Estetika Religius Antara Puisi dan Prosa Fiksi

May 8, 2023 - 18:30
Estetika Religius Antara Puisi dan Prosa Fiksi
Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh: Gatot Sarmidi

 

  Karya sastra merupakan  wujud representasi dunia estetis berlambang kebahasaan. Secara estetis,  karya sastra tidak hanya memberikan informasi tentang berbagai macam kehidupan. Tetapi dalam masyarakat,  karya sastra juga  memiliki hubungan erat dengan religius dan sekaligus sebagai suara pengarang dalam mengekspresikan keyakinannya. Hal itu menjadi jawaban atas keterkaitan antara sastra dan agama,  kepercayaan,  spiritual,  mistisime, kerohanian, dan religiusitas, sebagaiana faktanya muncul dalam puisi, cerpen, novel, dan drama secara beragam.

Estetika religiusitas hadir dalam beberapa karya sastra Indonesia. Beberapa pujangga dan pengarang  menyampaikan pesan agama dalam teks sastra tanpa meninggalkan estetika. Religiusitas dalam sastra telah menjadi bagian dari perbincangan sosiologi sastra. Bermula dari perbincangan terbatas kemudian muncul usaha-usaha dalam kajian dan kritik sastra untuk merumuskan beberapa konsep tentang sastra religius.

Berangkat dari kajian-kajian sosiologi sastra, sastra hadir sebagai refleksi dari keterkaitan berbagai gejala sosial dan situasi hidup. Sepanjang sejarah kesusastraan Indonesia kenyataan tersebut bisa diperhatikan pada karya-karya yang bernafaskan keagamaan.  Tinjauan yang beragam terlihat dalam berbagai fokus masalah yang ditinjau, misalnya terlihat pada religiusitas pada citra tokoh yang dihadirkan dalam teks prosa fiksi sebagai pengikatan diri pada Tuhan sebagai sumber ketentraman dan kebahagiaan. Contoh lain beberapa tinjauan sastra sufistik, sastra yang berdimensi dan tranformasi religiusitas. Tinjauan itu berlanjut hingga sampai sekarang. Estetika sastra religius memiliki  kecenderungan mengangkat sastra yang sebagian besar berangkat dari agama.

Di tahun 2010,  Bandung Mawardi  memuat esai tentang religiusitas sastra.  Judul yang ditawarkan adalah Risalah Religiusitas: Penghiburan dan Pengharapan. Bandung  membuka tulisannya dari karya dan kredo Remy Silado, dengan estetika religiusitas.  Pada dasarnya, Tuhan adalah muasal keindahan dan kepada-Nya pula tujuan keindahan diarahkan.  Puisi hadir menjadi karya yang bermanfaat sebagai penghiburan dan harapan antara kini dan esok. Dari pernyataan itu, puisi hadir untuk mengajak pembaca dalam merefleksi etika religius dalam merevisi penyadaran etika religius.

Dalam konteks pembelajaran sastra, karya sastra berperan penting dalam mengajarkan nilai-nilai religius.  Karya sastra dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran yang menekankan pada nilai-nilai ajaran agama dan norma-norma yang bersumber dari agama. Tentunya, nilai-nilai religius  yang direpresentasikan dalam teks sastra ditulis oleh penulis karya sastra. Pernyataan tersebut selaras dengan yang diungkapkan oleh Y.B. Mangunwijaya (1988) dalam menghadirkan tulisannya berjudul Sastra dan Religiusitas. Juga  dalam penelitian Transformasi Nilai-Nilai Ajaran Islam dalam Karya Sastra oleh Mohammad Anwar Syi’aruddin yang mengatakan bahwa setiap karya sastra yang berkualitas selalu berjiwa religius. Pendapat tersebut semakin memperkuat bahwa karya sastra di dalamnya terkandung nilai, agama, dan norma. Sementara itu, Emha Ainun Nadjib  mengartikan religiusitas sebagai rasa rindu, rasa ingin berada bersama sesuatu yang abstrak, yaitu sesuatu yang berada di luar penguasaan ruang pikiran, rasa, dan hati.

