Diskusi Publik, Pakar Hukum Pidana Sebut Persidangan Kasus Tragedi Kanjuruhan Aneh

Akademisi Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Fachrizal Afandi S. Psi. SH.MH dalam paparannya mengatakan, secara formal pengadilan saat menyidangkan kasus tragedi Kanjuruhan sudah benar, karena sudah ada terdakwa. Akan tetapi jika ditelurusi lebih dalam lagi penegakan hukumnya hanya sebagai formalitas, mirip yang dialami Novel Baswedan atas penyiraman air keras yang mengenai matanya. Pada saat itu Novel tidak yakin yang menyiramnya itu jadi terdakwa

Sep 26, 2023 - 19:06
Diskusi Publik, Pakar Hukum Pidana Sebut Persidangan Kasus Tragedi Kanjuruhan Aneh
Akademisi Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Fachrizal Afandi S. Psi. SH.MH (Batik) saat memberikan memberikan Paparannya di acara diskusi publik Peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan, Gas Air Mata Bukan Solusi Atasi Aksi/Huru-Hara Warga' yang berlangsung di hotel Akmani Jakarta Pusat Senin (25/9/2023). Foto : Sirhan Sahri

NUSADAILY.COM - JAKARTA - Jelang satu tahun tragedi Kanjuruhan yang menewaskan orang, sejumlah lembaga bantuan hukum, LBH Pos Malang, LPBH NU, Persada UB, ICJR  TAT4K dan Aliansi Masyarkat Sipil untuk reformasi kepolisian menggelar diskusi publik. Acara itu bertemakan 'Peringatan satu tahun tragedi Kanjuruhan, Gas Air Mata Bukan Solusi Atasi Aksi/Huru-Hara Warga' berlangsung di hotel Akmani Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).

 

Diskusi tersebut dihadiri pemateri, seperti Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Susilaningtias, Akademisi Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Fachrizal Afandi S. Psi. SH.MH, Novel Baswedan mantan anggota KPK dan Kepolisian, Komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak, Diyah Puspitasari dan Ketua tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan Malang. Ada juga perwakilan keluarga  korban yang datang langsung dari Malang,  Jawa Timur.

 

Akademisi Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Fachrizal Afandi S. Psi. SH.MH dalam paparannya mengatakan, secara formal pengadilan saat menyidangkan kasus tragedi Kanjuruhan sudah benar, karena sudah ada terdakwa. Akan tetapi jika ditelurusi lebih dalam lagi penegakan hukumnya hanya sebagai formalitas, mirip yang dialami Novel Baswedan atas penyiraman air keras yang mengenai matanya. Pada saat itu Novel tidak yakin yang menyiramnya itu jadi terdakwa.

 

"Lha ini di Kanjuruhan, jujur saja juga sama, tersangka tiga orang kemudian jadi terdakwa dan selanjutnya ada yang terpidana dan ada yang bebas tapi akhirnya dianulir hingga ditahan lagi. Tidak satupun dari mereka yang di lapangan ikut nembak, bahkan penembaknya masih bebas berkeliaran, ini juga aneh," urai Fachrizal.

 

Menurutnya, kasus tersebut memakai pasal kelalaian itu artinya yang lalai itu penembak. Bagaimana mungkin penerima perintah itu lalai pasti ada dugaan disengaja. Selain itu Fachrizal juga menganggap dalam persidangan para terdakwa kasus tragedi Kanjuruhan itu sangat kacau dan terjadi masalah. Sebab di hukum pidana sumber untuk menelusuri kejahatan atau tidak itu dari  laporan salah satunya dari laporan yang kemudian dikenal interprestasi aturan kepolisian.

 

" Yang kemudian ada laporan model A dan B. Ini agak aneh, hukum acara pidana kedua model tersebut. La model A itu yang melaporkan itu polisi sendiri menangkap polisi sendiri, kemudian kalau laporan model B itu yang dilaporkan masyarakat yang melihat, mendengar dan mengalami sendiri," kata Fachrizal.

