Ayo Belajar Menulis!

Banyak siswa menyatakan bahwa tidak berbakat menulis. Oleh sebab itu, ketika mendapat tugas menulis selalu mengeluh tidak mampu.

May 12, 2023 - 19:07
Ayo Belajar Menulis!
Ilustrasi menulis (Sumber:writingcooperative.com)

Oleh: Dr. Rahutami, M.Hum.

Banyak siswa menyatakan bahwa tidak berbakat menulis. Oleh sebab itu, ketika mendapat tugas menulis selalu mengeluh tidak mampu. Hal tersebut juga dibenarkan oleh gurunya. Gurunya juga belum pernah menghasilkan karya tulis yang dikerjakan dengan senang hati. Ketika guru menjalani pendidikan di perguruan tinggi, mereka menganggap menulis adalah tugas yang paling sulit. Para mahasiswa selalu mengeluhkan perihal skripsinya.

Bukan hanya siswa SD, SMP, SMK, mahasiswa atau para guru, melainkan para dosen pun mengeluhkan perihal masalah menulis. Muncul pertanyaan dalam benak kita: Mengapa demikian?

Beberapa masalah dapat kita runut dari budaya kita. Beberapa pakar menyatakan bahwa kita tidak memiliki budaya menulis. Menurut saya ada benarnya pendapat tersebut. Budaya lisan lebih terpelihara, walaupun tidak semuanya demikian. Budaya tulis berupa karya-karya luhur yang tertulis dalam lontar atau buku-buku lebih sulit ditemui daripada karya-karya lisan, misal wayang.

Begitu pula dengan kesenian-kesenian yang tersimpan dalam bentuk tulis lebih jarang ditemukan. Pembacaan kitab-kitab lama juga jarang dilakukan secara terbuka. Mungkin dilaksanakan pada komunitas-komunitas terbatas. Dongeng-dongeng lebih banyak diceritakan dari mulut ke telinga. Dengan demikian, wajarlah apabila cerita-cerita yang luhur nilainya tersebut tidak sampai pada anak-anak bangsa yang masih muda.

Generasi muda, baik milenial atau generasi Z, lebih memilih cerita-cerita yang berkembang dan banyak ditemukan dalam internet. Mereka mendapat cerita-cerita anime, kpop, atau cerita-cerita “seram” dari berbagai pemberitaan di berbagai media massa. Sulit sekali menemukan dongeng-dongeng yang bernilai ke-Indonesiaan. Anak-anak sekarang lebih familiar dengan joget-joget, lagu-lagu di tik tok daripada mencari cerita dongeng.  

Untuk itu, diperlukan revitalisasi nilai budaya melalui berbagai sumber, termasuk di internet. Guru-guru perlu menugaskan agar siswanya menelusuri cerita-cerita ke-Indonesiaan. Penesuran tersebut dapat membangkitkan keingintahuan siswa dengan budaya Inddonesia yang mereka miliki. Guru perlu membangkitkan motivasi tersebut melalui kegiatan membaca cerita atau dongeng di internet atau buku-buku. Setelah membaca, mereka diminta untuk menuangkan pendapatnya dalam bentuk lisan atau tulis. Secara berangsur-angsur siswa akan memahami dan merasakan cerita dan dongeng yang bernilai luhur.

Hal tersebut perlu didukung oleh keikutsertaan orang tua dalam membina putra-putrinya. Orang tua seharusnya mengajak anak-anaknya untuk mencintai cerita atau dongeng berbasis budaya Indonesia. Salah satunya adalah mengajak anak untuk menemukan keindahan dongeng-dongeng nusantara. Orang tua juga perlu mengajak untuk mendiskusikan kebermanfaatan dongeng dikaitkan dengan perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

Masalah berikutnya adalah kesenjangan guru dan siswa dan orang tua dengan anak. Kesenjangan hubungan tersebut mengakibatkan siswa anak kurang mendapat dukungan dari guru dan orang tua. Apalagi bila terjadi pembulian di lingkungannya. Dukungan guru dan orang tua akan membantu memperkuat sisi mental siswa/anak. Prestasi mereka dihargai dan kegagalan mereka mendapatkan empati.

