Cerita Orang Minang Banyak Punya Nama Bule

Bila kita perhatikan, banyak orang Minang mempunyai nama 'bule' dan kebarat-baratan. Ternyata, ada alasan di balik fenomena itu. Begini kisahnya.

Aug 13, 2023 - 22:46
Cerita Orang Minang Banyak Punya Nama Bule

NUSADAILY.COM – JAKARTA – Dari nama, kita bisa mengetahui asal-usul seseorang. Nama Suryadi, Poniman, dan Sugiyem hampir bisa dipastikan berasal dari suku Jawa.

Sedangkan orang dengan nama akhir Simanjuntak, Panjaitan, Situmorang, sudah pasti dari suku Batak atau keturunannya.

Sementara nama Abdul, Akhmad, Muhammad, Saniman yang lebih ke Arab-araban, itu lebih banyak nama dari suku Madura Jawa Timur.

Lalu, bagaimana dengan nama seperti Charles, Faldo Maldini, Philips J. Vermonte, Jefri Nichol, Jeffrie Geovanie, Vidi Aldiano dan Maikel Jefriando?

Bila kita perhatikan, banyak orang Minang mempunyai nama 'bule' dan kebarat-baratan. Ternyata, ada alasan di balik fenomena itu. Bagaimana kisahnya?

Faktanya mereka semua adalah orang Indonesia. Mereka berasal dari satu suku yang sama, yakni Minangkabau atau orang-orang dari Sumatera Barat.

Mungkin tidak sedikit dari kita heran kenapa orang Minang yang kental dengan adat istiadat dan nuansa Islam, malah menggunakan nama layaknya orang Barat dari generasi ke generasi.

Apabila mendengar nama tanpa menyaksikan fisik orangnya, Anda mungkin berpikir bahwa mereka adalah orang Barat atau bule. Padahal kenyataannya tidak.

Nama Kebarat-baratan

Alasan sebenarnya yang belum banyak orang tahu bahwa pemilihan nama itu terjadi sebagai buntut permasalahan kultural imbas kejadian Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Cerita bermula ketika Ahmad Husein mendeklarasikan pemerintahan tandingan bernama PRRI pada 15 Februari 1958 di Kota Padang. Deklarasi tersebut didasari oleh ketidakpuasan para pejabat militer dan sipil terhadap pemerintah pusat.

Mereka menuntut otonomi daerah karena merasa pemerintah pusat cuek terhadap Sumatera Barat yang sudah berjasa bagi bangsa dan negara.

Pemerintahan tandingan ini dibarengi pula oleh pembentukan kabinet. Nama-nama terkenal seperti Syafruddin Prawiranegara, Assaat, dan Soemitro Djojohadikoesoemo tercatat masuk dalam kabinet tersebut.

Syafruddin didaulat menjadi Perdana Menteri. Lalu, dua nama terakhir duduk sebagai menteri.

Meski terkandung pesan protes, pemerintah pusat menyikapi PRRI secara agresif dan serius.

PRRI dianggap sebagai gerakan pemisahan diri dari Indonesia, sehingga harus diselesaikan secara keras.

Dari sini, kita mengetahui bahwa Jakarta secara resmi melakukan serangkaian operasi milter.

PPRI dan militannya ditumpas sampai kalah dan operasi militer pun berakhir.

Namun, berakhirnya aksi militer bukan berarti masalah selesai begitu saja. Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat Tahun 1950-an (2007, hlm xix & 241) menyebut sejak kejadian itu Sumatera Barat digambarkan oleh pemerintah pusat sebagai provinsi yang arogan dan pemberontak.

Akibatnya, pemerintah pusat menaruh perhatian berlebihan kepada kawasan itu dengan cara Jawanisasi: mengirim banyak militer dan pejabat sipil dari Jawa ke Tanah Minang.

Awal mula pergeseran nama orang Minang

Asnan menuturkan, masuknya gelombang militer ke Tanah Minang berujung pada sikap represif dan militeristik yang mendorong warga Sumatera Barat menyesuaikan pola yang diterapkan militer dan pemerintahan pusat.

Dampaknya, terjadi perubahan besar yang bertolakbelakang dengan Sumatera Barat sebelum PRRI.

Perubahan besar ini, tulis Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi : Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926-1998 (2008, hlm. 394), membuat semangat dan identitas masyarakat Sumatera Barat hilang.

Banyak orang yang meninggalkan daerah dan merasa malu mengakui identitas Minang mereka. Alasannya karena ada beban sejarah berat berupa PRRI yang terus dipikul oleh warga Minang.

Atas dasar inilah, mereka berupaya berganti identitas termasuk di penamaan, supaya bisa bertahan dan menyesuaikan hidup baru.

Dalam wawancara kepada media lokal Lentera Timur, Gusti Asnan menyebut perubahan identitas itu termasuk menjawa-jawakan diri.

Jika sebelumnya nama orang Minang kental dengan nuansa adat dan Islam seperti Sri Maharaja, maka setelah tahun 1960 tidak lagi demikian.

Mereka mulai mengadopsi nama-nama Jawa, termasuk mengambil nama orang Barat dan daerah lain saat menuliskan identitas baru.

Namun, orang Minang tidak benar-benar mengadopsi secara utuh. Mereka juga melakukan kreasi atas nama sehingga terdengar lebih kreatif.

Bisa melakukan penyesuaian ketika mengadopsi nama Barat. Seperti "Michael" yang diubah menjadi "Maikel" sesuai pelafalan orang.

Mereka juga pandai membuat singkatan seperti contoh pada nama politisi keturunan Minang, Faldo Maldini. Faldo dalam laman pribadi Facebook-nya pernah cerita bahwa namanya merupakan akronim dari "Final Piala Dunia di Roma Malam Dini Hari".

Penulisan nama ini disebabkan karena Faldo Maldini memang lahir pada tanggal 9 Juli 1990, saat berlangsung pertandingan final piala dunia 1990 antara Jerman Barat Vs Argentina di Roma, Italia.

Menurut Asnan, pergantian identitas ini memang sebagai bentuk pembaharuan diri. Namun, pembaharuan diri itu tetap tidak berarti memutuskan tali persaudaraan dan kekeluargaan terhadap Tanah Minang.

Meski dipantik oleh PRRI yang sebenarnya sudah berlangsung puluhan tahun lalu, penulisan nama orang Minang seperti Bule ataupun daerah lain terus berlangsung lintas generasi hingga kini.(han)