 

Dalam konteksnya kasus Kanjuruhan, Fachrizal menilai kalau yang dipakai bukan model B, melainkan model A. Jadi yang melaporkan kejadian di Kanjuruhan itu berdasarkan penyidik. Dari situ sudah terlihat aneh, apalagi soal ini belum dibicarakan tentang sidang, pastinya sidang akan lucu lagi.

 

"Kenapa saya bilang lucu. Terdakwanya Polisi, eh penasehatnya hukumnya juga Polisi  sidang hukum Polda Jawa Timur  dan bagaimana mungkin bisa obyektif, koq gak sekalian saja sama hakimnya polisi,"  ujarnya.

 

Ia juga menyebut ada 80 saksi yang dihadirkan dalam persidangan kasus tragedi Kanjuruhan tersebut. Bahkan anehnya dari jumlah itu 60 saksi merupakan anggota polisi, sehingga jalannya sidang bukan seperti sidang pidana melainkan mirip sidang kode etik.

 

"Saksinya yang polisi itu lebih takut dari kuasa hukum daripada takut ke Jaksa itu yang lucu. Itu terlihat dari pertanyaan -pertanyaan yang diberikan oleh kuasa hukum polisi yang salah. Nah ini kan jadi aneh," ungkap Fachrizal yang selalu mengikuti langsung persidangan kasus Kanjuruhan itu.

 

Sementara itu, Novel Baswedan mengungkapkan rasa keprihatinannya yang dalam terhadap keluarga korban tragedi Kanjuruhan. Pasalnya ia juga pernah merasakan luka yang mendalam seperti yang dirasakan oleh keluarga korban. Terutama dalam proses persidangan yang membuatnya bingung dan merasa aneh.

 

"Saya saja yang sudah belajar hukum dalam sidang itu merasa bingung, kacau dan tidak masuk akal," kata Novel.

 

Menurutnya hal inilah yang harus didorong jangan sampai kemudian perbuatan-perbuatan serupa berani dilakukan. Karena pelaku-pelaku kejahatan berlindung disuatu lembaga. " Dia berbuat dan mendapatkan  perlindungan dan ini harus diperhatikan," kata Novel.

 

Mantan penyidik KPK ini juga mengaku sejak awal kejadian di Kanjuruhan mengikuti. Bahkan diberbagai podcast juga ikut membahasa kejadian yang menewaskan 135 suporter itu. "Harapannya kita ingin publik bisa paham, kita tentunya sangat khawatir perbuatan -perbuatan seserius itu, apalagi dampaknya menelan korban hingga 135 orang," ujarnya.

 

Di tempat yang sama keluarga korban meminta kepada panelis  yang hadir termasuk lembaga perlindungan anak agar ikut mendampingi ke Mabes Polri untuk membuat laporan kembali. Mendapat permintaan tersebut komisioner Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) Diyah Puspitasari dengan tegas menyanggupi permintaan tersebut.

 

" Rabu 27 September 2023 kami akan dampingi Ibu/ Bapak ke Mabes Polri untuk membuat laporan," tegasnya.

 

Seperti diketahui, kasus Tragedi Kanjuruhan yang terjadi pada 1 Oktober 2022 silam telah memakan korban 135 orang meninggal dunia. Tragedi tersebut diduga dipicu akibat gas air mata yang ditembakkan ke tribun oleh petugas keamanan lantaran, para suporter turun ke lapangan usai Arema FC dikalahkan Persebaya.

 

Banyak keluarga korban yang menuntut  keadilan dalam tragedi yang memilukan itu. Pasalnya para tersangka yang diadili tidak mencerminkan keadilan bagi keluarga korban. Terlebih hanya ada tiga tersangka yang telah di vonis, , bahkan salah satu tersangka sempat di vonis bebas. Namun akhirnya setelah dilakukan banding sang tersangka yang telah diputus bebas itu kembali menjalani hukuman.

 

Bagi keluarga korban keputusan itu tidak mewakili keadilan yang mereka harapkan. Oleh sebab itu pada Rabu (27/9/2023) keluarga korban yang didampingi tim advokasinya dan sejumlah lembaga akan melaporkan kembali kasus tragedi Kanjuruhan ke Mabes Polri. (sir/wan)