan judul tulisan diatas. Bagian awal tulisan ini akan menggambarkan cuplikan-cuplikan pengalaman saya yang nantinya akan membawa pada pembahasan yang berkaitan dengan judul.

Kesadaran Diskursif dalam Wawasan Kebangsaan
Ilustrasi (Foto: medianesia)

Oleh: Siti Asmiyah*

Separuh dari tulisan ini mungkin tidak akan langsung berhubungan dengan judul tulisan diatas. Bagian awal tulisan ini akan menggambarkan cuplikan-cuplikan pengalaman saya yang nantinya akan membawa pada pembahasan yang berkaitan dengan judul.

Tak apalah; setiap orang memiliki gaya menulis berbeda-beda. Dan saya memang suka menulis dengan gaya bercerita. Beberapa hari terakhir group-group WA ramai dengan diskusi apakah tanggal 23 Januari 2023 libur. Beberapa orang memeriksa kalender mereka dan menginformasikan tidak ada tanda yang mengindikasikan libur pada tanggal tersebut. Saya kemudian mencari informasi dan ternyata memang telah ada edaran tentang cuti bersama pada 23 Januari 2023. Ketetapan ini tertuang pada SKB No. 1006/2022, No. 3/2022 , dan No. 3/2022 yang ditandatangani pada 11 Oktober 2022 oleh Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB). Rupanya 23 Januari 2023 adalah cuti bersama untuk Hari Raya Imlek.

Meskipun saya berdarah Jawa, namun Imlek memiliki tempat tersendiri di hati saya. Bukan karena saya mengikuti penanggalannya. Bukan pula karena keluarga saya selalu senang melihat barongsai dan berusaha tidak melewatkan pertunjukan barongsai di pusat-pusat perbelanjaan saat Imlek. Namun lebih karena saya memiliki pengalaman berinteraksi dengan keturunan China dan banyak kesan mendalam yang saya peroleh.

Saat kecil, ada seorang kakek China yang sering sekali menawarkan dagangan ke rumah mbah Kung (kakek) saya. Saya tidak ingat namanya. Ada banyak ragam dibawanya mulai dari pakaian hingga jajanan. Ada satu dagangan beliau yang saya jadikan acuan bahwa tahun baru akan segera tiba, kalender. Jika kakek China ini sudah membawa kalender, tandanya tahun akan segera berganti. Setiap Kakek China datang, selalu ada obrolan panjang dengan mbah Kung saya. Entah apa yang meraka bicarakan tapi selalu ada gelak tawa dari keduanya.

Ada juga seorang China yang biasa saya panggil Phoo. Beliau punya toko kelontong di pusat kecamatan. Mbah Kung biasanya menyuruh saya mengayuh sepeda ke toko Pak Phoo ini untuk membeli benang, kancing dan resleting untuk jahitan. Mbah Kung tidak mau saya membeli di toko lain karena barang di Pak Phoo ini yang paling baik. Pak Phoo ini selalu melayani pembeli dengan senyum dan bahasa Jawa halus, meskipun dengan saya yang anak kecil waktu itu. Saya sering diberinya permen rasa jeruk; biar tidak haus di jalan, katanya.

Saat saya SMP, ada seorang kawan China yang selalu membonceng saya saat pulang sekolah. Dengan sepeda jengkinya yang berwarna biru, Erna, kawan saya tersebut, mengantar saya ke halte setiap hari. Kasihan, kalau jalan nanti kamu kesorean bisa gak dapat colt, katanya. Saat SMA saya punya teman karib, Betty namanya, juga seorang China. Saya sering diajarinya Bahasa Inggris dan dibelikan bakso. Ada juga Robby, yang sering memphotocopykan buku atau LKS. Bayar keri-keri ae lek wis duwe dhuwit (bayar nanti-nanti saja kalau sudah punya uang), katanya. Bapaknya punya toko dan usaha photocopy. Robbylah yang menjadi tumpuan kami satu kelas jika ada banyak materi yang harus digandakan.

Ketika saya kuliah di Malang, kebetulan saya tidak punya teman China. Tapi ketika S2, salah satu tetangga saya adalah orang China asli secara kewarganegaraan. Kami biasa memanggilnya Aunty Min. Beliapun sangat baik, sering memberi kami masakan dan menghadiahi anak-anak dengan mainan. Saat S3, saya punya kawan China. Beliau orangnya sangat egaliter dan banyak mengajarkan saya tentang logika dalam menjalani hidup. Saya juga beruntung berkenalan dengan kakak tingkat seorang China. Kami menjadi dekat dan akrab karena sering bersama menjalani proses menuju ujian tertutup dan terbuka. Banyak pelajaran yang saya ambil dari obrolan kami. Satu pesan yang selalu saya ingat,’bersukacitalah selalu dan kita akan bahagia.’

Cerita saya tentang kawan-kawan China ini tentu bukan sebuah kebetulan saja saya sampaikan. Dengan momen libur Imlek, saya seolah dibawa kepada sebuah kesadaran bahwa sebagai manusia, warna kulit dan ras tidaklah menjadi sebuah poin penting.