Estetika religiusitas tidak hanya hadir akhir-akhir ini. Dalam karya puisi  Indonesia yang terbit  sebelum kemerdekaan juga ada. Contohnya,   bisa diperhatikan pada karya Amir Hamzah. Dalam kancah kesusastraan Indonesia, contoh mengenai estetika religiusitas cukup banyak. Dalam karya (novel) yang terbit pada masa sebelum perang, misalnya, di antaranya Hamzah Fansuri (Syair perahu), Bukhari al-Jauhari (Taj al-Salatin), Syamsudin Sumatrani (Jawhar al-Haqa’ig, Syarah Sya’ir Ikan Tongkol, dan Thariq al-Salikin), Nuruddin al-Raniri (Bustan al-Salati, dan Shiratul Mustaqim), Berikutnya Suara Azan dan Lonceng Gereja (1938), Melalui Jalan Raya Dunia (1938), dan Bermandi Cahaya Bulan (1937) karya A Hasjmy atau Tuan Direktur (1939) dan Merantau ke Deli (1941), Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, dan Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka, memang terasa ada nuansa religius, tetapi karya-karya itu tidak mengungkapkan kadar penghayatan keberagamaan yang intens.

 Begitu juga pada karya-karya sesudahnya misalnya karya sastra yang terbit di tahun 1960-an, 1970-an,  1980-an dan  sampai sekarang.  Estetika religiusitas di tahun 1960-an hadir dalam novel Perjalanan ke Akherat (1963) karya Djamil Suherman, Hati Nurani Manusia (1965) karya Idrus.   

Di tahun 1970-an, estetika religius menjadi  fenomena menarik ketika berhadapan dengan karya-karya prosa Kuntowijoyo, misalnya pada  novel Khotbah di Atas Bukit (1976) Novel Khotbah di Atas Bukit terasa sangat religius, tetapi karena novel ini lebih surealis akibatnya dimensi religiusitasnya terasa lemah. Contoh lain, novel Tuyet (1978) karya Bur Rasuanto, Pergolakan (1974) karya Wildan Yatim, Telegram (1972) karya Putu Wijaya, Sebagai cerpenis, Danarto telah banyak mempublikasikan karyanya, antara lain kumpulan cerpen Godlob (1976) yang memuat delapan cerpen, yaitu Godlob, Gambar Jantung Ditusuk Panah atau lebih dikenal sebagai Rintrik, Sandiwara Atas Sandiwara, Kecubung Pengasihan, Armageddon, Nostalgia, Asmaradana, dan Labirin.

Di tahun 1980-an, estetika religius dapat diperhatkan kembali pada Titis Basino (Dari Lembah ke Cholibah),  Odah dan Cerita Lainnya (1986) karya Mohammad Diponegoro, dan Orang-Orang Bloomington (1980) karya Budi Darma, Burung-Burung Manyar (1981) karya Mangunwijaya, Sedangkan kumpulan cerpen Danarto  Adam Ma'rifat (1982) memuat enam cerpen, yakni Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring Malaikat, Adam Ma'rifat, Megatruh, Not Lagu disertai kata Ngung-Ngung, Cak-Cak, Lahirnya Sebuah Kota Suci, dan Bedoyo Robot Membelot.

Di tahun 1990-an, estetika religius dapat diperhatikan pada cerpen-cerpen Kuntowijoyo dalam antologi Dilarang Mencintai Bunga-Bunga (1992). Beberapa cerpen dalam Gergasi (1993) karya Danarto, dan  untuk mengetahui ekspresi religius dalam sastra, berikut ini dipaparkan ilustrasi singkat tentang karya sastra yang bernafaskan religius. Beberapa contoh novel yang memuat makna religiusitas pasca reformasi, di antaranya  novel Bidadari Bermata Bening yang diterbitkan pada tahun 2017. Berikut adalah nama-nama sastrawan yang menjadi penggiat kelahiran religiusitas dalam karya sastra yang cukup terkenal beserta karyanya, antara lain pada novel Ayat-Ayat Cinta, Di Atas Sajadah Cinta, Ketika Cinta Berbuah Surga, Ketika Cinta Bertasbih, dan Dalam Mihrab Cinta karya Habiburrahman El Shirazy . Selanjutnya Asma Nadia menghadirkan karya bernuansa religius di antaranya pada Emak Ingin Naik Haji, Assalamualaikum Beijing, dan Surga yang Tak Dirindukan. Helvy Tiana Rosa  tidak kalah penting menghadirkan estetika religius Islami dalam karyanya Ketika Mas Gagah Pergi, Jejak-Jejak Mas Gagah 2, dan Ketika Mas Gaga Pergi dan Kembali, dan Ahmad Fuadi  menghadairkan karya novel dan sebagian juga telah difilmisasikan, antara lain Negeri 5 Menara, Anak Rantau, Rantau 3 Warna, dan Rantau 1 Muara.

