Bulog Salahkan Orang Eropa Ikut Makan Nasi Sehingga Beras Jadi Mahal

"Yang tadinya gak beli beras, orang Eropa ikut borong beras, misalnya dari Thailand dan Vietnam. Ini menarik, di sana juga Eropa borong," sambungnya.

Mar 3, 2024 - 05:49
Bulog Salahkan Orang Eropa Ikut Makan Nasi Sehingga Beras Jadi Mahal

NUSADAILY.COM.ID – JAKARTA - Perum Bulog 'menyalahkan' orang Eropa yang mulai ikut makan nasi di balik lonjakan harga beras global.

Direktur Bisnis Bulog Febby Novita mengatakan orang Eropa yang biasanya makan gandum kini mulai memakan nasi. Mereka juga memborong beras dari Vietnam dan Thailand.

"Sekarang saja (orang) Eropa jadi makan beras (nasi). Aneh juga, biasanya dengan gandum," dalih Febby soal harga beras mahal saat ditemui di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Rabu (28/2)

"Yang tadinya gak beli beras, orang Eropa ikut borong beras, misalnya dari Thailand dan Vietnam. Ini menarik, di sana juga Eropa borong," sambungnya.

Ia menyebut tingginya harga beras dunia juga dipicu El Nino yang menganggu produktivitas lahan pertanian dan kondisi geoplitik global.

Menurutnya, harga beras yang mahal tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di belahan dunia lain. Apalagi, India selaku eksportir terbesar beras juga membatasi ekspornya.

"(Sebanyak) 40 persen kebutuhan beras dunia itu kan (dipasok) dari India," katanya.

El Nino memang mengganggu produktivitas pertanian, termasuk di Indonesia. Dampak El Nino ini juga terasa di negara-negara pengekspor beras, termasuk Thailand.

Fenomena iklim yang memicu kekeringan ekstrem di sejumlah negara ini terjadi sejak Juli 2023. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan memprediksi sisa efek ganasnya masih bakal bertahan hingga Maret 2024.

Akan tetapi, El Nino tidak bisa menjadi justifikasi minimnya stok beras di Indonesia. Terlebih, beras di Tanah Air masih surplus tipis sekitar 100 ribu ton pada 2023 lalu.

Peneliti Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Eliza Mardian mengatakan produksi beras Indonesia sebenarnya hanya turun 650 ribu ton menjadi 30,9 juta ton imbas El Nino. Di lain sisi, konsumsi sepanjang tahun lalu cuma 30,8 juta ton.

Meski begitu, pemerintah malah ngotot jor-joran impor beras. Tahun lalu sudah diketok impor 3 juta ton, bahkan keputusan impor 2 juta ton di 2024 juga diketok di 2023.

Guru Besar dan Kepala Pusat Bioteknologi IPB University Dwi Andreas Santosa mengkritik keras narasi defisit beras yang sering digaungkan rezim Presiden Joko Widodo. Menurutnya, itu salah kaprah.

"Berkaca di 2023, itu tadi Mbak Eliza (penelita Core) 0,65 juta ton (penurunan produksi imbas El Nino) prognosis Oktober 2023. Prognosis Desember 2023 turunnya (hanya) 0,58 juta ton, sedangkan impornya 3 juta ton," ucap Andreas dalam diskusi virtual Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI), Selasa (27/2).

"Masuk di Desember (2023) 2,7 juta ton, lalu yang sisanya barusan masuk awal Februari 500 ribu ton, sehingga keputusan impor 2023 sudah masuk 3,2 juta ton. Maka terjadi kelebihan stok 2,65 juta ton, ini akan menghasilkan stok awal tahun (2024) 6,71 juta ton beras, angka yang sangat besar," bantahnya soal defisit beras Indonesia.

Terlebih, Indonesia akan memasuki masa panen raya mulai bulan ini dan puncaknya di Mei 2024. Tambahan impor 1,6 juta ton, sehingga total beras yang didatangkan dari luar negeri mencapai 3,6 juta ton di 2024, dinilai serampangan oleh Andreas.

Ahli IPB itu memperkirakan produksi padi tahun ini akan mengalami peningkatan karena sudah tak ada El Nino. Meski panen raya bergeser, produksi padi tahun ini diperkirakan naik 2 persen hingga 3 persen menjadi 31,5 juta ton-31,8 juta ton.

"Kalau 2024 ini dilaksanakan semua, maka 2024 mencetak rekor baru impor beras, karena keputusan impor 2024 diambil di Desember 2023 sebesar 2 juta ton, dua hari lalu pemerintah memutuskan lagi tambahan impor 1,6 juta ton. Sehingga 2024 beras impor pemerintah 3,6 juta ton. Kalau ditambah swasta biasanya sekitar 300 ribu ton-400 ribu ton, sehingga akan mendekati 4 juta ton di 2024. Ini sudah barang tentu ini akan sangat berdampak buruk pada sedulur petani kita," tandasnya.

Di lain sisi, Analis Kebijakan Pangan Syaiful Bahari mengatakan ada penurunan harga beras di negara produsen. Ia mencontohkan harga beras di Vietnam saat ini sedang berada di level yang rendah, yaitu sekitar US$610 per ton alias Rp9,53 juta (asumsi kurs Rp15.628 per dolar AS).

"Sementara, harga eceran tertinggi (HET) beras lokal yang premium Rp13.900 (per kg). Jadi, selisih harga sudah pasti menggiurkan bagi importir," katanya, dikutip Nusadaily.co.id dari CNNIndonesia.com, Senin (26/2).

Jika menggunakan data tersebut, berarti harga 1 ton alias 1.000 kg beras premium lokal bisa menembus Rp13,9 juta. Ada selisih Rp4,37 juta yang bisa dihemat importir jika memilih mendatangkan beras dari Vietnam.(han)