Pada saat ini, diskusi orang tua dan anak saat ini semakin berkurang. Orang tua sibuk dengan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan. Sementara anak-anak sudah sibuk dengan gagdetnya masing-masing. Kesenjangan ini pada akhirnya akan menimbulkan berbagai masalah. Misal, semakin lebarnya kesenjangan orang tua dan anak; kewibawaan orang tua melemah di hadapan anak-anak; ketidaksukaan untuk belajar; atau anak-anak mengalami kesepian. Mereka merasa panutan mereka adalah tokoh-tokoh yang terdapat di media sosial.

Untuk itu, kiranya kita perlu mengembalikan situasi sosial kejiwaan anak dengan lingkungan kekeluargaan yang nyaman. Meskipun tidak mudah, perlu diupayakan. Keluarga perlu menyisihkan waktu untuk melakukan aktivitas bersama. Tidak harus ke luar kota. Untuk meningkatkan kualitas hubungan keluarga sekaligus meningkatkan kualitas berpikir, dapat dilakukan dengan rekreasi ke toko buku. Anak-anak dapat melihat berbagai wacana yang sesuai dengan jiwa anak. Bagi anak-anak yang kurang menyukai membaca dapat mulai melihat buku-buku yang mungkin disukainya. Orang tua perlu mengenalkan buku-buku yang mungkin belum pernah diketahui. Dengan berbagai komentar positif orang tua diharapkan anak dapat mulai mengenal buku.

Apabila anak-anak mulai meningkat keingintahuannya, orang tua dapat mendorong anak-anak untuk menyampaikan pandangannya, baik secara lisan maupun tulis. Pada umumnya, orang tua hanya menuntut anak-anaknya mengerjakan tugas yang diberikan oleh sekolah. Pemenuhan tugas dianggap orang tua telah cukup. Semua tugas pengembangan kognitif diserahkan sepenuhnya pada guru. Padahal anak-anak perlu juga mendapat motivasi dari orang tuanya. Penguatan orang tua sangat bermakna bagi anak-anak.

Kondisi mental siswa/anak yang mendapat dukungan dapat meningkatkan kepercayaan dirinya untuk mengembangkan kemampuan menulisnya. Dengan memperbanyak bacaan dan diskusi dapat membuat siswa/anak menjadi berkembang kosakatanya. Kekayaan kosakata membantu siswa/anak untuk mengekspresikan gagasan dan pandangannya. Kegiatan mengekspresikan perlu dilakukan secara intensif. Bukan hanya sekali atau dua kali. 

Pemenuhan kebutuhan berliterasi yang seimbang di rumah dan sekolah sangat membantu siswa menentukan dirinya di lingkungannya. Kekayaan literasinya dapat menempatkan anak pada posisi pusat di lingkungannya. Misal, anak yang kaya kosakata akan menempatkan dirinya sebagai pusat informasi bagi temannya. Kekayaan literasi juga memberikan banyak wawasan tentang sikap-sikap yang perlu dilakukan ketika dia berada di lingkungannya.

Jadi, sebagai pembina generasi muda, kita perlu membiasakan dan melatih anak-anak untuk menulis. Keterampilan menulis merupakan keterampilan yang mengaktifkan keterampilan berbahasa lainnya, yakni menyimak, berbicara, dan membaca. Ketika melatih keterampilan menulis, harus dilatihkan pula keterampilan menyimak untuk mendapatkan berbagai informasi yang menjadi ide untuk menulis. Selanjutnya, keterampilan menulis juga mensyaratkan pemenuhan keterampilan berbicara. Keterampilan berbicara menjadi media penggalian informasi dan pengayaan berbagai informasi antara lain trik menulis. Selanjutnya, penulis juga perlu mengaktifkan keterampilan membaca. Keterampilan membaca mendukung berbagai keperluan kegiatan menulis.(***)

Dr. Rahutami, M.Hum. adalah dosen Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas PGRI Kanjuruhan Malang dan pengurus Perkumpulan Ilmuwan Sosial Humaniora Indonesia (PISHI). Tulisan ini disunting oleh Dr. Indayani, M.Pd.,  Prodi PBI, FISH, Universitas PGRI Adi Buana Surabaya dan pengurus PISHI.