      Walaupun puisi-puisi religius semacam karya-karya  M. H. Ainun Najib, misalnya Cahaya Maha Cahaya (2004),  kumpulan puisi Tadarus  karya K.H. Ahmad Mustafa Bisri, Kumpulan Puisi Rekah Lembah (2017)  karya Mudji Sutrisno. Tulisan ini lebih banyak membahas religiusitas dalam teks prosa fiksi. Sebagaimana dibicarakan sepintas, teks prosa religius memberikan energi positif untuk meraih impian religiusitas. Pada dimensi praktis, dimensi religiusitas terlihat pada perilaku pemujaan, ketaatan seseorang yang menunjukkan komitmen terhadap agama yang dianutnya. Hal ini berkaitan dengan ekspresi kesastraan dan praktek-praktek keagamaan baik pada aspek ritual maupun aspek ketaatan. Begitu juga dengan pengalaman religius berisikan dan memperhatikan aspek estetis dan etis yang ada dalam aktivitas budaya dan refleksinya dalam teks sastra.

Dalam sastra berestetika religius mengimplikasikan tentang adanya kekuatan adikodrati manusia seperti kepercayaan,  beragama yang menyangkutpautkan pada sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial dan hal itu berkaitan dengan pengalaman manusia baik sebagai individu maupun sebagai kelompok sosial,  nilai religius yang dianut menunjukkan beberapa hal yang menyangkut pada dimensi kepercayaan,  yakni berisi pengharapan-pengharapan bahwa pandangan religiusitas seseorang berkaitan dengan pandangan teologis rasa percayanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Contoh uraian tentang religusitas dalam teks sastra dapat diamati dalam kajian  terhadap roman Di Bawah Lindungan Kabah karya Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA). Roman ini  termasuk salah satu karya sastra yang bersifat religius. Roman ini berbeda dengan roman adat yang lain, karena pengarangnya membawa pelakunya ke Mekah dekat Kabah. Begitu juga roman ini yang mengisahkan kasih tak sampai antara Hamid dan Zaenab karena terhalang oleh adat. Hamid dan Zainab berpisah lama dan keduanya menemui ajal di Mekkah dekat Kabah. Meskipun mereka tidak dapat mewujudkan cita-cita hidup bersama, tetapi mereka menemukan kebahagiaan yang abadi. Hal seperti ini dalam religius Islam merupakan sesuatu yang ideal walaupun keduanya tidak dapat bersatu, bahkan akhirnya meninggal.

Dari beberapa contoh karya sastra Indonesia yang disebutkan dalam tulisan ini, religiusitas sastra pada dasarnya memiliki keterkaitan antara nuansa keagamaan dengan sastra. Sejalan dengan banyaknya karya sastra yang memuat nilai-nilai agama. Sastra dengan agama saling berkaitan. Ketika membicarakan sastra dengan agama, maka adanya keterkaitan antara pengaruh agama dengan penulisnya. Permasalahan-permasalahan yang direfleksikan dalam karya sastra tidak lepas dari nilai-nilai dan norma-norma dari sumber ajaran agama yang dianutnya. Ciri-ciri karya sastra yang berkaitan dengan agama, isinya berhubungan dengan agama dan yang paling penting adalah penulisnya ahli dalam beragama.

Gatot Sarmidi adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia  FBS Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan Anggota PISHI bidang Sastra. Tulisan ini disunting oleh Sulistyani, dosen Universitas Nusantara PGRI Kediri dan anggota PISHI.