Dalam kehidupan bermasyarakat, nilai-nilai kemanusiaan jauh lebih penting dari ras dan warna kulit. Menurut Drees (2021), kemanusiaan merupakan sebuah upaya untuk memahami dan menilai pemahaman kita tentang diri kita, orang lain dan kondisi sosial budaya yang kita ciptakan bersama. Hal ini berkaitan dengan upaya-upaya untuk mengetahui pola-pola tertentu dan pola-pola umum dalam interaksi sosial, sensitifitas bahasa dan juga situasi. Secara keseluruhan, pengetahuan ini akan membawa kita pada pemahaman tentang orang lain. Dengan demikian kita akan dapat memberikan penafsiran yang tepat atas ucapan maupun perilaku orang lain.

Untuk dapat mengetahui, memahami dan menafsirkan ucapan maupun perilaku orang lain yang membentuk pola-pola dalam interaksi dan struktur sosial, kita memerlukan sebuah kesadaran diskursif. Menurut Giddens (1984), kesadaran diskursif merupakan kemampuan seseorang untuk menyampaikan pengetahuannya secara verbal. Hal ini berkaitan dengan kemampuan untuk merefleksi, membangun pengetahuan secara kontekstual, membentuk kebiasaan dan perilaku yang kemudian menjadi sebuah struktur sosial. Dari cerita saya berinteraksi dengan keturunan China semenjak saya kecil, saya dapat merefleksi bahwa setiap orang baik, apapun latar belakangnya. Pengalaman ini juga membangun pengetahuan saya bahwa dalam interaksi sosial, kita harus saling menghargai dan membantu.

Dalam kerangka kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, kesadaran diskursif memegang peranan penting dalam membentuk struktur sosial sebagaimana yang diamanatkan oleh Pancasila sebagai falsafah bangsa dan UUD 1945. Dengan kesadaran diskursif, setiap warga bangsa akan menyadari kemajemukan dari negeri dimana dia tinggal dan berpijak. Bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku bangsa dan adat istiadat yang berbeda. Termasuk dari bagian bangsa Indonesia adalah mereka yang kebetulan lahir sebagai keturunan China. Bahkan beberapa diantara pahlawan nasional adalah keturunan China. Sebut saja Laksamana Muda TNI (Purn) John Lie Theng Tjoan yang merupakan perwira angkatan laut pada masa pendudukan Jepang. Selain itu ada juga Lie Eng Hok, seorang wartawan sering menjadi kurir surat-surat rahasia pada masa perjuangan. Masih ada sederet nama-nama keturunan China yang berjuang untuk memperoleh dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.

Dengan kesadaran diskursif, warga negara dan warga bangsa Indonesia akan memahami bahwa kemajemukan yang ada bukanlah sebuah perbedaan yang harus dipertentangkan. Akan tetapi, justru kemajemukan ini merupakah sebuah kekayaan yang harus diikat dengan wawasan kebangsaan. Dengan wawasan kebangsaan, setiap warga bangsa akan memiliki cara pandang tentang Indonesia secara utuh. Indonesia merupakan sebuah sebuah wilayah yang memiliki keragaman dalam banyak hal namun setiap warga bangsa tetap mengutamakan kesatuan untuk mencapai cita-cita nasional.

Bangsa Indonesia harus mampu mewujudkan suatu negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Keragaman bangsa Indonesia tidak hanya terletak pada kondisi geografisnya, namun juga sejarah, sosial budaya, ekonomi dan politik. Dengan keragaman ini, setiap warga bangsa tanpa terkecuali, apapun latar belakang suku, agama, ras harus memiliki kesadaran akan diskursus keragaman bangsanya. Dan setiap warga bangsa harus mengupayakan kesatuan dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa. Termasuk didalamnya adalah kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan keamanan. Dengan kesadaran diskursif, kita akan memiliki falsafah kehidupan berbangsa dan mampu untuk memandang diri sendiri dan orang lain sebagai sebuah kesatuan yang membentuk bangsa dan negara Indonesia (Suhady dan Sinaga, 2006).

Dan hal ini akan terbentuk kesadaran diskursif; setiap kita menyadari dan mampu menghargai bahwa, ya…saya Jawa dan saudara China, tapi kita sama-sama minum dan makan dari kekayaan wilayah Indonesia. Kita berbeda tapi kita memiliki cinta yang sama, cinta kepada bumi nusantara dimana kita berpijak. Selamat merayakan Imlek. Terima kasih, karena Imlek saya ikut dapat menikmati hari libur Senin besok.(***)

*Penulis adalah dosen Pendidikan Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, UIN Sunan Ampel Surabaya dan Koordinator Bidang Kerjasama Internasional PISHI. Disunting oleh Dr. Aries Purwanto, M.Pd. dosen IAI Al Khoziny Sidoarjo, dan Pengurus PISHI